Skip to main content

Anjal yang Meraih Perak di Olimpiade Tuna Grahita

JOGJA – Prestasi membanggakan ditiupkan dari Sekolah Luar Biasa Negeri 2 Yogyakarta dalam Special Olympics World Summer Games ke-XIII di Athena, Yunani. Dua siswanya ikut menyumbang medali emas, perak dan perunggu dalam olimpiade yang diikuti 184 negara.
Dua siswa itu adalah Desi Pradita yang berhasil menyumbangkan emas untuk kategori tennis meja tunggal putri dan beregu campuran. Dia juga ikut andil dalam perolehan perunggu untuk tennis meja beregu. Sedangkan Suryadi ikut menyumbang medali perak untuk kategori basket. Perhelatan ini digelar pada 20 Juni hingga 5 Juli
Wakil Kepala SLBN 2 bidang kurikulum, Jumarsih dan Waka bidang kesiswaan, Siwiyanti mengaku bangga atas prestasi keduanya. Apalagi, prestasi ini merupakan kali pertama sekolah tersebut. “Tentu kami bangga ada siswa yang mengharumkan nama Indonesia, Jogja dan sekolah,” ujarnya, Kamis (21/7).
Dia menjelaskan jika keduanya memang punya keunggulan di bidang olahraga baik tennis meja maupun basket. Keduanya juga sudah mengikuti serangkaian seleksi mulai dari tingkat kota, provinsi hingga maju mewakili DIJ di tingkat nasional. Jumarsih menjelaskan keduanya sama-sama memiliki double handicap yaitu tuna rungu-wicara. Meski begitu, keduanya ternyata mampu berbicara di hadapan dunia lewat prestasi membanggakan.
Kedatangan Desi dan Suryadi bersama rekan-rekannya pada Kamis (7/7) lalu disambut langsung oleh Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Alfian Malaranggeng. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono juga menerima kontingen olimpiade ini di Istana Negara sehari sesudahnya.


Namun, saat disambangi ke sekolahnya kemarin, Desi yang duduk di kelas IX SMP sudah berangkat lagi ke Jakarta untuk ikut syuting talkshow televisi swasta nasional. Sedangkan Suryadi yang masih berada di areal sekolah. Bahkan, Suryadi sempat menyatakan mau menginap di sekolah bersama salah satu penjaga sekolah. Jumirah dan Siwiyanti tampaknya tidak bisa menolak karena memang dia tidak memiliki rumah di Jogja. “Dia memang tidak punya rumah. Suryadi itu anak jalanan yang biasa tidur di emperan Hotel Limaran,” ujarnya.
Saat diwawancarai, Suryadi terlihat malu-malu saat ditanya mengenai prestasinya tersebut. Siswa kelahiran Bantul. 6 September 1992 itu lebih banyak menjawab lupa dan menutup muka sebagai ekspresi malu. Tetapi setelah beberapa saat dia mau menjawab bahwa selama ini selalu latihan basket di sekolah dan di SMP Muhammadiyah 3 bersama gurunya. Saat dinyatakan lolos ke Athena, dia ikut karantina dan berlatih mulai dari pukul 09.00 – 22.00 WIB. “Saya pemain di bagian pertahanan,” katanya.
Dia mengikuti sentralisasi pada 18 Mei hingga 18 Juni di Jakarta dan berangkat ke Athena Yunani pada 19 Juni lalu. Suryadi mengaku tidak diperbolehkan keluar dari hotel tempat menginapnya. Dia juga tidak banyak berkenalan dengan atlet dari kontingen negara lain. “Disana panas banget, juga tidak boleh jalan-jalan,” ujarnya.
Dalam olimpiade tersebut, Suryadi sempat dimainkan dalam dua pertandingan termasuk dalam final. Namun saat ditanya negara mana yang jadi lawannya, Suryadi tiba-tiba mengaku lupa. “Lupa…lupa,” katanya sembari menutup mukanya.
Secara keseluruhan, dalam SOWSG XIII kontigen Indonesia yang berjumlah 46 atlet berhasil mempersembahkan 15 emas, 13 perak, dan 11 perunggu. Perolehan medali ini lebih banyak dibandingkan perhelatan sebelumnya ketika SOWSG di Shanghai yaitu 9 emas, 9 perak, dan 4 perunggu. Olimipiade ini merupakan ajang bertemunya atlet-atlet tunagrahita se-dunia yang digelar empat tahun sekali. (sit)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej