Siang kemarin, cuaca di lingkungan SMPN 15 Jogjakarta terasa
hangat dengan hamparan taman hijau yang menyejukkan mata. Sebagai peraih
Adiwiyata (penghargaan berwawasan lingkungan, Red), suasana sekolah yang rimbun
menjadi hal yang lumrah. Namun siapa yang menyangka, sekolah ini memiliki mata
pelajaran teknik?
NANI MASHITA
Halaman SMPN 15 Jogjakarta terlihat lengang. Tidak banyak
orang lalu lalang disana, namun puluhan motor yang terparkir menandakan ada
aktivitas meski tidak banyak. “Maklum, sekarang sekolah sedang libur,” kata
Kepala SMPN 15 Jogjakarta, Sukirno membuka perbincangan di ruang kepala
sekolah.
Wajahnya terlihat cerah meski di pagi hari, Sukirno
menghadiri dua rapat marathon yang sifatnya mendadak. Dengan penuh bersemangat
dia menuturkan sejarah sekolah yang ada di kawasan Tegal Lempuyangan tersebut.
Dikatakannya, sekolah ini adalah sekolah Belanda dan bernama Ambas School
dan berdiri tahun 1919. Tahun ini diperolehnya ketika menemukan sebuah foto tua
yang menunjukkan puluhan guru berdiri di depan sekolah. Di foto itu, mereka
mengenakan pakaian a la Belanda. “(Tahun) Itu logis karena sesuai dengan
benda-benda tua yang ditinggalkan di sekolah ini,” katanya.
Entah sampai kapan sekolah Belanda ini bertahan di kota Jogjakarta .
Dan tidak diketahui pula kapan pastinya namanya berubah menjadi Sekolah Teknik
8. Tidak ada informasi mengenai keberadaan sekolah ini ketika Jogja Raya mencoba goongling. Sukirno pun berbagi informasi bahwa sekolah ini
merupakan satu-satunya sekolah teknik jenjang SMP di Jogja. Sedangkan untuk
siswinya, bersekolah di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) yang kini
berganti nama menjadi SMPN 4 Jogja.
Seiring adanya kebijakan pemerintah yang melarang
memperkerjakan anak di bawah umur, semua sekolah teknik jenjang SMP di Indonesia
dihapus. Sekolah ini akhirnya berganti nama menjadi SMPN 19 di tahun 1994.
“Nama ini pun hanya bertahan dua tahun dan berganti menjadi SMPN 15 hingga saat
ini,” imbuh Tyas Ismullah, Wakil Kepala Sekolah bidang Humas.
Perubahan status ini ternyata juga tidak mudah karena
akhirnya ada peninggalan peralatan teknik yang sangat lengkap. Sebut saja,
mesin bubut yang jumlahnya 10 buah, gergaji listrik, bor listrik maupun
peralatan kelistrikan yang lain. Semua peralatan adalah peninggalan jaman
Belanda Tidak hanya itu, sekolah juga memiliki tiga gedung yang sangat luas
yang dulunya dipergunakan sebagai bengkel praktikum. Total luas sekolah ini
adalah 12.700 meter persegi.
Setelah berdiskusi dan bersamaan dengan perubahan kebijakan kurikulum
menajdi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), diputuskan memasukkan
pelajaran teknik di muatan lokal (mulok) yang sifatnya wajib. Sekolah
memberikan tiga pelajaran yaitu Teknik Bangunan untuk kelas VII, Teknik
Pengerjaan Logam untuk kelas VIII dan Teknik Listrik bagi siswa kelas IX.
Sekolah merekrut delapan guru yang mengajar di mata
pelajaran ini. Dalam pembelajarannya, siswa mendapatkan teori sebesar 30 persen
dan 70 persen sisanya adalah praktek. Pada awalnya, siswa mendapatkan pelajaran
mulok sebanyak delapan jam tiap minggunya. Tetapi, perubahan regulasi yang
menyatakan jam belajar siswa maksimal 38 jam per minggu, membuat sekolah
memotong durasi pembelajaran menjadi empat jam dalam satu minggu. “Tentu teknik
yang diajarkan disini adalah yang sederhana, tidak rumit seperti di SMK atau
perguruan tinggi,” tuturnya.
Awalnya, sekolah memiliki tiga gedung yang difungsikan
sebagai bengkel. Tapi sejak terkena puting beliung Februari 2007 lalu, hanya dua
gedung yang difungsikan sebagai bengkel. Gedung yang pertama terdiri dari dua
ruangan besar dan berada di sisi selatan di bagian belakang sekolah.
Di ruangan pertama, dimanfaatkan sebagai bengkel instalasi
penerangan. Disini, puluhan kursi terjajar dengan aneka peralatan seperti
gergaji listrik atau papan yang digunakan untuk membuat instalasi listrik.
Tetapi di ruangan ini digunakan untuk melakukan praktik teknik bangunan. Disini
terlihat aneka karya dari bahan kayu seperti ayam-ayaman, tempat telor, bahkan
puzzle kayu. Tidak hanya itu, siswa juga diajari untuk memanfaatkan bahan
limbah menjadi mainan yang unik. “Seluruh karya siswa disimpan di sini, kalau
ada TK atau PAUD yang butuh barang ini maka kami beri. Tidak dijual,” ujarnya.
Di ruang kedua, yang ruangannya juga sangat luas digunakan
sebagai praktik mulok teknik listrik. Tidak seperti di SMP ‘normal’, siswa SMPN
15 tidak hanya diajarkan listrik tegangan rendah, tetapi juga tegangan tinggi. Jadi
ketika praktek, siswa harus disiplin dan mematuhi aturan yang ada. Kalau mau
melakukan tes listrik, harus lapor ke guru pendamping. “Sampai saat ini tidak
ada yang mengalami cidera atau kesetrum,” tutur guru praktikum, Henggar Pancono
yang juga Wakil Kepala Sekolah bidang Sarana Prasarana.
Di gedung bagian paling barat, ada satu ruangan yang
digunakan sebagai bengkel praktik teknik logam yang berdampingan dengan Museum
Pembelajaran. Lebih lanjut, Sukirno mengatakan
sekolah melakukan pengembangan tiga mata pelajaran teknik yang ada. Siswa kelas
IX diberi keterampilan di bidang robotika dan membuat batik bagi siswa kelas VII.
Sedangkan untuk siswa kelas VIII ditambahi dengan keterampilan menyablon dan
servis motor. “Jadi kalau ada motor guru yang rusak, tidak perlu jauh-jauh cari
bengkel,” kelakarnya.
Bayar nggak? “Lho
harus bayar karena kan
onderdilnya beli. Tapi kalau siswanya tidak dibayar karena dianggap praktikum,”
katanya tersenyum.
Tetapi Sukirno menegaskan bahwa pemberian mulok di bidang
teknik ini bukan berarti ingin mencetak siswa yang siap kerja. Apalagi, sekolah
itu kini dikenal sebagai jujugan siswa pemegang kartu menuju sejahtera (KMS)
yang notabene berasal dari kalangan tidak mampu. Diharapkan keterampilan ini
bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk apabila ternyata siswa
yang bersangkutan tidak melanjutkan sekolah. Tapi dari pengalaman sebelumnya,
sekitar 40 persen lulusan di antaranya melanjutkan ke jenjang SMK sedangkan
sisanya ke SMA. “Kami tidak mencetak tukang melainkan ingin memberikan soft skill pada siswa,” tegas
Sukirno.
Pemberian keterampilan kepada siswa bukan tanpa hambatan. Masalah
klasik yaitu pendanaan yang kurang memadai membuat pembelajaran menjadi tidak
maksimal. Ketua Lembaga Bantuan Hukum PGRI Jogjakarta itu mencontohkan dahulu
tiap siswa mendapatkan empat meter kabel untuk praktikum, tapi kini hanya
separuhnya saja. “Kami harus menghemat apalagi siswa tidak dipungut biaya
apapun,” pungkasnya. (*)
Comments