Skip to main content

Uang Tunai Hilang, Onde-onde Melayang


Kehidupan manusia di era digital sangat dimanjakan. Ada smartphone, smarthome, sampe udah ada konsep smartcity. Begitu juga kehidupan sehari-hari banyak teknologi memudahkan manusia. Salah satunya uang digital. 

Saat ini, saya termasuk pengguna aktif uang digital. Kemana-mana ga pernah bawa uang cash banyak... Secukupnya aja. Biasanya Rp50 ribu. Paling banyak Rp100 ribu. Buat beli bensin atau sekedar jaga-jaga ban bocor/kempes. Kalo ga ada insiden di atas, bisa berhari-hari ngendon di dompet.

Kartu debet aneka bank. 
Ada kartu vaksin juga. Wkwkkw

Lah gimana enggak? Belanja di minimarket, gesek kartu debet. Lewat tol, pake e-money. Beli pulsa, bayar tagihan, BPJS, langganan internet, tinggal tutul-tutul aplikasi keuangan di hape. Belanja makanan tinggal scan barcode hape. Hmm apalagi yah... Banyak deh. 

Uang digital emang membantu banget sih buat saya. Karena ga harus bawa uang yang banyak. Otomatis di dompet cuma berisi KTP, SIM, STNK, dan kartu ATM. Wkwkkwkw...

Gak enaknya, masih belum semua tenan atau merchant menyediakan fasilitas pembayaran digital. Dan jumlahnya baaaaanyaaaakk, terutama para pedagang kaki lima. Padahal saya termasuk penghobi jajanan kaki lima mulai dari dimsum, pastel, onde-onde, dsb. Begitu juga makanan, ketoprak, lontong balap, ketoprak, duh enak beud. 

Tapi penjual begini bayarnya harus pakai cash. Kalau tidak ada yang tunai, onde-onde melayang deh. Wkkwkw 

Loundry jadi salah satu tenan yang tak 
punya fasilitas keuangan digital

Nah begini ini yang masih perlu kesadaran diri untuk menyeimbangkan kenyamanan dengan kondisi di lapangan. Kan ga mungkin kan yaaaa makan di Lontong Pak Gendut Kranggan trus bayarnya transfer ke rekening penjualnya. Buat aku sih fine-fine aja, tapi kayaknya si penjual (notabene pegawai) kan ga enak harus nanya nomor rekening si owner. Kwkwkwk... 

Kita juga sih yang harus ribet nyari ATM terdekat kalo pengen berbelanja di gerai yang tidak ada fasilitas pembayaran digital. Kalo malas, ya pindah cari tempat lain. 

Jadinya tetap harus bawa uang cash di dompet sih. Cuma ini agak merepotkan buat saya yang pelupa. Hahaha... 

Alternatif lain, minjem duit temen. Di kasus saya, minjem duit anak saya yang gemesin dan baik hati : Ayun. Dan ini ga sekali dua kali. Hahaahahaa... 

Pernah makan di sebuah pujasera, ga bawa ATM, saldo LinkAja menipis, ga bawa token, ga bawa kartu kredit. Langsung deh nowel Ayun. 

Pernah pula cari sarapan di Pasar Subuh Kafe Prajurit Jl. Mayjen Sungkono. Bawa uang tunai cuma Rp20 ribu karena asumsi kalo di kafe bisa bayar pakai kartu debet. Kenyataannya? ZONK. 

Yaudah, colek lah si gemoy Ayun. "Kak, pinjam duit."

Kalian pasti bertanya-tanya, kok Ayun punya uang banyak sih sampe bisa bayarin makan di pujasera atau sekedar sarapan? Karena dia anaknya hemat beud. Kalo dikasih uang saku, duitnya pasti utuh. Karena selalu saya bawakan air minum. Adapun jajan, sepertinya dia tidak terlalu doyan. Sukanya makan. Persis mamanya. Hahahaa... 

Jadiiii tasnya itu penuh dengan yang ribuan. Yang kalau dikumpulkan, bisa deh dapat Rp100 ribu. Oleh karena itu, seminggu ini dia sekolah daring terus Ayun protes. Tidak dapat uang saku. Tanya terus kapan sekolah.. "Kapan sekolahnya, mau jajan, " katanya ngasih kode. Kwkwkwk

Comments

vanjancacace said…
Classic Series 7/10 Titanium Blue PS4 Controller
Classic titanium necklace Series 7/10 Titanium Blue babyliss nano titanium PS4 titanium athletics Controller | T-Connected to USB Controllers titanium welder | USB Games titanium pot | Connect your Wireless Controllers to a Tabletop

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej