Skip to main content

Syahdu dalam Tadarus Siswa Tuna Netra


JOGJA – Indahnya bulan Ramadan juga dirasakan oleh siswa-siswi Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis) Yogyakarta. Meski memiliki kekurangan fisik, tidak menghalangi niat mereka untuk tetap mengejar pahala selama di bulan Ramadan. Secara mandiri, 50 siswa yang tinggal dalam asrama menggelar tadarusan dan salat tarawih berjamaah.
Tadarusan yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan lazimnya kegiatan membaca Al Quran selama ini. Usai menunaikkan salat tarawih dan buka puasa bersama dengan menu gudeg Yu Djum, mereka buru-buru menuju ke perpustakaan untuk mengambil Al Quran bertuliskan huruf braille. Yang menarik, semua persiapan dilakukan secara mandiri tanpa harus meminta bantuan dari ‘orang normal’.
Setelah itu, mereka menggunakan mushola, perpustakaan, kelas-kelas maupun aula Yaketunis untuk memulai tadarusan. Siswa yang masih kecil, diajak untuk menghafal juzz ama. Sedangkan yang lebih dewasa, membaca Al Quran. “Kami sudah tadarusan sejak hari pertama tarawih,” ujar Irmawati, salah satu penghuni asrama, Jumat (5/8) malam.
Di tangannya, sebuah Al Quran huruf draille dipangkunya. Dia menjelaskan kelompok tadarus dibagi dua kelompok yaitu membaca juzz genap dan juzz ganjil. “Saya kebagian untuk membaca Al Quran juzz genap,” katanya yang kemarin malam mengenakan setelan kuning merah dengan motif bunga-bunga.

Selain terdiri dari kelas-kelas, yayasan juga memiliki asrama untuk putra dan putri. Laiknya siswa sekolah umum, gelak tawa terdengar sebelum tadarus dimulai. Irmawati beberapa kali digoda oleh rekan-rekannya lelakinya. Beberapa siswa juga terdengar curhat (mengadu) agar diperbolehkan untuk meminjam Al Quran yang jumlahnya terbatas. Tetapi kegaduhan itu tidak berjalan lama. Suasana tiba-tiba terasa syahdu ketika satu persatu melantunkan ayat suci Al Quran.
Menurut Ketua Organisasi Asrama, Muhammad Fuad Ghufron semua kegiatan selama Ramadan murni gagasan dari penghuni asrama. Sedangkan yayasan hanya memberikan fasilitas dan makanan saja. “Kami menargetkan dalam 15 hari, dua kelompok bisa mengkhatamkan 15 juzz,” katanya.
Mereka juga membuat daftar penceramah dan imam salat tarawih yang dibuat dari sobekan poster sebuah produk telekomunikasi. Menurut Fuad, semua penceramah berasal dari siswa penghuni asrama. “Selama ini belum pernah ada penceramah dari luar. Anak-anak asrama yang mengisi ceramah untuk tarawih dan kultum saat salat subuh,” tuturnya.
Hanya saja, di tengah semangat siswa untuk khatam Al Quran dihadang dengan terbatasnya jumlah kitab yang tersedia. Sekedar diketahui, tiap buku terdiri dari satu juzz sehingga untuk Al Quran huruf braile diperlukan 30 buah kitab. Saat ini, yayasan hanya memiliki 10 set kitab. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga itu mengatakan untuk membeli kitab sebanyak siswa di asrama, tidak murah. “Satu set Al Quran huruf braile harganya sekitar Rp 1,8 juta,” jelasnya.
Alhasil, mereka pun bergantian membaca Al Quran. Khusus yang ingin mengkhatamkan bacaannya secara pribadi, biasanya mereka meminjam dari perpustakaan maupun siswa yang memiliki satu set kitab untuk dibaca sendiri di dalam kamar. “Ada beberapa teman yang mengikuti pelatihan membaca Al Quran lalu mendapatkan satu set untuk dibawa ke asrama untuk dipakai bersama,” bebernya.
Meski begitu, niat untuk mendapatkan pahala di bulan suci ini tidak surut. Menurut Fuad, Ramadan adalah salah satu cara untuk mengajarkan rasa empati dan simpati pada siswa dan menambah kepekaan sosial. “Selain itu, tiap Ramadan selalu ada siswa baru sehingga selalu lebih semarak,” katanya. (sit)

Foto-foto : Moch Asim/Jogja Raya (Group Jawa Pos)


Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej