Skip to main content

Aku ingin bertanya, Ayah...

Tulisan ini aku buat di atas bus Eka, perjalanan menuju ke Jogja. Aku baru saja menyelesaikan liburan dua hariku di Surabaya.
Sebenarnya sih aku ga harus pulang bulan ini, bulan kemarin atau bulan-bulan yang akan datang. Sesenang hati saja. Kalau mau pulang ya sudah pulang saja. Gak pulang, ya telepon sajalah.
Tapi hati ini pengen pulang. Dua minggu sebelum ke rumah, aku nangis nyaris tak berhenti. Aku kangen sama ayah.



Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Lebaran menjadi lebih berat sejak kepergian dia. Pertama secara fisik memang pergi dengan wanita setan itu. Pergi dan tak pernah kembali. Tiap tahun, selalu saja aku rindu untuk memeluk dia. Meski jauh, aku tahu dia disana bersama wanita yang slalu aku kutuk karena menghancurkan mimpiku.
Tapi sejak tahun kemarin, beliau pergi dan tidak akan kembali. Jujur, aku gak pernah percaya kalo ayahku meninggal. How come??!? Semua hal yang aku perjuangkan selama ini adalah untuk membuktikan aku mampu dan berhasil tanpa beliau.
But it's happened.
Tapi ternyata dia tiada dan semangatku hidup ikut mati. Semangatku tak lagi menyala. Apalagi di saat hampir bersamaan, aku barusan tersadar bahwa Udi bukan pria yang tepat untukku. Itu cuma khayalan semu. Hehehe.

Lemaslah aku.

Tapi tetap saja aku rindu dengan ayahku. Aku pengen ketemu, meski hanya pusaranya saja. Untuk diketahui, saat pemakaman aku ga ikut. Dan beberapa hari kemudian, beberapa bulan kemudian dan meski sudah setahun lewat, aku ga berani untuk menengok.
Maka hari ini aku beranikan diri. Tertunda sehari. Tertunda beberapa jam sebelum aku pulang, aku mampir ke makam ayah.

Jelang maghrib, aku melangkah masuk ke pemakaman umum di kampungku. Masjid sebelah sudah memutar kaset pengajian. Setengah ragu, aku kuatkan diri untuk masuk dan mencari nisan ayah.
Aku ingin cerita: aku rindu Ayah.
Aku ingin cerita: aku patah hati teramat sangat dengan lelaki Jakarta itu. Dia jadi mirip engkau. Ah...apa karena kalian sama-sama lelaki. Selalu memanfaatkan pindang yang tersaji? Entah, mungkin salahku juga kalo aku merasa yang mungkin gak pernah ada.
Aku ingin cerita: sekarang patah hati itu sudah terobati. Aku lupa. Sudah kukumpulkan lagi serakan hatiku yang hancur itu.
Aku ingin cerita: aku mulai nyaman dengan diriku. Mmm...iya sih, aku sempat menarik diri dari dunia. Aku merasa lemah tidak berarti.
Tapi sebenarnya, aku ingin bertanya: bagaimana caranya tahu seorang pria jatuh cinta pada perempuan. Karena kini hatiku berbunga-bunga. Banyak yang mencoba menarik perhatianku, hanya beberapa yang berhasil. Dan dari mereka, ada satu yang membuatku berpikir dalam mengenai pernikahan.

Tapi yang membuat aku takut: Aku tidak mau seperti engkau, mencintai tapi menyakiti perempuan lain. Mendapat keluarga tapi menghancurkan anak-anakmu. Apa yang salah dengan jatuh cintaku kali ini?

Aku membayangkan, aku bertanya sembari menopangkan daguku ke bahumu. Engkau akan tetap menatap ke depan. Pura-pura tak peduli pada anakmu yang tengah birahi.

Tapi aku tak bisa membayangkan apa jawabanmu.
Itu yang ingin aku peroleh saat mengunjungimu.

Sayang....aku tak pernah sampai di depan makammu. Hatiku bergetar berjalan di pemakaman itu. Aku ciut mencari nisanmu. Mataku nanar. Ujung mataku mulai berair.

Aku terdiam di tengah pemakaman. Aku berputar-putar di satu titik, entah makam siapa yang aku injak. Aku ingat kakiku bergetar. Rasanya aku mau pingsan. Buru-buru aku membaca al fatihah dalam hati tanpa tau Ayah dimana.

Setengah berlari aku keluar pemakaman. Adzan Maghrib sudah terdengar. Dan diatas motor air mata mengalir tanpa terbendung. Huff...masih tidak mudah aku untuk menemuimu, meski hanya berupa nisan.

Aku kecewa.
Dan lebih kecewa lagi ketika aku tak jadi bercerita padamu. Jadi mana mungkin aku mendapat jawabannya.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej