Doni terlihat menyanyikan sebuah lagu dengan diiringi petikan gitar kecilnya. Kausnya yang berwarna ungu, dipadu celana pendek berbahan jeans terlihat kontras dengan kulitnya yang hitam dan rambut yang memerah terkena sinar matahari. Dia tengah duduk di sebuah bangku dekat sebuah pohon Beringin besar di depan pintu masuk Gedung Agung. Di sebelahnya, seorang perempuan bertubuh subur bernama Dian duduk di sebelahnya. Di sisi yang menghadap Benteng Vredeburg, duduk Adi dan Endra. Ketiganya tengah berbincang dan sesekali mengomentari nyanyian Doni, lantas tertawa lepas. “Saya dulu kecopetan waktu jalan-jalan kesini, akhirnya bergabung dengan teman-teman di komunitas Ringin Life,” ujar Doni.
Dia mengaku baru dua bulan berprofesi sebagai pengamen jalanan. Di awal ‘karier’ sebagai anak jalanan, dia sekali diangkut oleh Satpol PP karena dianggap illegal. Namun, setelah dilakukan pendataan dan menginap sehari, dia dilepas ke jalan lagi. “Tiap hari sekitar Rp 30 ribu. Tapi kalau hujan, ya berarti tidak ngamen,” ujarnya.
Sering tidur di Pasar Senthir saat awal-awal jadi anak jalanan, sekarang dia sudah lebih nyaman tinggal di kos-kosan di kawasan Bintaran dengan harga sewa Rp 150 ribu per bulan, bersama Dian. Lelaki berusia 18 tahun itu bergabung di komunitas ini juga berkat Dian yang menemukan dirinya hilang tak tentu arah di Malioboro. Dian sendiri juga anggota ‘baru’ di komunitas tersebut, yaitu setahun. “Bagaimana caranya pokoknya harus bisa kos, jangan tidur di sini (Malioboro),” ujar perempuan asal Solo itu.
Kisah Dian sedikit berbeda dengan Doni. Wanita berusia 25 tahun itu memilih kabur dari rumah lantaran tidak tahan dengan segala aturan rumah dan keluarga. Kematian ayahnya menjadi pemicu dia meninggalkan rumah. Motor yang dibawanya pun akhirnya dijual demi biaya hidupnya selama di Jogja. Saat uangnya masih melimpah, Dian mengaku nginep di hotel. “Lama kelamaan habis, saya duduk-duduk disini dan kenal sama dia,” katanya sembari menunjuk Adi.
Dia mengaku lebih suka tinggal di Jogja meski menjadi anak jalanan. Kota ini dikenal ramah terhadap anjal dan banyak tempat nongkrong. Otomatis, untuk mendapatkan penghasilan lebih terbuka lebar meski tidak mudah. “Jogja kan juga terkenal banyak anjalnya, jadi lebih enak aja,” katanya.
Adi mengatakan seluruh anggota komunitas berprofesi sebagai pengamen. Biasanya mereka berkumpul di atas jam 11.00 dan mulai berkeliling Malioboro sekitar pukul 13.00 WIB hingga pukul 19.00 WIB. Adi adalah pria asal Palembang dan menjadi ‘tetua’ dalam komunitas yang berjumlah delapan orang. Dia sudah berada di jalanan Jogja sejak 1999 dan kini usianya 29 tahun. “Tapi disini tidak ada yang namanya ketua, apalagi setor penghasilan. Semuanya bareng-bareng, kalo ada penghasilan ya simpan sendiri,” katanya.
Selama hampir 12 tahun, dia sudah merasakan pahit manisnya hidup di jalanan. Yang dia catat adalah para turis yang bertebaran di Malioboro mau memberi uang kalau mengamen dengan suara dan lagu bagus dan berpakaian rapi. “Biasanya ngasih dua ribu, bahkan ada bule yang pernah kasih Rp 50 ribu,” katanya.
Dia juga menjaga agar saudara satu komunitas tidak terlibat kebiasaan buruk seperti mabuk ketika ‘jam ngamen’. “Kalau di luar itu, ya silakan kalau memang mau mabuk,” tuturnya.
“Kalau sudah teler, ya pulang,” sahut Doni dengan jenaka. Perbincangan terhenti sejenak karena mereka becanda mengomentari pernyataan Doni yang asli Semarang itu.
Adi melanjutkan sebagai sebuah keluarga di jalanan, mereka saling mengingatkan satu sama lain. Terutama yang berhubungan dengan sesama komunitas anjal, komunitas ini berusaha meminimalkan gesekan atau malah memicu perkelahian. Satu sama lain juga saling mengingatkan aturan main sebagai anjal.
“Jujur ya kalau di tempat lain, kita kan kisruh sama petugas. Kalau disini, kalau tidak keterlaluan, tidak bakal diangkut (dirazia). Misal kalau ngamen di lampu merah, itu kan melanggar. Nah, sesama komunitas saling mengingatkan,” bebernya.
Sebagai anjal, banyak hal yang dianggap tidak adil yang mereka alami. Upaya mereka untuk bekerja ‘normal’ selalu gagal gara-gara mereka tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). “Saya pernah ngelamar tapi tidak pernah dipanggil karena gak punya KTP,” katanya.
Seluruh anggota ini memang tidak memiliki kartu identitas apapun. Bahkan, kartu tanda anggota yang dikeluarkan oleh UPT Malioboro Dinas Pariwisata Kota Jogja juga belum dimiliki, meski sudah mengajukan diri. Adi menceritakan dengan memiliki KTA tersebut, maka bebas untuk mengamen di sepanjang Jl. Malioboro. “Selain itu katanya juga tidak akan diangkut kalau ada razia. Tapi itu katanya,” ujarnya.
Apakah membuat KTA perlu mengeluarkan uang? “Iya, bayarnya Rp 30 ribu tapi kita bisa bebas dari razia. Katanya….,” sahut Doni.
“Tapi kemarin ada yang diangkut meski sudah punya KTA. Jadi sebenarnya saya juga tidak tahu apa manfaat punya KTA,” ujar Adi menyahuti pernyataan Doni.
Mereka bukannya tidak mau kembali ke rumah. Tetapi ikatan perasaan memiliki keluarga di jalanan membuat mereka betah. Bahkan Doni kerap minta disembunyikan jika ada orangtua atau kerabat yang mencari dirinya. “Pokoknya kita saling melindungi,” ujar Dian.
Tetap saja, banyak hal tak mengenakkan yang dialami, terutama berkaitan dengan pelayanan kesehatan. “Karena jauh dari keluarga, kalau sakit tidak ada yang merawat. Paling hanya teman, tapi itu kan tidak bisa selamanya mengandalkan teman,” ujar Dian.
Kalau sudah begini, maka Adi yang akan mencarikan tempat berobat. Seringkali hanya kekecewaan yang harus mereka telan gara-gara menjadi anak jalanan. Secara terang-terangan dia mengatakan bila anjal tengah sakit, tidak ada yang mau peduli. Bahkan ketika dibawa ke puskesmas agar diobati, yang diperoleh kadang hanya cibiran bahkan keluhan.
“Kita kalau sakit rasanya udah mau mati, tapi malah direpotin puskesmas. Kita dipersulit dengan alasan dana minim. Itu kan tidak masuk akal karena berapa jumlah anak jalanan di Jogja berapa sih? Seharusnya kalau orang puskesmas membaca UUD 1945, itu jelas disebutkan bahwa anak telantar dipelihara negara, tapi nyatanya mana?,” kata pria yang pernah jadi relawan PKBI itu.
Kendala lainnya adalah minimnya edukasi yang diterima anak-anak jalanan terutama yang berkaitan dengan seks bebas, dan menyebabkan kehamilan. Dia mencontohkan ada satu anjal bernama Bekti, karena buta informasi mengenai kesehatan kehamilan, sempat bingung memeriksankan kandungannya. “Saat saya bawa ke lembaga zakat di Jl. Parangtritis, kita dipersulit dan disuruh ke Puskesmas. Di puskesmas, orang disana malah bilang: Kenapa sih anjal selalu dibawa ke Mergangsan,” katanya dengan nada tinggi.
Adi sendiri pernah mengalami masalah kesehatan setahun lalu. Saat itu, dia diharuskan untuk melakukan operasi tulang belakang di RS Bethesda dengan biaya Rp 30 juta. Tanpa memiliki penghasilan tetap dan kartu identitas jelas, jelas dia kelabakan. Untungnya ada seorang satpol PP berbaik hati mencarikan sebuah LSM yang bergerak di bidang sosial untuk kemudian yang membayar seluruh biayanya. “Tapi apakah harus seperti itu terus? Kalau ada yang mau melahirkan sekarang, masak harus cari LSM dulu baru bisa bayar. LSM-LSM itu kan hanya menjadikan kami kelinci percobaan, setelah duit keluar dari donatur, kami sulit mencari mereka lagi,” keluhnya.
Adi mengatakan komunitasnya bukan mau meminta uang dari LSM atau pemerintah daerah. Yang diinginkan mereka hanyalah agar pemerintah mau serius memikirkan nasib mereka. “Kita tidak nuntut banyak-banyak, cuma kalau sakit jangan digitukan,” katanya. (sit)
Comments