JOGJA – Penderita diabetes mellitus, terutama yang memiliki luka di kaki, kini boleh sedikit bernapas lega. Mahasiswa Universitas Gadjah Mada berhasil membuat desain sepatu yang memberikan kenyamanan kepada penderita diabetes. Desain sepatu itu dinobatkan sebagai yang terbaik untuk kategori poster dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) XXIV di Universitas Hasanuddin, Makassar, beberapa waktu lalu.
Para mahasiswa hebat itu adalah Vivi Leona Amelia (Ilmu Keperawatan), Erlisa Diah Pertiwi (Statistika), Oktiyanto Ade Saputro (Teknik Industri), dan Arini Giska Safitri (Gizi Kesehatan). Ditemui di FK UGM kemarin (27/7), Arini Giska Safitri menjelaskan, pada umumnya penderita diabetes tidak menyadari bahwa terjadi luka di kakinya.
’’Hal ini karena diabetisi (penderita diabetes) mengalami neuropati, yaitu saraf tidak bisa merasakan bahwa terjadi sakit di bagian tersebut,” kata .
Seperti diketahui, diabetisi memiliki risiko mengalami ulkus diabetika (luka berbau pada permukaan kulit) 29 kali lebih besar dibanding orang normal. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat menyumbang 99,9 persen terjadinya ulkus diabetika.
’’Dari sanalah, kemudian muncul ide supaya ada alas kaki yang nyaman digunakan dan memudahkan aktivitas penderita diabetes. Tapi, bukan untuk mengobati, lho,” tegasnya.
Maka, mereka kemudian merancang sebuah sepatu yang berasal dari kulit sapi dan kambing dengan kualitas nomor satu. Untuk alas kakinya menggunakan berbahan merimes (busa khusus) untuk mengurangi gesekan luka agar tidak lecet. Sedangkan bagian sol sepatunya dibuat lebih tebal dari sepatu normal, yaitu 5 mm. Untuk pelapisnya menggunakan kulit vinyl yang disambung dengan benang biasa.
Sepatu itu didesain terbuka di bagian depan untuk menghindari bakteri, infeksi, maupun bau tidak sedap. ’’Kami hanya membuat desainnya. Sedangkan sepatunya yang bikin para perajin sepatu dari Bantul,’’ jelasnya.
Sepatu buatan mereka juga tidak menggunakan ukuran umum seperti yang dijual di pasaran, melainkan disesuaikan dengan kondisi kaki diabetisi. Arini mengatakan, ada tiga ukuran yang disediakan yaitu sepatu untuk diabetisi normal tanpa luka, luka bengkak, serta kaki yang sudah diamputasi. Khusus untuk sepatu diabetisi yang kakinya diamputasi, perlu ada perekat agar kuat.
’’Sebelum sepatu dibuat, kaki penderita diukur dengan ergonomis kaki pasien. Setelah itu baru ditentukan ukuran, model, dan bahan kulit yang sesuai kondisi kaki pasien,” terang alumnus SMAN 1 Gombong itu.
Sepatu itu menarik perhatian sejumlah penderita diabetes. Bahkan sudah lima diabetisi membelinya dengan harga Rp 400 ribu – Rp 500 ribu. ’’Menurut orang-orang, harga sepatu itu terlalu murah,” kata Anita Kustanti, pembimbing penelitian para mahasiswa itu sembari tersenyum.
Dia menambahkan, kelima pembeli sepatu itu menyatakan kepuasannya. Sepatu itu juga membantu diabetisi berjalan lebih aman dan tidak memperluas luka yang ada. ’’Ini inovasi yang besar manfaatnya,” pungkasnya. (sit/ari)
Para mahasiswa hebat itu adalah Vivi Leona Amelia (Ilmu Keperawatan), Erlisa Diah Pertiwi (Statistika), Oktiyanto Ade Saputro (Teknik Industri), dan Arini Giska Safitri (Gizi Kesehatan). Ditemui di FK UGM kemarin (27/7), Arini Giska Safitri menjelaskan, pada umumnya penderita diabetes tidak menyadari bahwa terjadi luka di kakinya.
’’Hal ini karena diabetisi (penderita diabetes) mengalami neuropati, yaitu saraf tidak bisa merasakan bahwa terjadi sakit di bagian tersebut,” kata .
Seperti diketahui, diabetisi memiliki risiko mengalami ulkus diabetika (luka berbau pada permukaan kulit) 29 kali lebih besar dibanding orang normal. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat menyumbang 99,9 persen terjadinya ulkus diabetika.
’’Dari sanalah, kemudian muncul ide supaya ada alas kaki yang nyaman digunakan dan memudahkan aktivitas penderita diabetes. Tapi, bukan untuk mengobati, lho,” tegasnya.
Maka, mereka kemudian merancang sebuah sepatu yang berasal dari kulit sapi dan kambing dengan kualitas nomor satu. Untuk alas kakinya menggunakan berbahan merimes (busa khusus) untuk mengurangi gesekan luka agar tidak lecet. Sedangkan bagian sol sepatunya dibuat lebih tebal dari sepatu normal, yaitu 5 mm. Untuk pelapisnya menggunakan kulit vinyl yang disambung dengan benang biasa.
Sepatu itu didesain terbuka di bagian depan untuk menghindari bakteri, infeksi, maupun bau tidak sedap. ’’Kami hanya membuat desainnya. Sedangkan sepatunya yang bikin para perajin sepatu dari Bantul,’’ jelasnya.
Sepatu buatan mereka juga tidak menggunakan ukuran umum seperti yang dijual di pasaran, melainkan disesuaikan dengan kondisi kaki diabetisi. Arini mengatakan, ada tiga ukuran yang disediakan yaitu sepatu untuk diabetisi normal tanpa luka, luka bengkak, serta kaki yang sudah diamputasi. Khusus untuk sepatu diabetisi yang kakinya diamputasi, perlu ada perekat agar kuat.
’’Sebelum sepatu dibuat, kaki penderita diukur dengan ergonomis kaki pasien. Setelah itu baru ditentukan ukuran, model, dan bahan kulit yang sesuai kondisi kaki pasien,” terang alumnus SMAN 1 Gombong itu.
Sepatu itu menarik perhatian sejumlah penderita diabetes. Bahkan sudah lima diabetisi membelinya dengan harga Rp 400 ribu – Rp 500 ribu. ’’Menurut orang-orang, harga sepatu itu terlalu murah,” kata Anita Kustanti, pembimbing penelitian para mahasiswa itu sembari tersenyum.
Dia menambahkan, kelima pembeli sepatu itu menyatakan kepuasannya. Sepatu itu juga membantu diabetisi berjalan lebih aman dan tidak memperluas luka yang ada. ’’Ini inovasi yang besar manfaatnya,” pungkasnya. (sit/ari)
Comments
Saya bisa dapat info beli sepatu nya dimana? Ibu saya penderita diabetes. Thanks.