Skip to main content

Madre

*bip*

Entah sejak kapan ini berubah jadi cinta. Tapi tiap kali namamu berkedip di layar monitorku, aku terlonjak gembira. Deretan kalimat di YM jadi denyut jantungku. Berdebar. Tersenyum. Bahagia.
Namamu ibarat arummanis yang harum, lembut dan manis. Indah dengan warna pink yang mengais-ais langit.
Aku tidak ingat kapan aku jatuh cinta padamu. Aku juga tidak tahu apa yang membuatmu begitu indah. Ada sesuatu yang menghubungkan kamu dan aku.
Lamat-lamat kupandangi wajahmu, kuingati gerakmu. Sepoi-sepoi namamu membuatku terpeluk hangat. Kau ada. Kunanti.
Tapi denyut itu tiba-tiba memerah, teremas kejamnya Jakarta....mimpi itu terkoyak oleh kefanaan. Mengiris langsung ke jantungku.
Pekat polusi membangunkanku dari kolam kebahagiaan yang kukira ada. Aku melambung tapi sebenarnya goyah oleh gravitasi. Aku berlari kencang meski ternyata hanya ke dunia ilusi.
Aku mencoba bertahan, tapi kamu makin menyiksa. Lagu cinta itu benar : kuingin menyerah tapi tak menyerah. Karena aku merasa kita pernah satu di kehidupan dulu.
Tapi mungkin juga tidak.
Dan aku pun pasrah. Tak lagi berjuang, tak pula melawan. Mungkin memang tak pernah ada kisah kita pernah satu di kehidupan terdahulu. Jadi meski kamu tak jadi milikku, aku akan tetap menyapamu. Sama. Sehangat dulu. Takkan berubah. Janji.
*message end*

Itu adalah beberapa kalimat yang muncul usai saya membaca Madre, buku terbaru dari Dee Lestari. Sebuah surat elektronik yang saya tulis untuk 'hantu hidup' saya selama beberapa tahun terakhir. Tidak ada yang minta saya untuk menjadikan pria itu 'hantu' dalam kisah percintaan saya selama ini. Dan jangan bertanya kenapa dia bisa jadi 'hantu' dalam hidup saya.

Lantas kenapa saya tiba-tiba ingin menuliskan sebuah surat elektronik itu? Semua itu gara-gara buku yang judulnya aneh : Madre. Ini adalah kumpulan cerpen Dee Lestari selama lima tahun 2006-2011. Total ada 13 kisah. Awalnya, saya mengira ini adalah buku mengenai komunitas Madura, yang sebenarnya agak sulit diterima di akal mengingat si penulis berdarah Batak. kwkwkw.

Saya pun membeli dengan rasa penasaran akibat provokasi teman-teman di akun twitter saya -- > @Ma_Shita. Seperti biasa, saya tidak mengharapkan ekspektasi apapun ketika membaca sebuah novel atau buku demi menghindari kekecewaan terhadap isi. Ingat! beberapa buku sering dilabeli dengan 'best seller' di Amrik tapi nyatanya critanya tidak masuk akal sama sekali.

Maka saya membaca Madre. Sebuah kisah lelaki pekerja freelance di Bali yang tiba-tiba memiliki warisan berupa adonan roti bernama Madre. (Voila...ternyata itu nama adonan roti!!). Secara singkat, kisah ini menyenangkan dan memiliki kejutan-kejutan yang menyenangkan juga. Di cerita ini, kita dipaksa untuk mau menerima takdir yang sudah dituliskan oleh Tuhan.

Inspiratif!!!

Saya pun membuka cerpen dan puisi selanjutnya.
Seketika pula saya terpaku pada sebuah cerpen bernama Guruji. Sebuah kisah antara pria dan wanita, yang langsung merasa lekat ketika pertama kali bertemu. Mereka pun hidup bersama, memiliki telepati untuk mengetahui apa dan dimana sedang berada. Dan tiba-tiba si pria pergi, tanpa pesan, tanpa alasan dan tanpa jejak.
Menggila-lah perempuan itu mencari si pria. Dia menemukannya! Tapi ternyata pria yang sama-sama bernama Ari itu tidak pernah sama.
Setengah mati, Ari (perempuan) mencari Ari (lelaki yang dulu), namun tak pernah ketemu. Putus asa, dia mencari masalah agar bisa menemukan Ari-nya yang dulu. Siasat ini berhasil, namun tak pernah bisa mengembalikan Ari-nya seperti yang dulu lagi. He's alredy change!


Seperti tersirap, kisah ini menyentil kehidupanku. Lelakiku itu tak pernah sama setelah pergi ke Jakarta

Maka menangis menjadi satu-satunya cara aku menumpahkan kesedihan atas kehilanganku. Tidak rela karena dia berubah sedemikian nyatanya, tak pernah aku duga, tak pernah aku rasa. Beuh......dua sohib saya pun bingung panik mendengar saya menangis di telepon tanpa berkata apapun.
Sabar....sabar....sabar....itu yang mereka ungkapkan kala itu.
Aku pergi. Kembali ke kota ku.
Tapi ternyata ada bayangan lelaki itu selalu di belakangku. Aku menolak. Aku berontak. Aku menghindar. Tapi dia disana.

Hopeless. Aku cuek.
Mencoba bertemu dengan pria lain. Tapi tak jua berhasil. Karena dia masih ada disana. Maka saya kehabisan ide.

Lalu, disinilah keajaiban Madre. Di cerpen berjudul 'Guruji', Ari (perempuan) akhirnya menumpahkan semua kekesalan, unek-unek, sakit hati, kesedihan, kepedihan selama ditinggal oleh Ari (lelaki) yang kini jadi tabib penyembuh. Usai itu, dia merasa lega. Beban sudah terangkat.

Tiba-tiba saya punya keberanian untuk menulis semua rasa itu. Beban itu. Maka email itu pun tertulis. Saya lepaskan bayangan itu. Apapun yang terjadi nanti, biarlah. Saya melepaskan pasrah semua rasa itu. Dan saya merasa terlahir kembali.

Tulisan Dee tidak hanya berhenti menginspirasi saya disitu.

Di cerpennya berjudul 'Menunggu Layang-layang', lagi-lagi membuat saya tersirap untuk berani melangkah. Kisah itu bercerita mengenai seorang perempuan yang gampang menclok ke pelukan laki-laki. Bukan dalam arti negatif, perempuan itu memiliki sejuta pesona yang membuat lelaki manapun ngiler melihatnya.
Meski tak seideal seperti Starla, di cerpen itu sedikit banyak mengisahkan diri saya. Bagaikan layang-layang, aku kesana kemari. Kadang menyakiti perasaan lelaki karena dianggap memberikan harapan kosong.
Ah...sebenarnya saya tidak bermaksud seperti itu. Maafkan buat hati yang tersakiti

Cerpen itu akhirnya juga menginspirasi saya untuk berani melepaskan diri dari kebiasaan dulu. Sohib saya yang kini ada di Kalimantan Timur, setengah mati mengingatkan saya untuk tidak melakukan peran Starla,sejak dulu. Tapi saya hanya tertawa mendengar permintaannya. Saya bilang, bukan menjadi layang-layang tetapi aku menjadi kapal yang mencari pelabuhan.
Alasan itu dulu pernah sangat sakti. Tapi entah, cerpen ini membuat saya berani mengatakan pernyataan sahabat saya itu benar.
Dan cerpen ini membuat saya berani untuk berubah. Mungkin tetap menjadi layang-layang. Tapi saya mau ada satu benang yang selalu menjaga saya untuk tidak putus di langit biru.

Just that simple.

Yang membaca resensi ini mungkin mengernyitkan dahi, mungkin juga mencaci, bahkan mungkin ada yang sakit hati. Tetapi saya cuma ingin bilang. Madre adalah salah satu buku yang mampu mengubah saya.

Novel lainnya? Tentulah Laskar Pelangi. Buku yang membuat saya tetap mau menyelesaikan kuliah saya. Oh ya, di semester kemarin, kecerdasan saya ternyata berbekas. Nilai IPK saya sudah naik satu poin, dari 1,6 menjadi 2,6. Tinggal 0,4 biar jadi 3.00.

Amiiiin.....

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej