Skip to main content

Buktikan Kekuatan Doa

  
Tidak ada komentar 1077 views

KETUA PC IBI MOJOKERTO –  Hj. Ninik Artiningsih S.Sc M.Kes


ketua-ibi-mojokerto

Tidak banyak orang percaya bahwa berdoa mampu memudahkan dalam mencapai cita-cita maupun karier. Ketua IBI Kota Mojokerto, Hj. Ninik Artiningsih S.Sc M.Kes membuktikan keampuhan berdoa dalam mengejar keinginannya.

Seringkali, kenangan di waktu kecil menjadi hal tidak terlupakan bahkan jadi inspirasi bagi seseorang. Begitu halnya bidan Johar yang menginspirasi Ninik untuk menerjuni profesi bidan.

“Sampai sekarang saya masih ingat namanya, bidan Johar. Beliau menolong ibu saya saat melahirkan. Seketika itu juga, saya kagum dan ingin jadi bidan,” kenangnya.

Dorongan inilah yang membuatnya memilih bersekolah di sekolah perawat kesehatan (SPK) di kota Mojokerto. Niat ingin meneruskan pendidikan ke akademi kebidanan tertunda karena tempat yang ada telah ditutup. Ninik pun berdoa agar diberi kesempatan meneruskan pendidikan. “Tidak lama kemudian dibuka Program Pendidikan Bidan atau P2B Sidoarjo. Saya salah satu angkatan pertama yang lulus dari sana,” katanya.

Lulus dari P2B, dia ditempatkan di Mojokerto. Meski lulusan D1, kala itu dia sudah mengajar di sebuah akademi perawat. Merasa kurang mumpuni di dalam hal akademis, dia berdoa lagi agar diberi kesempatan meneruskan pendidikan. Saat itu di Surabaya sudah ada pendidikan D III, tapi karena tengah hamil dan tak tega meninggalkan anak yang masih kecil, niat itu diurungkannya.
muscab-ibi-mojokerto

Ninik hanya berdoa agar keinginannya bersekolah lagi bisa terkabul. Tidak berapa lama kemudian, di Kota Mojokerto dibuka Poltekkes Majapahit. Dia pun mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di tahun 1999-2002.

Keinginannya untuk belajar tidak berhenti disini. Doa pun dipanjatkan lagi supaya dirinya bisa mengecap pendidikan D IV dan ternyata dikabulkan. Saat itu di Universitas Kediri dibuka D IV kebidanan. Ninik lulus dari kampus ini pada 2005/2006.

Ninik belum merasa puas. Dia ingin mengenyam pendidikan S2 di Universitas Airlangga. Sayangnya, kampus itu tidak menerima mahasiswa lulusan D IV. Dia memikirkan cara supaya bisa kuliah lagi dibarengi doa. Ternyata jawaban doanya tidak lama, Universitas Negeri Solo (UNS) mau menerima lulusan D IV dan Ninik lulus di tahun 2012.

“Dari sini saya merasa sangat bersyukur diberi kemudahan, Tuhan sangat sayang sama saya,” katanya.

Ninik mengaku bidan adalah hasratnya yang paling utama. Namun di darahnya mengalir darah sang ayah yang seorang guru. Itu sebabnya dia begitu antusias untuk kuliah terus.

Maka selain praktek bidan mandiri, dia menjadi dosen di Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto juga menjadi dosen tamu di sejumlah kampus seperti Akper Kosgoro, Akbid Mojopahit dam Universitas Mayjen Soengkono. “Alhamdulillah semua syarat untuk jadi dosen, yaitu S2 bisa terpenuhi,” ucapnya penuh syukur.

Soal programnya di periode yang kedua, Ninik mengatakan ada empat fokus. Yang pertama adalah penguatan kepengurusan agar seluruh rencana yang disusun dalam renstra bisa dilaksanakan. Dalam menyusun kepengurusannya, dia mengajak seluruh stake holder mulai bidan praktek mandiri, RS swasta, RS umum, dinas kesehatan hingga perwakilan bidan purna tugas. “Untuk wakil ketua, saya ambil dari semua stake holder supaya renstra bisa terwujud,” katanya.

Program kedua adalah sosialisasi renstra pada pengurus baru agar paham mengenai tugas masing-masing. Diharapkan tiap pengurus memiliki tanggung jawab penuh dalam menjalankan kewajibannya.

Yang ketiga adalah menambah jumlah bidan delima yang masih belum tercapai di kepengurusannya terdahulu. Kata Ninik, pihaknya akan melakukan studi banding ke daerah yang sudah baik jumlah dan kondisi bidan delimanya. “Kami masih akan konsultasi dulu dengan PD IBI (Jatim, red),” katanya.

Dia mengakui jumlah bidan delima di Kota Mojokerto masih belum sesuai harapan yaitu hanya 15 orang, termasuk fasilitator. Adapun jumlah bidan praktik mandiri (BPM) di Kota Mojokerto pun sangat sedikit yaitu 24 orang saja. “Karakteristik bidan dan masyarakat di Kota Mojokerto berbeda dengan di kabupaten atau kota lain di Jatim,” katanya.

Dia mengungkapkan bahwa Pemkot Mojokerto memiliki kebijakan bagi masyarakat yang belum tercover dalam jaminan kesehatan nasional (JKN) lewat BPJS akan dijamin pembiayaan kesehatannya oleh pemkot. Dengan catatan, warga memeriksakan dirinya ke puskesmas atau ke rumah sakit umum daerah.

Institusi pelayanan kesehatan pun sangat lengkap. Dengan dua kecamatan dan 125 ribu penduduk, Kota Mojokerto “dihujani” dengan tujuh rumah sakit, lima puskesmas, 14 puskesmas pembantu dan lima rumah bersalin. “Hal ini membuat bidan praktik mandiri tidak berkembang,” ujarnya.

Meski berdampak positif pada masyarakat, kata Ninik hal ini berimplikasi pada perkembangan bidan praktek, utamanya bidan delima. Publik lebih suka memeriksakan diri ke puskesmas atau rumah sakit ketimbang ke bidan yang notabene harus mengeluarkan biaya lagi. “Itu program bagus buat masyarakat tapi bagi bidan cukup menyulitkan,” akunya.

Ninik menegaskan dalam waktu dekat akan dilakukan advokasi terkait isu ini. Diharapkan langkah ini bisa memicu pertumbuhan bidan delima ke arah yang lebih baik. Adapun program ke empat adalah peresmian sekretariat baru IBI Kota Mojokerto. Ninik mengaku mengupayakan penuntasan gedung dan penggunaannya pada pertengahan 2015 mendatang. Saat ini, proses pengerjaannya sudah mencapai 90 persen. (nani mashita).

Profil
Nama : Hj. Ninik Artiningsih SSc MKes
TTL : Sidoarjo, 13 Agustus 1968
Pendidikan
– SPK Mojokerto 1987
– Program Pendidikan Bidan (P2B) di Sidoarjo 1988-1989
– D III Poltekkes Majapahit 1999-2002
– D IV Kebidanan di Universitas Kediri 2005/2006
– S2 di Universitas Negeri Solo 2012
Karier
– bidan praktek
– dosen di sejumlah kampus seperti Akper Kosgoro, Universitas Mayjen Sungkono, Akbid Mojopahit dan Stikes bina sehat PPNI Kota Mojokerto
– ketua IBI Kota Mojokerto periode kedua

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej