Salah satu makam yang terkenal di Pulau Samosir adalah Makam Raja Sidabutar, salah satu penguasa Tomok. Meski disebut raja, namun jangan membayangkan kekuasannya seperti Kerajaan Sriwijaya maupun Majapahit.
Raja disini bisa disebut sebagai kepala suku dengan wilayah kekuasaan yang terbatas. Bahkan, kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Pulau Samosir kerap saling menyerang agar wilayah kekuasaannya menyebar.
Untuk menuju Makam Raja Sidabutar, kita harus berjalan kurang lebih 500 meter dengan toko suvernir di sebelah kanan-kirinya. Di jalur ini juga ada sebuah beringin besar yang membuat suasana pasar menjadi lebih sejuk. Dahulu kala, pohon beringin dianggap sebagai pelindung dan penanda bahwa lokasi tersebut layak untuk ditinggali.
Kompleks makam ini tertata dengan rapi, dengan tangga berundak dengan penutup yang penuh dengan ornamen cicak dan empat buah payudara yang disebut Boraspati. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa perpaduan dua ikon ini melambangkan kesuburan. Di tengah undakan, ada meja yang berisi kain ulos yang wajib dipakai pengunjung dengan cara disampirkan di pundak, saat memasuki areal makam. Tenang saja, ulos itu dipinjamkan.
Di atas komplek tersebut, berjajar beberapa makam. Bahkan ada pula satu makam diisi oleh tulang beberapa kerabat raja. Salah satu Raja Sidabutar yang terkenal adalah Raja Ompu Naibatu, yang makamnya dipahat sesuai wajahnya yang memiliki rambut gondrong. Konon raja tersebut memiliki kekuatan gaib sehingga tidak terkalahkan dalam tiap peperangan. Kisah ini menarik Muhammad Said asal Aceh yang menjadi ajudan setia sang jenderal.
Namun, sebagai seorang yang gagah ternyata tersimpan kisah sedih ketika si raja ingin menikahi kekasihnya Anting Malaila. Karena ada raja lain yang cemburu, konon wanita cantik ini diguna-guna sehingga enggan menikah dengan Raja Ompu Naibatu. Pada akhirnya, perempuan ini gila dan hilang entah kemana. Saking cintanya pada perempuan ini, sang raja memahat sebuah patung perempuan dengan cawan di atas kepalanya. Sedangkan di bagian bawah kepalanya, dipahat ajudan setianya.
Untuk masuk ke lokasi ini, tidak ada tarif khusus yang ditetapkan dan biasanya ada guide yang menceritakan kisah tentang raja-raja di Sidabutar. Meski begitu, pengunjung diharapkan untuk mendonasikan uangnya untuk mendukung upaya kelestarian dan perawatan Makam Raja Sidabutar ini.
Sebelum masuk kawasan Makam Raja Sidabutar, sempatkan diri untuk masuk ke areal kerajaan Raja Sidabutar. Rumah-rumah adat yang ada di daerah ini tidak sebanyak dahulu. Menurut cerita warga setempat, minimnya perhatian dari pemerintah membuat banyak rumah adat yang dirobohkan. Selain itu, warga juga lebih suka menggantinya dengan rumah beton.
Di areal ini, ada empat rumah adat milik Raja Sidabutar beserta kerabatnya yang masih berdiri kokoh. Namun, tiga rumah sudah mengganti atapnya dengan seng. Hanya rumah sang raja yang masih menggunakan atap ijuk. Di bagian depan atap, dipasang ukiran gajah dompak dan singa-singa untuk mengusir roh jahat.
Berbeda dengan rumah adat Minangkabau, pintu masuk rumah adat yang disebut Ruma Bolon itu ada di bagian depan. Selain itu, sebagai raja dan keturunan raja jumlah anak tangga juga berjumlah ganjil. Di bagian bawah, digunakan sebagai kandang binatang peliharaan. Di dalam rumah ada dua bagian yaitu atas yang dimanfaatkan sebagai gudang dan bawah tengah yang cukup luas digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga. Kami sempat menengok rumah yang jadi masih didiami keturunan raja, isi rumahnya ternyata lebih modern dan lengkap dengan aneka perabotan.
Disini, pengunjung diperkenalkan dengan boneka Sigale-gale yang berarti lemah gemulai. Uliman Situmorang, salah satu pendamping tur di kawasan tersebut bercerita bahwa kala itu raja memiliki anak laki-laki satu-satunya. Ternyata anak itu sakit dan meninggal yang menimbulkan rasa sedih yang luar biasa. Oleh karena itu, si raja membuat boneka Sigale-gale yang wajahnya mirip si anak dan membuat musik memanggil ruh dengan gondang. “Dulu, boneka ini digerakkan oleh ruh nenek moyang. Sekarang kami menggunakan replika dan menggerakkan menggunakan tali,” ujar Uliman.
Saat kami berkunjung kesana, Uliman tengah mengajarkan Tali Tortor kepada pengunjung lain yang datang dari Medan. Tarian tersebut terdiri dari beberapa bagian dengan diiringi oleh gondang (gendang) yang berbeda-beda. Untuk tarian awal, dibunyikan Gondang Mulamula, yagn merupakan awal dan bentuk menyembah tuhan. Selanjutnya adalah Gondang Sombasomba, sebuah tarian yang tujuannya menghormati leluhur nenek moyang. Dilanjutkan dengan musik iringan dari Gondang Liat dengan berkeliling sebanyak tiga kali. Tarian ini sebagai bentuk menghormati antar sesama manusia. Dan terakhir adalah membunyikan Gondang Si Tiotio sebagai bentuk ucapan syukur atas kesehatan yang diberikan. Uniknya, cara mengucap syukur adalah dengan berteriak ‘’Horas-horas’’.
Comments