Skip to main content

Tinggalkan bangku SMA demi jadi bidan


KETUA PC IBI TUBAN –  Dri Yuli Hartiningsih S.Sos S.ST

ketua-ibi-tuban
Menjadi bidan mungkin bukan cita-cita ideal bagi kebanyakan perempuan saat ini. Namun, jika hal itu ditanyakan pada Dri Yuli Hartiningsih S.Sos S.ST maka jawabannya bisa berbeda.
“Dari kecil memang saya ingin jadi bidan,” katanya membuka perbincangan.

Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, dia kerap menemani ibunya memeriksakan kandungan termasuk saat menunggu ibunya bersalin. Tidak hanya itu, banyak kerabatnya yang memeriksakan diri kepada bidan langganan keluarga. Sebuah peristiwa menguatkan cita-citanya: budenya diselamatkan bidan pasca mengalami perdarahan. “Makanya sampai SMP pun kalau ditanya cita-citanya apa, ya jadi bidan,” tegasnya.
ibi tuban
Cita-citanya nyaris tak tercapai manakala dirinya didaftarkan ke SMA. Dri Yuli juga sempat mencicipi bangku SMA tapi hanya satu minggu saja karena ternyata diam-diam mendaftar ke Sekolah Kebidanan milik Pemkab Bojonegoro. Yang menarik, orang tuanya tidak marah dengan keputusannya jadi bidan.”Ya tidak apa-apa (meninggalkan SMA, red),” katanya.

Perjalanannya jadi bidan memang tidak selalu mulus. Lulus dari sekolah dan menikah, karirnya layu sebelum berkembang. Sang suami kala itu tidak mengizinkan dia praktik bidan maupun bekerja di puskesmas. Alasannya sederhana, Dri Yuli diminta untuk mengasuh anaknya sendiri.

Permintaan itu sempat dikabulkannya dan dijalani selama dua tahun. Namun, cita-cita untuk membantu pasien hamil begitu kuat tertancap di hati dan pikirannya. Pelan namun pasti Dri Yuli “melobi” suami agar diizinkan bekerja. “Ya setengah ngomel juga,” guraunya.

Izin dari suami akhirnya turun. Karirnya pun dimulai ketika diterima sebagai PNS dan ditempatkan ke Puskesmas Bulu, Tuban. Selama beberapa saat, dia dipindah ke Puskesmas Bancar lalu kembali ke Bulu untuk jadi kepala puskesmas, sekaligus rangkap jabatan sebagai Kepala Puskesmas Bancar pada tahun 2011.

Menjadi kepala puskesmas jadi pengalaman yang menantang karena dia membawahi dokter, dokter gigi dan juga perawat maupun bidan yang lainnya. Agar sukses memimpin dua puskesmas sekaligus, dia memilih banyak membaca terutama mempelajari berbagai produk hukum yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.

Sepanjang kariernya banyak kisah menarik yang dilaluinya terutama berkaitan dengan dukun bayi, yang masih marak di Tuban hingga tahun 2000-an. Salah satu yang membekas saat menghadapi dukun bayi “provokator” yang sempat mengganggu tiap kali dia bertugas.
ibi tuban2
Namun, sikap itu berubah 180 derajat usai menolong pasien melahirkan yang sebelumnya ditangani dukun “provokator”. Saat dia datang, si jabang bayi sudah meninggal. Namun karena dukun itu tidak bisa mengeluarkan bayi, maka dipanggillah Dri Yuli.

Dia tidak menampik jika profesi dukun bayi – yang diturunkan turun temurun – masih marak hingga tahun 2000-an. Dri Yuli berupaya agar dukun bayi memiliki keterampilan seperti bidan. Apalagi jika sampai jadi bidan. “Saya sempat mengkader sejumlah calon dukun bayi untuk jadi mitra bagi bidan, syukur-syukur kalau jadi bidan,” kata perempuan yang juga pengusaha genteng itu.

Pengalaman lain adalah ketika dia menangani persalinan di sebuah rumah yang sulit dilewati kendaraan roda empat. Dri Yuli harus berjalan kaki lumayan jauh untuk sampai ke rumah yang dimaksud. Belakangan, pasien tersebut harus ditandu untuk penanganan lebih lanjut.

Pengalaman lain adalah usai memasang IUD di salah seorang pasien. Sore hari, dia didatangi suami dari pasien tersebut sembari marah-marah menyebut isterinya perdarahan. Akhirnya dengan didampingi seorang tentara, dia berjalan kaki dengan perut membucit karena sudah hamil tua.
“Eh lha kok pas sampai disana, si ibu sudah duduk-duduk di depan. Saya tanya katanya perdarahan, si ibu jawab dengan kalem, katanya kemeng (nyeri, red) tapi sekarang sudah tidak apa-apa,” katanya sembari tertawa.

Setelah pensiun dan menyelesaikan kepemimpinan periode pertama, dia “dipaksa” untuk memimpin IBI kembali. Oleh karena itu dia berfokus pada program kaderisasi mempersiapkan pengganti dirinya. Selain itu, menggemblengara bidan dengan sejumlah pelatihan-pelatiham. “Yang membanggakan, teman-teman mau ikut pelatihan meski terkadang harus dari uang sendiri,” pujinya.

Penguatan kerjasama eksternal juga terus dilakukan IBI Tuban agar tetap berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat. Yang terakhir adalah program untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015. Meski tetap optimistis dengan keunggulan bidan lokal, Dri Yuli tetap akan membekali bidan dengan berbagai keterampilan terutama bahasa Inggris.* (nani mashita)
ketua-ibi-tuban-biografi
Profil
Nama : Dri Yuli Hartiningsih S.Sos S.ST
TTL : Tuban, 17 Juli 1956
Pendidikan
– Sekolah kebidanan Pemkab Bojonegoro tahun 1979
– D III Akbid Bojonegoro tahun 2000
– D IV Universitas Tribuana Tungga Dewi 2012
– S1 Universitas Kediri 2000
Karier
– Puskesmas Bulu, Tuban
– Puskesmas Tambak Boyo, Tuban
– Puskesmas Bancar menjadi koordinator bidan
– Menjabat Kepala Puskesmas Bulu merangkap Kepala Puskesmas Bancar di tahun 2011
– 2014 Terpilih jadi Ketua IBI Tuban periode kedua
– Dosen di STIKES NU


http://ibijatim.or.id/tinggalkan-bangku-sma-demi-menjadi-bidan/

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej