LENSAINDONESIA.COM: Bupati
Bojonegoro, Suyoto sukses meraih gelar doktor di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM), Sabtu (23/9/2017). Kesuksesan itu diraih
berkat disertasinya yang mengangkat tentang penafsiran generatif
terhadap ritual kematian di Desa Pajeng, Kecamatan Gondang, Kabupaten
Bojonegoro.
Bupati Bojonegoro dua periode ini tertarik mengangkat hal tersebut
setelah mengetahui warga Pajeng yang selalu menolak bantuan dari
pemerintah.
“Setiap ada bantuan mereka menolak. Mereka tak mau dibantu,” kata mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik itu.
Pria kelahiran Bojonegoro, 17 Februari 1965 ini kemudian melakukan
penelitian sekitar 11 tahun. Dia pun akhirnya mengetahui mengapa warga
Pajeng, asal usul Kerajaan Majaphit itu menolak bantuan pemerintah.
Menurut dia, mereka mandiri karena kegotong-royongannya sangat kuat.
Hal itu terkondisikan berkat penafsiran ulang secara generatif terhadap
ritual kematian. Sehingga, kata dia, demokrasi yang mereka terapkan
bersifat solutif.
Demokrasi yang demikian, kata dia, akan sangat indah bila diterapkan
dalam konteks nasional. Sebab, demokrasi Indonesia selama ini bersifat
prosedural, sehingga belum efektif karena hanya menghasilkan konflik.
Suyoto yang resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Sosial dan Politik UMM
ini berharap melalui riset disertasinya tentang Rukun Kematian di Desa
Pajeng bisa menjadi buah demokrasi. Atau paling tidak menginspirasi
bangsa Indonesia.
Dia pun menjelaskan detail disertasinya yang berjudul “Konstruksi
Pemaknaan Ritual Kematian sebagai Perwujudan Nilai-Nilai Kebajikan
Sosial dalam Perspektif Bergerian”. Menurutnya demokrasi di Pajeng
berjalan dengan baik justru teraktualisasi karena ritual kematian.
Menurut dia, awalnya ada warga miskin meninggal yang justru menjadi
beban keluarganya. Itu karena ada “kewajiban sosial” yang harus
ditanggung untuk ritual kematian.
Hal itu, kata dia, sempat menjadi perdebatan. “Ya karena ritual itu
dipandang sebagai aktivitas memiskinkan dan tak produktif,” tandasnya.
Lalu, dari perdebatan itu muncul gagasan membuat Rukun Kematian (RK).
Harapannya agar warga tak terbebani akibat ritual kematian itu.
Pembentukan RK itu setelah jadi perbincangan di rumah-rumah warga dan warung. Akhirnya dibahas secara informal lewat kongkow-kongkow dan terakhir melalui rembukan resmi.
Pembentukan RK itu setelah jadi perbincangan di rumah-rumah warga dan warung. Akhirnya dibahas secara informal lewat kongkow-kongkow dan terakhir melalui rembukan resmi.
“Begitu RK terbentuk, saat ada warga meninggal semua guyup. Mereka
menghentikan aktivitasnya hanya untuk membantu keluarga yang meninggal
dunia. Sehingga keluarga yang meninggal dunia tak terbebani,” katanya.
Karena itu, doktor dipromotori Prof Dr Hotman Siahaan ini RK itu
merupakan buah demokrasi. “Hal itu sangat berharga bagi bangsa ini,”
kata Suyoto yang co-promotornya adalah Prof Dr Ishomuddin MSi, Dr
Wahyudi MSi dan Dr Rinekso Kartono MSi. @aji
Sumber: http://www.lensaindonesia.com/2017/09/23/bupati-bojonegoro-raih-doktor-berkat-ritual-kematian.html
http://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/lensa-indonesia/bupati-bojonegoro-raih-doktor-berkat-ritual-kematian-rukun-kematian-bisa-jadi-inspirasi-bangsa.html
Comments