Judul di atas adalah sebuah novel karya Tere Liye, salah satu penulis favorit saya. pertama karena bukunya memang bagus. dan kedua, ceritanya selalu sederhana, seolah-olah itu adalah kisah kita sendiri.
hehehe....itulah kehebatan seorang penulis.
Secara singkat : kisah itu menceritakan seorang gadis cilik yang jatuh cinta pada malaikat penolongnya, seorang pemuda matang yang ringan tangan membantu orang lain. si pria itu, seorang penulis buku sekaligus seorang pendongeng yang cinta anak-anak. Cinta si gadis mulai tumbuh saat SMA, cemburu ketika si pria - yang menganggap dirinya kakak tertua bagi keluarga si gadis - menggandeng seorang perempuan cantik.
Si gadis lalu mendapat beasiswa ke Singapura dan bermimpi menjadi gadis cantik yang berhasil. Di negeri Singa, dia mendapat kabar kalau pria itu sudah putus dengan kekasihnya. Dia makin terpacu untuk jadi gadis yang mempesona. Misinya tercapai, si pria sempat terpesona padanya dan memberinya seuntai kalung dengan liontin bertuliskan inisial namanya.
Tidak lama kemudian, si pria datang kembali. Namun dengan pacarnya dulu. Si pacar menceritakan mereka akan menikah. Si gadis yang patah hati enggan untuk datang ke pernikahan kakaknya meski si pengantin wanita datang ke Singapura memohon agar dia datang. Tapi si gadis menolak. Dia tidak mau dan tidak mampu.
Bertahun-tahun, si gadis akhirnya rindu untuk pulang. Setidaknya untuk melihat pusara ibunya yang meninggal. Apalagi, kakak iparnya berkali-kali menceritakan masalah rumah tangganya yang kacau dengan si Pria. Dia pulang namun tidak memberi tahu siapapun. Tidak dinyana, saat di rumah si Pria datang dan terkejut dengan kehadiran si Gadis yang datang tiba-tiba. Namun, masalah si Pria masih belum usai. Dia malah sering menghilang dari rumah hingga menjelang pagi buta.
Tak diduga, adik si Gadis menceritakan semua kisah mengenai perihnya hati si Pria. si Gadis ternganga tidak percaya. Dia pun menyusul si Pria ke daerah tempat tinggalnya dulu, ketika masih jadi gelandangan. Disana, si Pria mengaku memang mencintai si Gadis, namun takut karena usianya yang masih anak-anak. Tapi rasa sebitu semakin menyiksa ketika si Gadis tumbuh dewasa dan jadi wanita yang menarik.
Si Gadis menangis menghadapi kenyataan tersebut. Dia menuntut kenapa tak pernah si Pria menyatakan cinta. Puas mengeluarkan uneg-uneg, si Gadis menyarankan si Pria kembali pada istrinya, yang tengah mengandung.
Intinya: ketakutan untuk menunjukkan cinta menjadi hal yang sangat menyiksa dan membawa korban orang lain. dan pada akhirnya, dua-duanya menyiksa karena sama-sama tidak bisa mendapatkan cinta.
Hanya saja, saya pengen kasih catatan buat buku Tere Liye yang satu ini. Ada yang hilang dari kebiasaannya dalam membuat sebuah karya. Tere Liye tetap setia dengan mengusung tema-tema sederhana yang ada di sekeliling pembacanya. Cuma aku merasa kehilangan 'sensasi' seperti ketika aku membaca Hafalan Shalat Delissa, yg aku bisa menangis terharu membacanya. Di buku yang ini, aku masih terharu. Kalo bahasa Jawa, ngecembeng. Tapi tak sampai menitikkan air mata. Hehehe....entah kenapa seperti itu. Mungkin saja, si penulis ingin memberikan sensasi baru yang berbeda. Sayangnya usaha ini kurang begitu mulus.
Demikian.
*aku merasa menemukan lokasi toko buku yang dimaksud Tere liye dalam buku ini*
*dimana?*
*rahasia*
hehehe....itulah kehebatan seorang penulis.
Secara singkat : kisah itu menceritakan seorang gadis cilik yang jatuh cinta pada malaikat penolongnya, seorang pemuda matang yang ringan tangan membantu orang lain. si pria itu, seorang penulis buku sekaligus seorang pendongeng yang cinta anak-anak. Cinta si gadis mulai tumbuh saat SMA, cemburu ketika si pria - yang menganggap dirinya kakak tertua bagi keluarga si gadis - menggandeng seorang perempuan cantik.
Si gadis lalu mendapat beasiswa ke Singapura dan bermimpi menjadi gadis cantik yang berhasil. Di negeri Singa, dia mendapat kabar kalau pria itu sudah putus dengan kekasihnya. Dia makin terpacu untuk jadi gadis yang mempesona. Misinya tercapai, si pria sempat terpesona padanya dan memberinya seuntai kalung dengan liontin bertuliskan inisial namanya.
Tidak lama kemudian, si pria datang kembali. Namun dengan pacarnya dulu. Si pacar menceritakan mereka akan menikah. Si gadis yang patah hati enggan untuk datang ke pernikahan kakaknya meski si pengantin wanita datang ke Singapura memohon agar dia datang. Tapi si gadis menolak. Dia tidak mau dan tidak mampu.
Bertahun-tahun, si gadis akhirnya rindu untuk pulang. Setidaknya untuk melihat pusara ibunya yang meninggal. Apalagi, kakak iparnya berkali-kali menceritakan masalah rumah tangganya yang kacau dengan si Pria. Dia pulang namun tidak memberi tahu siapapun. Tidak dinyana, saat di rumah si Pria datang dan terkejut dengan kehadiran si Gadis yang datang tiba-tiba. Namun, masalah si Pria masih belum usai. Dia malah sering menghilang dari rumah hingga menjelang pagi buta.
Tak diduga, adik si Gadis menceritakan semua kisah mengenai perihnya hati si Pria. si Gadis ternganga tidak percaya. Dia pun menyusul si Pria ke daerah tempat tinggalnya dulu, ketika masih jadi gelandangan. Disana, si Pria mengaku memang mencintai si Gadis, namun takut karena usianya yang masih anak-anak. Tapi rasa sebitu semakin menyiksa ketika si Gadis tumbuh dewasa dan jadi wanita yang menarik.
Si Gadis menangis menghadapi kenyataan tersebut. Dia menuntut kenapa tak pernah si Pria menyatakan cinta. Puas mengeluarkan uneg-uneg, si Gadis menyarankan si Pria kembali pada istrinya, yang tengah mengandung.
Intinya: ketakutan untuk menunjukkan cinta menjadi hal yang sangat menyiksa dan membawa korban orang lain. dan pada akhirnya, dua-duanya menyiksa karena sama-sama tidak bisa mendapatkan cinta.
Hanya saja, saya pengen kasih catatan buat buku Tere Liye yang satu ini. Ada yang hilang dari kebiasaannya dalam membuat sebuah karya. Tere Liye tetap setia dengan mengusung tema-tema sederhana yang ada di sekeliling pembacanya. Cuma aku merasa kehilangan 'sensasi' seperti ketika aku membaca Hafalan Shalat Delissa, yg aku bisa menangis terharu membacanya. Di buku yang ini, aku masih terharu. Kalo bahasa Jawa, ngecembeng. Tapi tak sampai menitikkan air mata. Hehehe....entah kenapa seperti itu. Mungkin saja, si penulis ingin memberikan sensasi baru yang berbeda. Sayangnya usaha ini kurang begitu mulus.
Demikian.
*aku merasa menemukan lokasi toko buku yang dimaksud Tere liye dalam buku ini*
*dimana?*
*rahasia*
Comments