OLEH:
GOENAWAN MOHAMAD
Pidato Penerimaan “Anugerah Hamengku Buwono IX’,
Universitas Gadjah Mada, 19 Desember 2011.
I
Tak perlu saya kemukakan dengan paragraf-paragraf yang panjang rasa terima kasih saya atas kehormatan istimewa yang saya terima hari ini. Bagi saya, anugerah ini, di bawah nama ‘Hamengku Buwono IX’, menjadi tambah berharga karena apa yang saya kenang dari tokoh besar Yogyakarta dan Republik Indonesia itu.
Yang saya kenang berasal dari tanggal 8 Oktober 1988. Itu hari pemakaman agung Sri Sultan. Hari itu saya berada di kota ini, bertugas meliput peristiwa besar itu, dan ikut menyumbang laporan yang dimuat di Majalah TEMP0 ini. Izinkan saya membacanya di sini:
Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Pekan lalu, Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dan tak ada gemuruh gunung dan tak ada gempa. Yang ada gemuruh lain: ratusan
1 * Pidato penerimaan Anugerah ‘Hamengku Buwono IX’ dari Universitas Gadjah Mada, 19 Desember 2011.
6
ribu manusia membanjir berbelasungkawa, sejak jenazah tiba dari Jakarta sampai dengan tubuh itu diiringkan dengan kereta berkuda ke bukit-bukit kering di Imogiri.
Seorang wanita tua di dekat Bandar Udara Adisucipto bahkan terdengar menangis, “Duh, Gusti, duh, Gusti....” Barangkali sebuah babad lain akan mencatat bahwa inilah pemakaman terbesar di abad ke-20, dalam hal jumlah manusia yang ikut serta.
Dan banyak yang bakal setuju. “Ngarsa Dalem telah membuat pangeram-eram,” bisik seorang tamu kepada Pangeran Hadiwinoto, salah seorang putra raja Yogya yang wafat itu, ketika melihat hampir setengah juta manusia datang menyambut. Dan Hadiwinoto kemudian sadar: benar, Hamengku Buwono IX telah membuat sesuatu yang menakjubkan.
Hujan juga turun, tak disangka, setelah tiga bulan kota kering seperti konon itulah kebiasaan bila ada anggota keluarga kraton Yogya meninggal. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah Sri Sultan disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta, Selasa yang lalu. Sebuah teja aneh berwarna putih bahkan tampak di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung, dan dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam.
Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan buat raja yang juga demokrat itu ialah rakyat, rakyat, rakyat. Rakyat itu pula yang sejak Jumat jam 14.00 hingga Sabtu jam 05.00 pagi pekan lalu antre untuk melihat dan menyembahyangi jenazah Sri Sultan.
II
Kini sudah hampir seperempat abad umur laporan jurnalistik itu. Jarak antara teks itu dan peristiwa yang dilukiskannya sudah panjang, dan mungkin menyebabkannya berubah: naskah itu, sebuah dokumen sejarah, bisa menjadi tak lagi meyakinkan, atau sebaliknya, ia justru mempunyai daya pesona yang lebih.
7
Ia juga mudah berubah dalam tafsir pembaca kemudian, karena di dalamnya terdapat dua elemen.
Pertama: deskripsi, betapapun ringkas, tentang hal-hal yang tak lazim, yang ajaib, mungkin magis: hujan yang tumben turun, teja berwarna putih yang tampak di langit Imogiri, dua ekor burung hitam di tembok makam. Apa yang dilihat para reporter saat itu barangkali kini akan dibaca sebagai sebuah fantasi atau ilusi.
Kedua: laporan tentang kejadian yang tak ganjil sama sekali, meskipun dramatis: ribuan orang yang bertakziah ke Kraton, ketika jenazah Hamengku Buwono IX disemayamkan.
Teringat akan naskah tentang pemakaman agung itu, saya memilih percakapan hari ini dengan menawarkan pembacaan kembali sebuah naskah yang jauh lebih tua: Malangsumirang.
Umumnya ‘Malangsumirang’ (atau ‘Malang Sumirang’) dikaitkan dengan sebuah suluk yang konon ditulis Sunan Panggung. Tapi versi yang saya pergunakan saya petik dari Babad Jaka Tingkir. Babad atau ‘sejarah’ ini digubah (‘ginupita’) dengan titimangsa tanggal 22 bulan Sapar tahun 1748 (sangkakalanya, ‘Sang Mahamuni Anata Goraning Ati’). Dalam kalender Masehi, itu berarti 23 Agustus 1820. Itu menurut tafsir Moelyono Sastronaryatmo. 1 Tapi dalam telaahnya atas naskah ini, Nancy K. Florida menyimpulkan: ‘Boleh jadi teks ini digubah di Ambon pada tahun 1840-an’ – mungkin oleh Pakubuwana VI sendiri, yang waktu itu dibuang pemerintah Belanda ke kota di Maluku itu.2
Hampir tiap membaca babad, kita menghadapi persoalan yang sama: dalam teks yang dimaksudkan sebagai rekaman kejadian sejarah itu kita sering menemukan dua elemen yang saya sebut terdapat dalam laporan jurnalistik tadi. Dari sana kita pun menduga bahwa yang faktual telah berbaur dengan yang fiktif, dan deskripsi yang kita temukan mungkin sebenarnya hendak mengacu kepada sesuatu yang lain.
8
Dalam ambiguitas itulah sebuah teks memberi kesan ‘gerak’: ia bergerak terus menerus antara yang fantastis, (mungkin ilusi, mungkin imajinasi), dan yang ‘faktual’.
Menurut hemat saya, dengan melihat ‘gerak’ teks Malangsumirang – dengan melihatnya dalam proses ‘metamorfosis’ – ia akan lebih pas berbicara kepada kita di masa ini. Inilah masa ketika hukum, kaidah dan akidah, juga bahasa, bergulat dengan acuan-acuan yang tak henti-hentinya berubah, identitas-identitas yang luput mencakup. Atau, meminjam kata-kata Babad Jaka Tingkir yang menggambarkan Malangsumirang, inilah sebuah masa dengan perubahan yang datan kena pinethit kesité, ‘tak tertangkap ekornya karena demikian gesit’.
Kisah Malangsumirang sendiri, yang tak harus kita percayai sebagai seorang pelaku sejarah yang ‘nyata’, juga sebuah kisah metamorfosis.
III
Dalam Babad Jaka Tingkir, Sang Malangsumirang ditampilkan dalam bagian akhir pupuh XXI, dalam untaian tembang Mijil, kemudian dilanjutkan di pupuh berikutnya, dalam metrum Sinom. Tokoh ini akhirnya menghilang dalam pupuh XXIV, dengan metrum Dandhanggula.
Jika kita ikuti paparan dalam tiga pupuh itu, kita akan menemukan seorang hero yang juga sekaligus antihero.
Meskipun usianya baru 30, Malangsumirang telah dipanggil ‘Ki Sèh’. Dengan kata lain, ia memperoleh sebutan kehormatan, kombinasi antara ‘Ki’ dari tradisi ‘Jawa’ dan ‘Sèh’ (Syekh) dari tradisi ‘Islam’ yang datang dari Arab.
9
Pada usia 17, tokoh ini dikatakan sudah memperoleh ‘Ilmu Sejati’ dari Sunan Giri Prapèn. Ilmu itu telah dipelajarinya sampai tuntas. Ia pun menjalaninya, sebagimana dikatakan Babad Jaka Tingkir:
Manjing raga amangun tapané,
Anderpati maning wana werti,
Jurang-jurang sungil,
Pringganing aterjung.
Demikianlah ia mewujudkan tapanya, dengan tekad yang merasuki tubuh. Ia berani menempuh rimba yang angker, memasuki jurang yang dalam dan ngarai yang curam. Sebagai seorang muda, semangatnya bergelora. Dari proses ini ia jadi ‘teramat sakti’, ‘berani dan serba cakap’. Di antara manusia rata-rata, ia memang menonjol. Dan lebih dari semua itu, ia seorang yang mendapatkan ‘wahyu,’ [bahwa ia] ‘diiringi dan sama-sama sekehendak dengan Yang Maha Mengetahui’. Sinung wahyu dinulur sakapti/dènira Hyang Manon.
Juga dikatakan bahwa Ki Sèh telah berjalan mengelilingi pelbagai negeri. Perjalanan itu tanpa tujuan, tanpa ada yang dikehendaki. Walaupun demikian, atau mungkin justru karena demikian, pengembaraan itu disebut ‘mulia’, ‘jalan manusia unggul.’
Tapi nanti dulu. Hanya dalam beberapa baris kemudian, eulogia ini diinterupsi dengan gambaran yang berbeda. Di bagian berikutnya, Ki Sèh digambarkan sebagai perusuh. Nama ‘malang sumirang’ memang berarti, (menurut bausastra Jawa yang dihimpun W.J.S. Poerwadarminta), ‘hanya mengikuti kemauan sendiri’, nggugu karepé dhéwé.3 Ia tak mau ikut bersembahyang bersama di masjid. ‘Disuruh salat, tak sudi’. Ia ‘congkak’, tak segan kepada siapapun. Dan ia provokatif. Ia punya seekor anjing yang mengacau: binatang
10
yang dianggap najis oleh kebanyakan kaum Muslimin di Jawa ini disuruhnya masuk ke tempat peribadatan.
Perilaku Malangsumirang ini berlangsung terus selama tiga tahun. Bahkan dilakukannya di ibu kota negeri, di Demak.
Mendengar kejadian itu, para petinggi agama, terutama para wali, berkumpul. Sunan Kudus, yang disebut sebagai kemenakan Malangsumirang, mencoba menginsyafkannya agar berada di jalan syariat. Tak berhasil. Maka para wali pun bersepakat, Malangsumirang harus dihukum mati, ‘karena menerjang/larangan syariat’, karena ia ‘mengaku jadi badan dari sang roh /dan bahkan mengaku jadi tempat Ilahi’‘-- angaku badan rokani/kabanjuré angaken kahaning hyang’.4
Syahdan, pada suatu hari Senin, Malangsumirang pun dibakar hidup-hidup. Di alun-alun Demak, Mahapatih Wanasalam membangun unggun yang akan dinyalakan. Kata yang empunya cerita, Malangsumirang tak gentar. Ia bahkan ‘girang’ dan ‘menggebu’. Ia datang ke arena kematian itu, di mana Raja, waktu itu Sunan Drajat, beserta para ulama dan wali, adipati dan punggawa lain, duduk berkeliling untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman yang mengerikan itu. Alun-alun padat penonton. Dan Babad Jaka Tingkir menggambarkan kedatangan sang terhukum ibarat masuknya seorang aktor utama ke atas pentas:
…Malangsumirang wus prapti
milya lenggah anggèné wali sosoran.
Sonané alit binekta,
Ngadhep ing ngayunirèki,
Malangsumirang cahyanya,
Sumaringah ayem nenggih
11
(…Malang Sumirang tiba
Lalu duduk di tempat wali rendahan.
Ia membawa juga anjing kecilnya
yang menghadap di depannya,
Rona wajahnya cerah,
benar-benar tenang)
Maka Raja pun memerintahkan Sunan Kudus melaksanakan hukuman. Dalam Babad Jaka Tingkir, wali dari Kudus ini adalah ulama yang membunuh Sèh Siti Jenar dan menghabisi Ki Ageng Pengging. Tak ayal, ia pun menyalakan api, setelah mengatakan bahwa tindakannya berdasar hukum syariat. Ujarnya: ‘ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’.
Mendengar ini Malangsumirang menjawab, agar unggun segera dinyalakan. Bila nanti api sudah berkobar, katanya, ia akan segera meloncat masuk ke dalamnya. Tapi sebelum itu ia minta kertas serta tinta. Ia ingin menuliskan wasiatnya, begitulah pesannya.
Permintaannya dipenuhi. Dan api pun berkobar.
Melanda minyak dan reranting
Menjilat-jilat mengerikan
Api membubung ke angkasa
Menggeram suaranya
Yang menyaksikan pun merinding
Tapi Sèh Malangsumirang bergegas
Pamit sambil memberi salam.
Ia segera naik
Ke atas unggun di utara beringin kurung.
12
Tak ketinggalan anjingnya
Yang ikut di belakangnya.
Setiba di atas unggun
Ia terjun ke dalam api
Dan sesampainya di tengah nyala
Ki Sèh duduk bersila
Si anjing menghadap di depan
Tak terjamah oleh api
Lalu Ki Sèh memerintahkan anjingnya
Supaya kembali mengambil
Kertas, pena, dan tinta
Yang ditinggalkan di tempat duduknya
Yang akan ia gunakan untuk menulis.
Si anjing pun dengan cekatan kembali
Tiba di tempat semula
Lalu mengambil kertas
Serta pena, tinta, yang ketinggalan
Dan masuk kembali ke julangan api
….
Malangsumirang pun segera
Mulai menulis
Di tengah-tengah kobaran api…5
Demikianlah tokoh cerita ini terus mengguratkan penanya, dengan tenang, sementara ‘Api berkobar sengit/Menjilat-jilat, menyala lama…’.
Di bagian ini, Malangsumirang berubah. Dalam metafomorfosis ia seorang martir. Ia syuhada. Tentu saja pertama-tama ia mengingatkan orang akan kisah Siti Jenar yang terkenal itu, yang
13
lehernya dipenggal Sunan Kudus, tapi, setelah kepalanya lepas, kembali hidup. Dalam teks, di pupuh ke XXII, memang disebut bahwa sikap tenang Malangsumirang mengingatkan sang penulis akan ‘Pangeran Siti Jenar dahulu kala’.
Tapi lebih dari itu, Babad Jaka Tingkir menyamakan hukuman bakar di Demak itu dengan hukuman yang sama atas ‘Sang Nabi Ibrahim, Kekasih Allah’. Nabi Ibrahim, kata sang penulis Babad, ‘Dibakar dalam tanur tinggi”, oleh “Namrud Sang Raja Zalim’.
Seperti Nabi Ibrahim pula, Malangsumirang tak termakan api. Dari unggun yang menyala itu ia muncul, setelah selesai menulis. Diiriingi anjingnya – yang membawa tulisannya – ia kembali duduk dalam majelis. Si anjing juga duduk, menjunjung tulisan tuannya, bersama tinta dan pena.
Seluruh hadirin, dari Raja, para wali dan rakyat yang menonton, tercengang. Mereka melongo, kehilangan kata-kata, terhenyak. Lalu orang ramai pun berseru: ‘He, he, lihatlah, ini nyata! Sungguh, kenyataan menjelma!’
Maka, Ki Sèh bersalaman segera
Dengan Kangjeng Sunan Drajat
Serta para wali pemuka
Juga kepada Sri Baginda
Para wali pendeta mufti
Semua menyalaminya
Berdesakan dari belakang
Siapa pun yang ada di situ
Semua berhasrat dapat syafaat Sang Sakti
Ki Sèh Malangsumirang.
Segera Ki Sèh menghaturkan tulisan
14
Yang ditulisnya di dalam api
Penggalang diri itu
Diterima Sang Prabu
Sebagai jejak keramat zaman kelak
Pertanda yang dibangkitkan
Dalam lagu menjadi suluk
Yakni Suluk Malangsumirang,
Sebagai pijakan menuju ilmu rasa
Yang meliputi rasa.
Penulis tembang ini memuji suluk yang ditulis orang yang dihukum bakar itu. Karya itu mengandung ‘semu yang mengena’, yang menyentuh hati, dan dengan ‘kecermatan yang cermat memikat’.
Tapi apa sebenarnya isinya?
Dalam versi yang dikutip Babad Jaka Tingkir ini, kita hanya akan menemukan tiga bait dalam metrum Dandhanggula. Masing-masing bait mengandung beberapa kata dan kalimat dari Suluk Malangsumirang yang lebih terkenal, yang disebut sebagai karya Sunan Panggung. Tapi dua versi itu tidak persis sama.
Saya tak tahu kenapa perbedaan itu. Yang menarik ialah bahwa dalam Babad Jaka Tingkir, bukan tokoh Malangsumirang sendiri yang membaca teks suluk yang ditulis di tengah kobaran api itu. Yang membacanya seorang ‘juru pamaca’ yang disuruh Raja untuk mengumandangkannya ke publik hari itu juga.
Di dalam suluk ini, kita menemukan Malangsumirang yang berbeda. Di sini diperkenalkan Malangsumirang yang ‘menerjang aturan’, ‘anak muda yang tak tahu kesalahannya’, yang ‘menggelar wacana salah’, yang ucapannya ‘hanya kelakar’, lalulaya. Ia dungu dan tolol. Tapi ia bertingkah sewenang-wenang, congkak, dan kurang ajar.
15
Adakah deskripsi itu sebuah pengakuan dosa Malangsumirang? Yang dibaca di sana mirip dengan bagian-bagian awal suluk yang ditulis Sunan Panggung. Tapi tak semuanya. Tidakkah gambaran itu hasil manipulasi kekuasaan yang bertahta, yang diwakili seorang ‘juru baca’ atas titah Raja? Atau itu cara Ki Sèh merendahkan diri secara berlebihan, sengaja, hingga tak masuk akal? Sebab bagaimana mungkin seseorang yang telah membuktikan diri sakti, tak tersentuh api, mirip Nabi Ibrahim, disebut ‘dungu’ dan ‘kurang ajar’?
Saya tak dapat menemukan jawabnya. Apalagi tiba-tiba saja pembacaan suluk itu dihentikan oleh sang penulis Babad Jaka Tingkir. Alasan yang saya temukan dalam metrum Dhandhanggula itu menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Nahanta rèh wuryaning arempit,
Sipta-ripta rikang pepingitan,
Pamèngeté sang manginté
Ing nalar tan sun ulur
Nalirah ing èlmu sakalir
Sun punggel tan sun gelar
Gelaring raras rum
Mung isun amburu kandha,
Wusnya telas pamacané ponang tulis,
Suluk Malangsumirang
Dalam tafsir Nancy K. Florida, versi Indonesia:
Sekian penyingkapan tabir rahasia
Kata menyurat yang tersembunyi
Peringatan Sang Maha Mengawasi
16
Pada nalar tak aku ulur
Penjelasan Ilmu menyeluruh
Kupenggal tak kugelar
Penggelaran semerbak mewangi
Namun aku memburu cerita
Purna pembacaan tulisan
Suluk Malangsumirang.6
Dalam tafsir Moeljono Sastronaryatmo:
Sampai di sini saja perihal rasa mulya itu (sejati, rasa dari ilmu-ilmu); tak akan kugelarkan akan halnya keterangan perihal sebab-sebab perkara-perkara itu; apa yang saya ucapkan itu hanya sebagai cerita aku sendiri belum begitu memahaminya; memang sebenarnya kuinginkan akan membuka hal-hal yang gaib, segala sesuatunya yang sulit dan remit, namun penalaranku terbatas’.7
Saya bukan pakar sastra dan bahasa Jawa; saya tak bisa memutuskan mana yang lebih tepat di antara kedua tafsir itu. Saya hanya bisa mengira-ira, ada rasa takut dan tak mampu yang tiba-tiba menyergap sang penulis Babad Jaka Tingkir. Ia tak mau memaparkan lagi secara lengkap Suluk Malangsumirang. Ia menyebut pamèngeté sang manginté, ‘peringatan dari sang pengintai.’ Mungkin semacam perasaan diawasi Sang Penyensor. Tapi ia juga menyebut bahwa akal atau pemikirannya ‘tak saya kembangkan lebih jauh’ (nalar tan sun ulur) untuk mendapatkan keterangan sebab musabab pengetahuan seluruhnya (nalirah ing èlmu sakalir).
Ada juga kemungkinan bahwa bagian ini ditulis ketika penggubahnya, yang diduga hidup dalam pengasingan di kota Ambon, tak memegang teks Suluk Malangsumirang yang utuh. Ia keliru mengutip dan ia tak
17
sanggup melanjutkan sampai habis. Atau ia agaknya hanya ingin atau harus menyelesaikan ceritanya dengan segera: mung isun amburu kandha.
Walhasil, cerita ini berakhir tanpa penjelasan. Bahkan kabur. Di akhir cerita, Malangsumirang meninggalkan alun-alun, pergi dari orang-orang yang tadi pagi membakarnya hidup-hidup. Ia tak memilih tinggal di sekitar kraton dan para wali. Ia memilih pergi ke hutan lebat Kalampisan, tempat yang wingit, yang sepi, jauh dari manusia.
Dan di bait ke-23 pupuh ini, Malangsumirang sudah tak kita jumpai lagi.
IV
Kita telah melihat bagaimana Malangsumirang -- yang bisa diduga hanya tokoh fiktif -- adalah sosok dalam metamorfosis. Ia tampil sebagai seorang aulia dan segera setelah itu jadi perusuh yang layak dibakar hidup-hidup. Ia seorang yang dengan berani menghadapi penyiksaan dan jadi syuhada; ia disamakan dengan Nabi Ibrahim; tapi ia juga seorang yang kemudian dikatakan mengaku dirinya dungu, congkak, dengan pengetahuan yang masih mentah. Disebutkan di dalam api itu ia menulis serangkaian suluk yang cemerlang, tapi isinya ternyata hanya semacam pengakuan dosa.
Akhirnya cerita berhenti, setelah ia menghilang dari kehidupan sosial.
Bisa jadi itulah strategi tekstual penggubah Babad Jaka Tingkir. Dari penuturannya, tampak benar sang penulis hidup di sebuah zaman ketika ingatan masih mencekam tentang kisah-kisah hukuman mati
18
terhadap orang-orang alim yang dianggap melanggar syari’at. Ada Syekh Siti Jenar yang dipancung, ada Ki Babeluk di masa Kerajaan Pajang di abad ke-16, ada Syekh Among Raga, seorang santri keturunan Sunan Giri di masa Mataram di bawah Sultan Agung di abad ke-17; seperti Babeluk, Among Raga dihukum mati dengan ditenggelamkan. Tokoh sentral Serat Centhini ini konon dibenamkan di laut Selatan di dekat desa Tunjungbang. 8
Cerita-cerita itu tampaknya berpengaruh kepada sikap terhadap Malangsumirang dan cara teks Babad Jaka Tingkir menampilkannya: kita menyaksikan sebuah metamorfosis terus menerus, seakan-akan sang penulis dan tokohnya ingin mengelak dari identifikasi yang tetap. Hasilnya sebuah ambiguitas yang justru mempertajam pesan. Pesan itu berupa sebuah pasemon, yang mengisyaratkan adanya ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak.
Seperti umum diketahui di kalangan literati Jawa, kisah Malangsumirang bertaut dengan kisah Sunan Panggung. Orang ini disebut sebagai seorang bangsawan Demak, tapi juga dikatakan sebagai putra Sunan Kalijaga. Dalam cerita rakyat ia merupakan pembangkang para wali, meresahkan Sunan Bonang dan memusuhi Sunan Kudus.
Terutama yang disebut terakhir. Jika kita ikuti dalam Babad Jaka Tingkir, Sunan Kudus adalah penegak hukum syari’at dan kekuasaan politik Demak yang dengan siap menjalankan pembunuhan. Sunan Kudus hadir sebagai seorang ulama dengan pandangan legalistik yang tak hendak membiarkan ketidak-pastian (dan perbedaan) tafsir.
Dengan sendirinya, konfliknya dengan heterodoksi tak terelakkan. Sunan Panggung dikisahkan sebagai antagonisnya. Dalam salah satu legenda disebut, untuk menunjukkan perlawanannya kepada penjaga
19
tertib agama dari Kudus itu, Sunan Panggung memelihara dua ekor anjing yang diberi nama ‘Iman’ dan ‘Tokid’. Dan ia melepaskan kedua hewan itu ke dalam masjid Kudus.
Kontroversi akhirnya dimenangkan oleh Sunan Kudus -- atau lebih tepat: para wali, yang mendukung dan didukung penguasa politik di Demak. Sunan Panggung dihukum bakar. Cerita yang kemudian beredar mirip dengan kisah Malangsumirang yang kita ikuti di atas.
Kita tahu, thema ketegangan atau benturan dalam kehidupan agama itu membentuk sebuah dikotomi yang klasik: di satu sisi, penegak syari’at sebagai penyangga kekuatan iman; di seberangnya, mereka yang lebih cenderung ke tasawuf sebagai praxis ketulusan iman.
Di sini saya tak akan membahas cerita Malangsumirang dari thema yang sudah sering diperbincangkan itu. Yang ingin saya coba sajikan adalah sebuah gambaran tentang peran metafor dan metamorfosis – dan apa yang terjadi dalam lakon ini.
Metafor makin diakui perannya dalam pemikiran dewasa ini, antara lain dipertegas oleh karya-karya Nietzsche dan Derrida yang berpengaruh luas. Bahasa, yang sangat menentukan pandangan manusia tentang diri dan dunianya, makin tampak bukan terdiri dari konsep atau pengertian-pengertian yang pasti. Dunia tak bisa kita tangkap seluruhnya dengan gagasan, ide, atau formula, tak bisa denan bahasa yang lurus, persis, rasional. Ada sesuatu yang lain ketika manusia berbahasa. Metafor, itulah yang sebenarnya berperan. ‘Metafor,’ tulis I. Bambang Sugiharto dalam Post-Modernisme: Tantangan Bagi Filsafat, ‘pada akhirnya adalah cara berada manusia’. Metafor bukan cuma ‘bentuk semantik tertentu di antara berbagai bentuk lainnya,’ melainkan ‘cara dasar kita bergaul dengan realitas’. 9
Terutama dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan pengalaman religius.
20
Itu sebabnya kitab-kitab suci penuh dengan perumpamaan. Konsep dan rumus tak akan pernah memadai menangkap pengalaman yang penuh rasa gentar, takjub, terpesona, dan luluh ketika manusia dalam sentuhan Yang Maha Suci. Dengan kata lain, metafor menandai keterbatasan bahasa manusia – dan sekaligus kemampuannya mencoba mengatasi keterbatasan verbal.
Dalam menghadapi (dan mengatasi) keterbatasan bahasa itulah sang sufi sering memilih diam. Dalam diam, tanpa orang lain, ada ‘suwung’ -- .sebuah kata yang tak sepenuhnya bisa diterjemahkan sebagai ‘kosong’ atau ‘hampa’. Tapi seperti disebut dalam tembang yang konon ditulis Sunan Panggung, ‘ing suwungé iku ana, ing anané iku surasa sejati, tan kena dèn-ucapna.’ Dalam suwung itu ada, dan dalam ada itu terkandung makna yang sebenarnya -- yang tak dapat diucapkan’.
Atau sang sufi mengerjakan ‘laku’, menjalankan panggilan hati. Di sini ngèlmu ditransformasikan dalam laku. Dengan laku, sang sufi membebaskan diri dari bahasa – yakni bahasa sebagai sarana komunikasi sosial. Hanya bila perlu ia bisa memakai bahasa, tapi lebih sebagai luapan ekspresi pribadi, yang umumnya unik, khas berlaku dari dan buat dirinya. Dengan ekspresi yang dirasakannya pas, sang sufi tak sekedar mengikuti bahasa yang lazim, bahasa yang merupakan hasil kesepakatan orang ramai. Ia memakai pasemon.
Mungkin pasemon adalah sinonim paling tepat untuk metafor. Kata ‘semu’ berarti ‘perlambang’, atau ‘alegori’ (crita pepindhan), tapi juga ‘gelagat’ yang terbit di ekspresi wajah seseorang.10 Gelagat adalah isyarat. Dengan kata lain, metafor bukanlah sesuatu yang langsung terang benderang. Kata ‘bintang’ sebagai metafor, umpamanya, tentu tak bisa ditafsirkan persis dan pasti sebagai benda langit, sebagaimana ‘bintang’ dirumuskan dalam astronomi. Dalam astronomi, dalam ilmu-ilmu, yang dipakai adalah definisi yang
21
diterima secara universal. Sementara itu, metafor selalu mengelak dari definisi, dan selamanya lahir dari sebuah suasana kongkrit dan spesifik, hingga tak selamanya bisa dipakai dan diterima di mana saja, kapan saja.
Maka salah benar bila metafor diterima sebagai konsep. Tapi di situlah problemnya. Bagi mereka yang bersikap legalistis, kitab suci dan bahasa religius bukanlah inspirasi yang enersinya terbangun dari metafor. Bagi mereka, kitab suci sepenuhnya rumusan hukum yang disusun dengan konsep-konsep yang stabil dan berlaku umum. ‘Ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’, kata Sunan Kudus.
Orang yang berpikir legalistis ini lebih menegaskan hidup keagamaan sebagai arsitektur sosial, dengan aturan yang pasti, dengan kepemimpinan yang jelas, dan dengan semangat untuk mengukuhkan konsolidasi terus menerus.
Dalam menghadapi Malangsumirang kita, memang begitulah sikap Sunan Kudus. Dalam wejangannya kepada orang yang dihukum bakar itu Sunan Kudus berpesan agar si pendosa jangan lagi
Melonggarkan simpul ikatan
Membuat pagar tak rapat lagi, merusak barisan,
Merubuhkan bendera
(Angendhoni bebundhelan,
Ngarangaken pager, ngalikabken baris,
Ndhoyongaken bandéra)
Tapi bagaimana mungkin? Malangsumirang adalah fenomena yang singular, unik, tak bisa dibandingkan, apalagi disamakan, dengan
22
orang lain. Ia sebuah pribadi, tapi juga sebuah proses ‘menjadi’. Ia tak tersimpulkan. Ia tak bisa jadi bagian dari ikatan. Ia juga bukan sebilah dari deretan papan yang gampang dipasang rapat untuk pagar benteng. Agama baginya bukan barisan pasukan yang rampak; dirinya bukan pengibar bendera. Nama Malangsumirang sudah sejak awal dipilih untuk melambangkan anarki dan pembangkangan: nggugu karepé dhéwé. Dalam bait-bait pertama ia telah dikatakan menempuh ‘tarek majnun rabbani’, jalan edan -- gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Dengan kata lain, ‘gila’ dalam konteks keyakinan Malangsumirang ada di luar klasifikasi bahasa yang lazim. Sebagaimana ‘Islam’ dalam tembang Sunan Panggung:
Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal
Menurut pemikiranku sejak kecil, Islam bukan karena sembahyang, Islam bukan karena pakaian, Islam bukan sebab puasa, Islam tidak dengan baju atau destar. Dalam pemikiran saya, makna Islam bukan karena menolak atau menerima yang haram atau yang haram.
Seorang yang hendak menegakkan agama sebagai komunitas yang kukuh, seorang yang mendukung tata sosial dan politik yang mengayomi komunitas itu, mau tak mau akan menganggap penolakan Sunan Panggung terhadap konsep dan bahasa yang lazim sebagai sikap ‘merusak barisan’. Ia layak dimusnahkan dalam api.
23
V
Tapi api, seperti yang dikisahkan berkobar di alun-alun Demak di abad ke-16 itu, tempat Malangsumirang duduk menulis puisinya, juga sebuah metafor. Atau tepatnya, sebuah pasemon dua arah.
Api bisa dilihat sebagai enersi yang destruktif. Tapi api itu juga enersi yang menggerakkan. Juga sinar. Sejarah berkali-kali mencatat, pembinasaan atas keyakinan, (atau karya filsafat, atau karya sastra), berakhir bukan dengan musnahnya keyakinan itu. Yang lebih sering terjadi adalah munculnya daya yang lain, daya baru, dari dalamnya. Tak jarang, sang korban pun – seorang tokoh, sebuah ajaran, sebuah karya sastra – jadi bercahaya; ia menarik perhatian dan memberi ‘pencerahan’.
Itu sebabnya kisah Syekh Siti Jenar hadir membayang-bayangi Babad Jaka Tingkir. Dan bisa diduga, pada gilirannya kematian Siti Jenar, juga Sunan Panggung, setidaknya eksekusi itu, mungkin hasil imajinasi yang dibayang-bayangi riwayat al-Hallâj.
Akhir hayat sufi ini sangat dramatis. Ia dianggap ‘kafir’ oleh fatwa Muhammad bin Dawud, ulama madzhab Dhahiri; al-Hallâj dituduh mengatakan ia telah bersatu dengan Allah. Pada tanggal 26 Maret 922, dalam usia 64, al-Husain bin al-Manshur al-Hallâj dieksekusi, setahap demi setahap.11 Mula-mula dikerat putus hidungnya, lalu dipotong kaki dan tangannya, dan kemudian disalibkan. Ketika ia belum mati juga, lehernya dipenggal. Akhirnya jasadnya disiram minyak dan dibakar.
Dikisahkan sebelum ajal, ia sempat membaca sajaknya sendiri:
Bunuhlah aku, hai kepercayaanku / sungguh dalam pembunuhanku adalah hidupku
Matiku ada dalam hidupku / dan hidupku ada dalam matiku
24
Tak jelas bagaimana perjalanan riwayat al-Hallâj sampai ke Indonesia, khususnya Jawa Tengah, dan kapan pula mulai diterima di sini. Tapi tak sulit membayangkan bagaimana kejadian yang dahsyat itu berkesan dalam di kesadaran para santri dan bukan santri. Ketegangan dalam riwayat al-Hallâj -- antara mereka yang berpegang bahasa hukum yang tersusun sebagai sistem dan mereka yang lebih hidup dengan bahasa mistik yang ‘liar’ dan personal -- punya gema yang kuat di Jawa sejak abad ke-15. Kalimat terkenal ‘Ana al-Haqq’ dengan mudah dapat tanah subur di tengah tradisi yang sejak pra-Islam mengenal pelbagai versi pengalaman unio mystica. Baris kedua sajak al-Hallâj di atas juga bergaung dalam kata-kata ketika Malangsumirang menulis tembang di tengah api: ‘bisa mati jroning urip/urip sajroning pralina’.
Tentu saja gema riwayat al-Hallâj berkembang dengan bermacam-macam distorsi dan reinterpretasi. Bahwa di Jawa di masa lalu, sebagaimana di Aceh, telah terjadi prosekusi terhadap orang-orang yang dianggap ‘melanggar syari’at’ agaknya bukan sesuatu yang mustahil. Tapi saya tak tahu benarkah pernah terjadi hukum bakar hidup-hidup di sini. Yang jelas, cerita kematian al-Hallâj yang beredar di Indonesia adalah kematian di dalam api, dan mungkin itu yang jadi ilham bagi riwayat (atau legenda) Sunan Panggung.
Lagi pula api, selain dramatis, juga – seperti saya katakan di atas – merupakan metafor yang kuat, dengan arah makna yang beragam. Api adalah terang, dan terang itu bisa menyingkirkan nuansa. Batas antara hitam dan putih jadi terlampau tegas. Ambiguitas jadi sesuatu yang salah. Terang bisa merupakan sekutu Sang Panginté: kekuatan yang mengintai, mengawasi, untuk menguasai sepenuhnya ruang yang ada.
Dengan kata lain, api adalah sebuah pasemon dengan dinamikanya sendiri. Dinamika itu juga berlaku pada sang anjing sebagai metafor.
25
Hewan ini makhluk yang setia mengabdi, tapi juga dinista dan disingkirkan di sementara kalangan Muslim. Malangsumirang, atau Sunan Panggung, dikisahkan menyuruh anjingnya ikut menyiapkan dan kemudian membawa suluk yang ditulisnya. Tampak di sini bahwa sang pengarang tak hendak meletakkan karya itu sebagai bagian dari sastra adiluhung yang didukung tata dan nilai-nilai yang berkuasa. Karyanya bergerak di bawah, di lapisan yang dihinakan, bukan di majelis orang-orang di atas. Ia subversif.
Namun di sinipun sebuah metamorfosis bisa terjadi. Dalam kesetiaannya, sang anjing cenderung menjunjung karya sastra yang diterimanya sebagai lambang kebesaran. Itu terjadi setelah Malangsumirang, tuannya, keluar dari api dengan disambut bagaikan sang pemenang. ‘Sang anjing pun duduk sembari membawa laiknya tanda kebesaran: Tulisan, tinta, dan pena’, demikian dikisahkan Babad Jaka Tingkir. Di momen itu, sebuah sastra subversif berada di ambang perubahan menjadi ‘sastra agung’, di mana mereka yang rendah di bawah hanya ikut ngampil-ampil.
Tapi untunglah, cerita tak berhenti di sini. Pembacaan suluk itu dihentikan, dan kemudian Malangsumirang berangkat ke dalam hutan yang tak berpenghuni. Dalam hutan itulah ia menjadi yang sendirian, yang singular, yang tak dihimpit oleh desakan ‘merayakan komunitas’.12 Dalam kesendirian itu – di gubuk kecil, tanpa hasrat dan hubungan-hubungan kekuasaan – persentuhan antara makhluk dengan Sang Khalik bisa berlangsung leluasa, terbebas dari hukum-hukum yang dibuat untuk orang ramai, bukan untuk pribadi yang unik. Ia tak akan lagi terjebak dalam label atau identitas manapun. Ia sepenuhnya terbuka untuk metamorfosis.
Dengan hutan Kalampisan sebagai pasemon terakhir, kita melihat bagaimana metafor memungkinkan terjadinya metamorfosis tokoh (atau lebih tepat pemaknaan atas tokoh itu) dalam sebuah cerita.
26
Dengan demikian, sebuah narasi tak berhenti dan beku, tidak sebagaimana ditafsirkan oleh mereka yang tak mau mengakui tenaga metafor dalam sebuah teks.
Memang, dalam derajat tertentu, metafor bisa dianggap bukan buah dorongan kreatif yang asli, karena ia berperan merepresentasikan – dalam arti hanya mewakili – sesuatu yang lain, juga suatu arti, suatu makna; ia bukan sesuatu yang mandiri dan bergerak bebas, tanpa beban, seakan-akan sama sekali baru, lahir dari ketiadaan.
Deleuze, misalnya, mempertentangkan metafor dengan metamorfosis dan menolak peran baiknya.13 Tapi mustahil, juga bagi prosa Deleuze sendiri, membebaskan diri dari metafor. Bila kita ingin agar sebuah karya juga mempunyai kemampuan emansipasi, yang harus dijaga ialah agar sebuah metafor (ya, bahkan seluruh kehidupan bahasa) mampu tak terjerat dalam satu pemaknaan yang dikukuhkan oleh kekuasaan. Artinya, agar ia masih bisa berbaur dengan yang remang, yang gelap, yang antara ‘ya-dan-bukan’. Artinya ia harus menjadi pasemon: sebuah isyarat, bukan sebuah definisi.
Di dalam keadaan itulah kita menemukan dinamika makna – yang bergerak dalam metamorfosis. Jika kita lanjutkan cerita kita dari Babad Jaka Tingkir, kita akan bisa menemukan apa yang saya pernah sebut sebagai ‘paradigma Pengging’.14 Dalam babad ini, Ki Ageng Pengging menolak untuk menghadap penguasa di Demak. Ia tak ingin dijebak dalam satu posisi. Ia tak ingin diberi identitas oleh sebuah tahta. Ia adalah pangeran dan juga petani, ‘gusti’ dan juga ‘kawula’, berada dalam ‘sepi’ dan juga ‘ramai’. Dan ia menolak untuk berhenti; ia menolak memilih untuk hanya jadi satu hal saja.
Pengging menunjukkan ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak. Pengging juga menunjukkan ada yang tetap bisa bebas, (dan
27
harus bebas) dari bahasa, kaidah dan akidah yang datang dari luar, dari atas – bebas dari kekuasaan dan ajaran yang membuat makna berhenti dan beku.
Ia bisa jadi tauladan kita di hari ini.
*
Jakarta, 2 Desember 2011.
(Endnotes)
1 Moelyono Sastronaryatmo (penerjemah), Babad Jaka Tingkir – Babad Pajang, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981), hal. 5. Dari kalimat dalam babad itu: ‘Anggustus/kaping tigalikur winarni,/sangkala Trus Sinembah, Sariraning Ratu/).
2 Florida, Nancy K, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, (terjemahan atas Writing The Past, Inscribing the Future), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 101. Dalam paparan ini, saya menggunakan karya ini, bersama terjemahan Moelyono, untuk sumber utama
3 Poerwadarminta, W.J.S., (dengan C.S. Hardjasoedarma dan J.Chr. Poedjasoediro), Baoesastra Djawa (Groningen, Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij, 1939), hal. 288.
4 Umumnya saya meminjam terjemahan bahasa Indonesia dalam Menyurat Yang Silam, tapi saya memakai terjemahan sendiri dalam kalimat ini. Versi Menyurat: ‘Mengaku berbadan rohani/Dan berlanjut mengakui keberadaan Ilahi’.
5 Terjemahan ini saya kutip dari Menyurat Yang Silam, dengan perubahan di sana-sini untuk melancarkan cerita.
6 Menyurat, hal. 223-224.
7 Moelyono Sastronaryatmo, hal. 107.
8 Lihat Ahmad Syafii Mufid, dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 28-29. Lihat juga
28
telaah Soebardi, ‘Santri-religious elements as reflected in the Book of Tjentini’, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127 (1971), no: 3, Leiden, 331-349.
9 Terbitan Kanisius, (Yogyakarta: 1996), hal. 120.
10 Poerwadarminta, hal. 555. Mengenai ‘semu’ dan ‘pasemon’, Florida membahasnya dalam Menyurat, hal. 311-319.
11 Saya kutip dari makalah Mohamad Guntur Romli, ‘Al-Hallâj dan “Agama Salib,’ (belum diterbitkan): mungkin satu-satunya telaah sejarah yang cukup lengkap meskipun ringkas tentang sufi termashur itu dalam bahasa Indonesia.
12 ‘Celebration of community’, kata-kata terkenal Ernest Gellner, dalam Postmodernism, Reason and Religion. (London: Routledge, 1996), hal. 3.
13 Leclerc, Jean Jacques, Deleuze and Language, (New York: Palgrave, 2002, hal. 25 dst. Pengertian ‘metamorfosis’ saya berbeda dari Delezue. Bagi Deleuze, dengan metamorfosis kata tak lagi mengacu dan mewakili satu obyek; ia jadi obyek sendiri. Dengan demikian kata dibebaskan dari beban arti – satu hal yang menjelaskan kenapa Deleuze mengambil karya-karya Samuel Beckett dan James Joyce sebagai tauladan. Bagi saya, metamorfosis adalah dinamika makna, yang membuat sebuah cerita tak berhenti di satu tafsir.
14 Florida, hal. xvii.
GOENAWAN MOHAMAD
Pidato Penerimaan “Anugerah Hamengku Buwono IX’,
Universitas Gadjah Mada, 19 Desember 2011.
I
Tak perlu saya kemukakan dengan paragraf-paragraf yang panjang rasa terima kasih saya atas kehormatan istimewa yang saya terima hari ini. Bagi saya, anugerah ini, di bawah nama ‘Hamengku Buwono IX’, menjadi tambah berharga karena apa yang saya kenang dari tokoh besar Yogyakarta dan Republik Indonesia itu.
Yang saya kenang berasal dari tanggal 8 Oktober 1988. Itu hari pemakaman agung Sri Sultan. Hari itu saya berada di kota ini, bertugas meliput peristiwa besar itu, dan ikut menyumbang laporan yang dimuat di Majalah TEMP0 ini. Izinkan saya membacanya di sini:
Tiga abad yang lalu, gunung bergemuruh ketika Sultan Agung mangkat. Babad Tanah Jawi mencatat itu. Pekan lalu, Sultan Hamengku Buwono IX wafat, dan tak ada gemuruh gunung dan tak ada gempa. Yang ada gemuruh lain: ratusan
1 * Pidato penerimaan Anugerah ‘Hamengku Buwono IX’ dari Universitas Gadjah Mada, 19 Desember 2011.
6
ribu manusia membanjir berbelasungkawa, sejak jenazah tiba dari Jakarta sampai dengan tubuh itu diiringkan dengan kereta berkuda ke bukit-bukit kering di Imogiri.
Seorang wanita tua di dekat Bandar Udara Adisucipto bahkan terdengar menangis, “Duh, Gusti, duh, Gusti....” Barangkali sebuah babad lain akan mencatat bahwa inilah pemakaman terbesar di abad ke-20, dalam hal jumlah manusia yang ikut serta.
Dan banyak yang bakal setuju. “Ngarsa Dalem telah membuat pangeram-eram,” bisik seorang tamu kepada Pangeran Hadiwinoto, salah seorang putra raja Yogya yang wafat itu, ketika melihat hampir setengah juta manusia datang menyambut. Dan Hadiwinoto kemudian sadar: benar, Hamengku Buwono IX telah membuat sesuatu yang menakjubkan.
Hujan juga turun, tak disangka, setelah tiga bulan kota kering seperti konon itulah kebiasaan bila ada anggota keluarga kraton Yogya meninggal. Hujan juga tumben turun di Washington, D.C., ketika jenazah Sri Sultan disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta, Selasa yang lalu. Sebuah teja aneh berwarna putih bahkan tampak di atas langit Imogiri ketika pemakaman berlangsung, dan dua burung hitam yang membisu hinggap di tembok makam.
Tapi, lebih dari segalanya, yang menggetarkan buat raja yang juga demokrat itu ialah rakyat, rakyat, rakyat. Rakyat itu pula yang sejak Jumat jam 14.00 hingga Sabtu jam 05.00 pagi pekan lalu antre untuk melihat dan menyembahyangi jenazah Sri Sultan.
II
Kini sudah hampir seperempat abad umur laporan jurnalistik itu. Jarak antara teks itu dan peristiwa yang dilukiskannya sudah panjang, dan mungkin menyebabkannya berubah: naskah itu, sebuah dokumen sejarah, bisa menjadi tak lagi meyakinkan, atau sebaliknya, ia justru mempunyai daya pesona yang lebih.
7
Ia juga mudah berubah dalam tafsir pembaca kemudian, karena di dalamnya terdapat dua elemen.
Pertama: deskripsi, betapapun ringkas, tentang hal-hal yang tak lazim, yang ajaib, mungkin magis: hujan yang tumben turun, teja berwarna putih yang tampak di langit Imogiri, dua ekor burung hitam di tembok makam. Apa yang dilihat para reporter saat itu barangkali kini akan dibaca sebagai sebuah fantasi atau ilusi.
Kedua: laporan tentang kejadian yang tak ganjil sama sekali, meskipun dramatis: ribuan orang yang bertakziah ke Kraton, ketika jenazah Hamengku Buwono IX disemayamkan.
Teringat akan naskah tentang pemakaman agung itu, saya memilih percakapan hari ini dengan menawarkan pembacaan kembali sebuah naskah yang jauh lebih tua: Malangsumirang.
Umumnya ‘Malangsumirang’ (atau ‘Malang Sumirang’) dikaitkan dengan sebuah suluk yang konon ditulis Sunan Panggung. Tapi versi yang saya pergunakan saya petik dari Babad Jaka Tingkir. Babad atau ‘sejarah’ ini digubah (‘ginupita’) dengan titimangsa tanggal 22 bulan Sapar tahun 1748 (sangkakalanya, ‘Sang Mahamuni Anata Goraning Ati’). Dalam kalender Masehi, itu berarti 23 Agustus 1820. Itu menurut tafsir Moelyono Sastronaryatmo. 1 Tapi dalam telaahnya atas naskah ini, Nancy K. Florida menyimpulkan: ‘Boleh jadi teks ini digubah di Ambon pada tahun 1840-an’ – mungkin oleh Pakubuwana VI sendiri, yang waktu itu dibuang pemerintah Belanda ke kota di Maluku itu.2
Hampir tiap membaca babad, kita menghadapi persoalan yang sama: dalam teks yang dimaksudkan sebagai rekaman kejadian sejarah itu kita sering menemukan dua elemen yang saya sebut terdapat dalam laporan jurnalistik tadi. Dari sana kita pun menduga bahwa yang faktual telah berbaur dengan yang fiktif, dan deskripsi yang kita temukan mungkin sebenarnya hendak mengacu kepada sesuatu yang lain.
8
Dalam ambiguitas itulah sebuah teks memberi kesan ‘gerak’: ia bergerak terus menerus antara yang fantastis, (mungkin ilusi, mungkin imajinasi), dan yang ‘faktual’.
Menurut hemat saya, dengan melihat ‘gerak’ teks Malangsumirang – dengan melihatnya dalam proses ‘metamorfosis’ – ia akan lebih pas berbicara kepada kita di masa ini. Inilah masa ketika hukum, kaidah dan akidah, juga bahasa, bergulat dengan acuan-acuan yang tak henti-hentinya berubah, identitas-identitas yang luput mencakup. Atau, meminjam kata-kata Babad Jaka Tingkir yang menggambarkan Malangsumirang, inilah sebuah masa dengan perubahan yang datan kena pinethit kesité, ‘tak tertangkap ekornya karena demikian gesit’.
Kisah Malangsumirang sendiri, yang tak harus kita percayai sebagai seorang pelaku sejarah yang ‘nyata’, juga sebuah kisah metamorfosis.
III
Dalam Babad Jaka Tingkir, Sang Malangsumirang ditampilkan dalam bagian akhir pupuh XXI, dalam untaian tembang Mijil, kemudian dilanjutkan di pupuh berikutnya, dalam metrum Sinom. Tokoh ini akhirnya menghilang dalam pupuh XXIV, dengan metrum Dandhanggula.
Jika kita ikuti paparan dalam tiga pupuh itu, kita akan menemukan seorang hero yang juga sekaligus antihero.
Meskipun usianya baru 30, Malangsumirang telah dipanggil ‘Ki Sèh’. Dengan kata lain, ia memperoleh sebutan kehormatan, kombinasi antara ‘Ki’ dari tradisi ‘Jawa’ dan ‘Sèh’ (Syekh) dari tradisi ‘Islam’ yang datang dari Arab.
9
Pada usia 17, tokoh ini dikatakan sudah memperoleh ‘Ilmu Sejati’ dari Sunan Giri Prapèn. Ilmu itu telah dipelajarinya sampai tuntas. Ia pun menjalaninya, sebagimana dikatakan Babad Jaka Tingkir:
Manjing raga amangun tapané,
Anderpati maning wana werti,
Jurang-jurang sungil,
Pringganing aterjung.
Demikianlah ia mewujudkan tapanya, dengan tekad yang merasuki tubuh. Ia berani menempuh rimba yang angker, memasuki jurang yang dalam dan ngarai yang curam. Sebagai seorang muda, semangatnya bergelora. Dari proses ini ia jadi ‘teramat sakti’, ‘berani dan serba cakap’. Di antara manusia rata-rata, ia memang menonjol. Dan lebih dari semua itu, ia seorang yang mendapatkan ‘wahyu,’ [bahwa ia] ‘diiringi dan sama-sama sekehendak dengan Yang Maha Mengetahui’. Sinung wahyu dinulur sakapti/dènira Hyang Manon.
Juga dikatakan bahwa Ki Sèh telah berjalan mengelilingi pelbagai negeri. Perjalanan itu tanpa tujuan, tanpa ada yang dikehendaki. Walaupun demikian, atau mungkin justru karena demikian, pengembaraan itu disebut ‘mulia’, ‘jalan manusia unggul.’
Tapi nanti dulu. Hanya dalam beberapa baris kemudian, eulogia ini diinterupsi dengan gambaran yang berbeda. Di bagian berikutnya, Ki Sèh digambarkan sebagai perusuh. Nama ‘malang sumirang’ memang berarti, (menurut bausastra Jawa yang dihimpun W.J.S. Poerwadarminta), ‘hanya mengikuti kemauan sendiri’, nggugu karepé dhéwé.3 Ia tak mau ikut bersembahyang bersama di masjid. ‘Disuruh salat, tak sudi’. Ia ‘congkak’, tak segan kepada siapapun. Dan ia provokatif. Ia punya seekor anjing yang mengacau: binatang
10
yang dianggap najis oleh kebanyakan kaum Muslimin di Jawa ini disuruhnya masuk ke tempat peribadatan.
Perilaku Malangsumirang ini berlangsung terus selama tiga tahun. Bahkan dilakukannya di ibu kota negeri, di Demak.
Mendengar kejadian itu, para petinggi agama, terutama para wali, berkumpul. Sunan Kudus, yang disebut sebagai kemenakan Malangsumirang, mencoba menginsyafkannya agar berada di jalan syariat. Tak berhasil. Maka para wali pun bersepakat, Malangsumirang harus dihukum mati, ‘karena menerjang/larangan syariat’, karena ia ‘mengaku jadi badan dari sang roh /dan bahkan mengaku jadi tempat Ilahi’‘-- angaku badan rokani/kabanjuré angaken kahaning hyang’.4
Syahdan, pada suatu hari Senin, Malangsumirang pun dibakar hidup-hidup. Di alun-alun Demak, Mahapatih Wanasalam membangun unggun yang akan dinyalakan. Kata yang empunya cerita, Malangsumirang tak gentar. Ia bahkan ‘girang’ dan ‘menggebu’. Ia datang ke arena kematian itu, di mana Raja, waktu itu Sunan Drajat, beserta para ulama dan wali, adipati dan punggawa lain, duduk berkeliling untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman yang mengerikan itu. Alun-alun padat penonton. Dan Babad Jaka Tingkir menggambarkan kedatangan sang terhukum ibarat masuknya seorang aktor utama ke atas pentas:
…Malangsumirang wus prapti
milya lenggah anggèné wali sosoran.
Sonané alit binekta,
Ngadhep ing ngayunirèki,
Malangsumirang cahyanya,
Sumaringah ayem nenggih
11
(…Malang Sumirang tiba
Lalu duduk di tempat wali rendahan.
Ia membawa juga anjing kecilnya
yang menghadap di depannya,
Rona wajahnya cerah,
benar-benar tenang)
Maka Raja pun memerintahkan Sunan Kudus melaksanakan hukuman. Dalam Babad Jaka Tingkir, wali dari Kudus ini adalah ulama yang membunuh Sèh Siti Jenar dan menghabisi Ki Ageng Pengging. Tak ayal, ia pun menyalakan api, setelah mengatakan bahwa tindakannya berdasar hukum syariat. Ujarnya: ‘ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’.
Mendengar ini Malangsumirang menjawab, agar unggun segera dinyalakan. Bila nanti api sudah berkobar, katanya, ia akan segera meloncat masuk ke dalamnya. Tapi sebelum itu ia minta kertas serta tinta. Ia ingin menuliskan wasiatnya, begitulah pesannya.
Permintaannya dipenuhi. Dan api pun berkobar.
Melanda minyak dan reranting
Menjilat-jilat mengerikan
Api membubung ke angkasa
Menggeram suaranya
Yang menyaksikan pun merinding
Tapi Sèh Malangsumirang bergegas
Pamit sambil memberi salam.
Ia segera naik
Ke atas unggun di utara beringin kurung.
12
Tak ketinggalan anjingnya
Yang ikut di belakangnya.
Setiba di atas unggun
Ia terjun ke dalam api
Dan sesampainya di tengah nyala
Ki Sèh duduk bersila
Si anjing menghadap di depan
Tak terjamah oleh api
Lalu Ki Sèh memerintahkan anjingnya
Supaya kembali mengambil
Kertas, pena, dan tinta
Yang ditinggalkan di tempat duduknya
Yang akan ia gunakan untuk menulis.
Si anjing pun dengan cekatan kembali
Tiba di tempat semula
Lalu mengambil kertas
Serta pena, tinta, yang ketinggalan
Dan masuk kembali ke julangan api
….
Malangsumirang pun segera
Mulai menulis
Di tengah-tengah kobaran api…5
Demikianlah tokoh cerita ini terus mengguratkan penanya, dengan tenang, sementara ‘Api berkobar sengit/Menjilat-jilat, menyala lama…’.
Di bagian ini, Malangsumirang berubah. Dalam metafomorfosis ia seorang martir. Ia syuhada. Tentu saja pertama-tama ia mengingatkan orang akan kisah Siti Jenar yang terkenal itu, yang
13
lehernya dipenggal Sunan Kudus, tapi, setelah kepalanya lepas, kembali hidup. Dalam teks, di pupuh ke XXII, memang disebut bahwa sikap tenang Malangsumirang mengingatkan sang penulis akan ‘Pangeran Siti Jenar dahulu kala’.
Tapi lebih dari itu, Babad Jaka Tingkir menyamakan hukuman bakar di Demak itu dengan hukuman yang sama atas ‘Sang Nabi Ibrahim, Kekasih Allah’. Nabi Ibrahim, kata sang penulis Babad, ‘Dibakar dalam tanur tinggi”, oleh “Namrud Sang Raja Zalim’.
Seperti Nabi Ibrahim pula, Malangsumirang tak termakan api. Dari unggun yang menyala itu ia muncul, setelah selesai menulis. Diiriingi anjingnya – yang membawa tulisannya – ia kembali duduk dalam majelis. Si anjing juga duduk, menjunjung tulisan tuannya, bersama tinta dan pena.
Seluruh hadirin, dari Raja, para wali dan rakyat yang menonton, tercengang. Mereka melongo, kehilangan kata-kata, terhenyak. Lalu orang ramai pun berseru: ‘He, he, lihatlah, ini nyata! Sungguh, kenyataan menjelma!’
Maka, Ki Sèh bersalaman segera
Dengan Kangjeng Sunan Drajat
Serta para wali pemuka
Juga kepada Sri Baginda
Para wali pendeta mufti
Semua menyalaminya
Berdesakan dari belakang
Siapa pun yang ada di situ
Semua berhasrat dapat syafaat Sang Sakti
Ki Sèh Malangsumirang.
Segera Ki Sèh menghaturkan tulisan
14
Yang ditulisnya di dalam api
Penggalang diri itu
Diterima Sang Prabu
Sebagai jejak keramat zaman kelak
Pertanda yang dibangkitkan
Dalam lagu menjadi suluk
Yakni Suluk Malangsumirang,
Sebagai pijakan menuju ilmu rasa
Yang meliputi rasa.
Penulis tembang ini memuji suluk yang ditulis orang yang dihukum bakar itu. Karya itu mengandung ‘semu yang mengena’, yang menyentuh hati, dan dengan ‘kecermatan yang cermat memikat’.
Tapi apa sebenarnya isinya?
Dalam versi yang dikutip Babad Jaka Tingkir ini, kita hanya akan menemukan tiga bait dalam metrum Dandhanggula. Masing-masing bait mengandung beberapa kata dan kalimat dari Suluk Malangsumirang yang lebih terkenal, yang disebut sebagai karya Sunan Panggung. Tapi dua versi itu tidak persis sama.
Saya tak tahu kenapa perbedaan itu. Yang menarik ialah bahwa dalam Babad Jaka Tingkir, bukan tokoh Malangsumirang sendiri yang membaca teks suluk yang ditulis di tengah kobaran api itu. Yang membacanya seorang ‘juru pamaca’ yang disuruh Raja untuk mengumandangkannya ke publik hari itu juga.
Di dalam suluk ini, kita menemukan Malangsumirang yang berbeda. Di sini diperkenalkan Malangsumirang yang ‘menerjang aturan’, ‘anak muda yang tak tahu kesalahannya’, yang ‘menggelar wacana salah’, yang ucapannya ‘hanya kelakar’, lalulaya. Ia dungu dan tolol. Tapi ia bertingkah sewenang-wenang, congkak, dan kurang ajar.
15
Adakah deskripsi itu sebuah pengakuan dosa Malangsumirang? Yang dibaca di sana mirip dengan bagian-bagian awal suluk yang ditulis Sunan Panggung. Tapi tak semuanya. Tidakkah gambaran itu hasil manipulasi kekuasaan yang bertahta, yang diwakili seorang ‘juru baca’ atas titah Raja? Atau itu cara Ki Sèh merendahkan diri secara berlebihan, sengaja, hingga tak masuk akal? Sebab bagaimana mungkin seseorang yang telah membuktikan diri sakti, tak tersentuh api, mirip Nabi Ibrahim, disebut ‘dungu’ dan ‘kurang ajar’?
Saya tak dapat menemukan jawabnya. Apalagi tiba-tiba saja pembacaan suluk itu dihentikan oleh sang penulis Babad Jaka Tingkir. Alasan yang saya temukan dalam metrum Dhandhanggula itu menimbulkan tafsir yang berbeda-beda.
Nahanta rèh wuryaning arempit,
Sipta-ripta rikang pepingitan,
Pamèngeté sang manginté
Ing nalar tan sun ulur
Nalirah ing èlmu sakalir
Sun punggel tan sun gelar
Gelaring raras rum
Mung isun amburu kandha,
Wusnya telas pamacané ponang tulis,
Suluk Malangsumirang
Dalam tafsir Nancy K. Florida, versi Indonesia:
Sekian penyingkapan tabir rahasia
Kata menyurat yang tersembunyi
Peringatan Sang Maha Mengawasi
16
Pada nalar tak aku ulur
Penjelasan Ilmu menyeluruh
Kupenggal tak kugelar
Penggelaran semerbak mewangi
Namun aku memburu cerita
Purna pembacaan tulisan
Suluk Malangsumirang.6
Dalam tafsir Moeljono Sastronaryatmo:
Sampai di sini saja perihal rasa mulya itu (sejati, rasa dari ilmu-ilmu); tak akan kugelarkan akan halnya keterangan perihal sebab-sebab perkara-perkara itu; apa yang saya ucapkan itu hanya sebagai cerita aku sendiri belum begitu memahaminya; memang sebenarnya kuinginkan akan membuka hal-hal yang gaib, segala sesuatunya yang sulit dan remit, namun penalaranku terbatas’.7
Saya bukan pakar sastra dan bahasa Jawa; saya tak bisa memutuskan mana yang lebih tepat di antara kedua tafsir itu. Saya hanya bisa mengira-ira, ada rasa takut dan tak mampu yang tiba-tiba menyergap sang penulis Babad Jaka Tingkir. Ia tak mau memaparkan lagi secara lengkap Suluk Malangsumirang. Ia menyebut pamèngeté sang manginté, ‘peringatan dari sang pengintai.’ Mungkin semacam perasaan diawasi Sang Penyensor. Tapi ia juga menyebut bahwa akal atau pemikirannya ‘tak saya kembangkan lebih jauh’ (nalar tan sun ulur) untuk mendapatkan keterangan sebab musabab pengetahuan seluruhnya (nalirah ing èlmu sakalir).
Ada juga kemungkinan bahwa bagian ini ditulis ketika penggubahnya, yang diduga hidup dalam pengasingan di kota Ambon, tak memegang teks Suluk Malangsumirang yang utuh. Ia keliru mengutip dan ia tak
17
sanggup melanjutkan sampai habis. Atau ia agaknya hanya ingin atau harus menyelesaikan ceritanya dengan segera: mung isun amburu kandha.
Walhasil, cerita ini berakhir tanpa penjelasan. Bahkan kabur. Di akhir cerita, Malangsumirang meninggalkan alun-alun, pergi dari orang-orang yang tadi pagi membakarnya hidup-hidup. Ia tak memilih tinggal di sekitar kraton dan para wali. Ia memilih pergi ke hutan lebat Kalampisan, tempat yang wingit, yang sepi, jauh dari manusia.
Dan di bait ke-23 pupuh ini, Malangsumirang sudah tak kita jumpai lagi.
IV
Kita telah melihat bagaimana Malangsumirang -- yang bisa diduga hanya tokoh fiktif -- adalah sosok dalam metamorfosis. Ia tampil sebagai seorang aulia dan segera setelah itu jadi perusuh yang layak dibakar hidup-hidup. Ia seorang yang dengan berani menghadapi penyiksaan dan jadi syuhada; ia disamakan dengan Nabi Ibrahim; tapi ia juga seorang yang kemudian dikatakan mengaku dirinya dungu, congkak, dengan pengetahuan yang masih mentah. Disebutkan di dalam api itu ia menulis serangkaian suluk yang cemerlang, tapi isinya ternyata hanya semacam pengakuan dosa.
Akhirnya cerita berhenti, setelah ia menghilang dari kehidupan sosial.
Bisa jadi itulah strategi tekstual penggubah Babad Jaka Tingkir. Dari penuturannya, tampak benar sang penulis hidup di sebuah zaman ketika ingatan masih mencekam tentang kisah-kisah hukuman mati
18
terhadap orang-orang alim yang dianggap melanggar syari’at. Ada Syekh Siti Jenar yang dipancung, ada Ki Babeluk di masa Kerajaan Pajang di abad ke-16, ada Syekh Among Raga, seorang santri keturunan Sunan Giri di masa Mataram di bawah Sultan Agung di abad ke-17; seperti Babeluk, Among Raga dihukum mati dengan ditenggelamkan. Tokoh sentral Serat Centhini ini konon dibenamkan di laut Selatan di dekat desa Tunjungbang. 8
Cerita-cerita itu tampaknya berpengaruh kepada sikap terhadap Malangsumirang dan cara teks Babad Jaka Tingkir menampilkannya: kita menyaksikan sebuah metamorfosis terus menerus, seakan-akan sang penulis dan tokohnya ingin mengelak dari identifikasi yang tetap. Hasilnya sebuah ambiguitas yang justru mempertajam pesan. Pesan itu berupa sebuah pasemon, yang mengisyaratkan adanya ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak.
Seperti umum diketahui di kalangan literati Jawa, kisah Malangsumirang bertaut dengan kisah Sunan Panggung. Orang ini disebut sebagai seorang bangsawan Demak, tapi juga dikatakan sebagai putra Sunan Kalijaga. Dalam cerita rakyat ia merupakan pembangkang para wali, meresahkan Sunan Bonang dan memusuhi Sunan Kudus.
Terutama yang disebut terakhir. Jika kita ikuti dalam Babad Jaka Tingkir, Sunan Kudus adalah penegak hukum syari’at dan kekuasaan politik Demak yang dengan siap menjalankan pembunuhan. Sunan Kudus hadir sebagai seorang ulama dengan pandangan legalistik yang tak hendak membiarkan ketidak-pastian (dan perbedaan) tafsir.
Dengan sendirinya, konfliknya dengan heterodoksi tak terelakkan. Sunan Panggung dikisahkan sebagai antagonisnya. Dalam salah satu legenda disebut, untuk menunjukkan perlawanannya kepada penjaga
19
tertib agama dari Kudus itu, Sunan Panggung memelihara dua ekor anjing yang diberi nama ‘Iman’ dan ‘Tokid’. Dan ia melepaskan kedua hewan itu ke dalam masjid Kudus.
Kontroversi akhirnya dimenangkan oleh Sunan Kudus -- atau lebih tepat: para wali, yang mendukung dan didukung penguasa politik di Demak. Sunan Panggung dihukum bakar. Cerita yang kemudian beredar mirip dengan kisah Malangsumirang yang kita ikuti di atas.
Kita tahu, thema ketegangan atau benturan dalam kehidupan agama itu membentuk sebuah dikotomi yang klasik: di satu sisi, penegak syari’at sebagai penyangga kekuatan iman; di seberangnya, mereka yang lebih cenderung ke tasawuf sebagai praxis ketulusan iman.
Di sini saya tak akan membahas cerita Malangsumirang dari thema yang sudah sering diperbincangkan itu. Yang ingin saya coba sajikan adalah sebuah gambaran tentang peran metafor dan metamorfosis – dan apa yang terjadi dalam lakon ini.
Metafor makin diakui perannya dalam pemikiran dewasa ini, antara lain dipertegas oleh karya-karya Nietzsche dan Derrida yang berpengaruh luas. Bahasa, yang sangat menentukan pandangan manusia tentang diri dan dunianya, makin tampak bukan terdiri dari konsep atau pengertian-pengertian yang pasti. Dunia tak bisa kita tangkap seluruhnya dengan gagasan, ide, atau formula, tak bisa denan bahasa yang lurus, persis, rasional. Ada sesuatu yang lain ketika manusia berbahasa. Metafor, itulah yang sebenarnya berperan. ‘Metafor,’ tulis I. Bambang Sugiharto dalam Post-Modernisme: Tantangan Bagi Filsafat, ‘pada akhirnya adalah cara berada manusia’. Metafor bukan cuma ‘bentuk semantik tertentu di antara berbagai bentuk lainnya,’ melainkan ‘cara dasar kita bergaul dengan realitas’. 9
Terutama dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan pengalaman religius.
20
Itu sebabnya kitab-kitab suci penuh dengan perumpamaan. Konsep dan rumus tak akan pernah memadai menangkap pengalaman yang penuh rasa gentar, takjub, terpesona, dan luluh ketika manusia dalam sentuhan Yang Maha Suci. Dengan kata lain, metafor menandai keterbatasan bahasa manusia – dan sekaligus kemampuannya mencoba mengatasi keterbatasan verbal.
Dalam menghadapi (dan mengatasi) keterbatasan bahasa itulah sang sufi sering memilih diam. Dalam diam, tanpa orang lain, ada ‘suwung’ -- .sebuah kata yang tak sepenuhnya bisa diterjemahkan sebagai ‘kosong’ atau ‘hampa’. Tapi seperti disebut dalam tembang yang konon ditulis Sunan Panggung, ‘ing suwungé iku ana, ing anané iku surasa sejati, tan kena dèn-ucapna.’ Dalam suwung itu ada, dan dalam ada itu terkandung makna yang sebenarnya -- yang tak dapat diucapkan’.
Atau sang sufi mengerjakan ‘laku’, menjalankan panggilan hati. Di sini ngèlmu ditransformasikan dalam laku. Dengan laku, sang sufi membebaskan diri dari bahasa – yakni bahasa sebagai sarana komunikasi sosial. Hanya bila perlu ia bisa memakai bahasa, tapi lebih sebagai luapan ekspresi pribadi, yang umumnya unik, khas berlaku dari dan buat dirinya. Dengan ekspresi yang dirasakannya pas, sang sufi tak sekedar mengikuti bahasa yang lazim, bahasa yang merupakan hasil kesepakatan orang ramai. Ia memakai pasemon.
Mungkin pasemon adalah sinonim paling tepat untuk metafor. Kata ‘semu’ berarti ‘perlambang’, atau ‘alegori’ (crita pepindhan), tapi juga ‘gelagat’ yang terbit di ekspresi wajah seseorang.10 Gelagat adalah isyarat. Dengan kata lain, metafor bukanlah sesuatu yang langsung terang benderang. Kata ‘bintang’ sebagai metafor, umpamanya, tentu tak bisa ditafsirkan persis dan pasti sebagai benda langit, sebagaimana ‘bintang’ dirumuskan dalam astronomi. Dalam astronomi, dalam ilmu-ilmu, yang dipakai adalah definisi yang
21
diterima secara universal. Sementara itu, metafor selalu mengelak dari definisi, dan selamanya lahir dari sebuah suasana kongkrit dan spesifik, hingga tak selamanya bisa dipakai dan diterima di mana saja, kapan saja.
Maka salah benar bila metafor diterima sebagai konsep. Tapi di situlah problemnya. Bagi mereka yang bersikap legalistis, kitab suci dan bahasa religius bukanlah inspirasi yang enersinya terbangun dari metafor. Bagi mereka, kitab suci sepenuhnya rumusan hukum yang disusun dengan konsep-konsep yang stabil dan berlaku umum. ‘Ijma’ dan ‘qiyas’ telah pasti, ‘tak boleh bergeming walau serambut’, kata Sunan Kudus.
Orang yang berpikir legalistis ini lebih menegaskan hidup keagamaan sebagai arsitektur sosial, dengan aturan yang pasti, dengan kepemimpinan yang jelas, dan dengan semangat untuk mengukuhkan konsolidasi terus menerus.
Dalam menghadapi Malangsumirang kita, memang begitulah sikap Sunan Kudus. Dalam wejangannya kepada orang yang dihukum bakar itu Sunan Kudus berpesan agar si pendosa jangan lagi
Melonggarkan simpul ikatan
Membuat pagar tak rapat lagi, merusak barisan,
Merubuhkan bendera
(Angendhoni bebundhelan,
Ngarangaken pager, ngalikabken baris,
Ndhoyongaken bandéra)
Tapi bagaimana mungkin? Malangsumirang adalah fenomena yang singular, unik, tak bisa dibandingkan, apalagi disamakan, dengan
22
orang lain. Ia sebuah pribadi, tapi juga sebuah proses ‘menjadi’. Ia tak tersimpulkan. Ia tak bisa jadi bagian dari ikatan. Ia juga bukan sebilah dari deretan papan yang gampang dipasang rapat untuk pagar benteng. Agama baginya bukan barisan pasukan yang rampak; dirinya bukan pengibar bendera. Nama Malangsumirang sudah sejak awal dipilih untuk melambangkan anarki dan pembangkangan: nggugu karepé dhéwé. Dalam bait-bait pertama ia telah dikatakan menempuh ‘tarek majnun rabbani’, jalan edan -- gila karena tergila-gila kepada Tuhan.
Dengan kata lain, ‘gila’ dalam konteks keyakinan Malangsumirang ada di luar klasifikasi bahasa yang lazim. Sebagaimana ‘Islam’ dalam tembang Sunan Panggung:
Pangrungunisun duk raré alit, nora selam déning wong sembayang, nora selam déning anggèn, tan selam déning saum, nora selam déning kulambi, tan selam déning dhestar, ing pangrungunisun, éwuh tegesé wong selam, nora selam déning anampik amilih, ing karam lawan kalal
Menurut pemikiranku sejak kecil, Islam bukan karena sembahyang, Islam bukan karena pakaian, Islam bukan sebab puasa, Islam tidak dengan baju atau destar. Dalam pemikiran saya, makna Islam bukan karena menolak atau menerima yang haram atau yang haram.
Seorang yang hendak menegakkan agama sebagai komunitas yang kukuh, seorang yang mendukung tata sosial dan politik yang mengayomi komunitas itu, mau tak mau akan menganggap penolakan Sunan Panggung terhadap konsep dan bahasa yang lazim sebagai sikap ‘merusak barisan’. Ia layak dimusnahkan dalam api.
23
V
Tapi api, seperti yang dikisahkan berkobar di alun-alun Demak di abad ke-16 itu, tempat Malangsumirang duduk menulis puisinya, juga sebuah metafor. Atau tepatnya, sebuah pasemon dua arah.
Api bisa dilihat sebagai enersi yang destruktif. Tapi api itu juga enersi yang menggerakkan. Juga sinar. Sejarah berkali-kali mencatat, pembinasaan atas keyakinan, (atau karya filsafat, atau karya sastra), berakhir bukan dengan musnahnya keyakinan itu. Yang lebih sering terjadi adalah munculnya daya yang lain, daya baru, dari dalamnya. Tak jarang, sang korban pun – seorang tokoh, sebuah ajaran, sebuah karya sastra – jadi bercahaya; ia menarik perhatian dan memberi ‘pencerahan’.
Itu sebabnya kisah Syekh Siti Jenar hadir membayang-bayangi Babad Jaka Tingkir. Dan bisa diduga, pada gilirannya kematian Siti Jenar, juga Sunan Panggung, setidaknya eksekusi itu, mungkin hasil imajinasi yang dibayang-bayangi riwayat al-Hallâj.
Akhir hayat sufi ini sangat dramatis. Ia dianggap ‘kafir’ oleh fatwa Muhammad bin Dawud, ulama madzhab Dhahiri; al-Hallâj dituduh mengatakan ia telah bersatu dengan Allah. Pada tanggal 26 Maret 922, dalam usia 64, al-Husain bin al-Manshur al-Hallâj dieksekusi, setahap demi setahap.11 Mula-mula dikerat putus hidungnya, lalu dipotong kaki dan tangannya, dan kemudian disalibkan. Ketika ia belum mati juga, lehernya dipenggal. Akhirnya jasadnya disiram minyak dan dibakar.
Dikisahkan sebelum ajal, ia sempat membaca sajaknya sendiri:
Bunuhlah aku, hai kepercayaanku / sungguh dalam pembunuhanku adalah hidupku
Matiku ada dalam hidupku / dan hidupku ada dalam matiku
24
Tak jelas bagaimana perjalanan riwayat al-Hallâj sampai ke Indonesia, khususnya Jawa Tengah, dan kapan pula mulai diterima di sini. Tapi tak sulit membayangkan bagaimana kejadian yang dahsyat itu berkesan dalam di kesadaran para santri dan bukan santri. Ketegangan dalam riwayat al-Hallâj -- antara mereka yang berpegang bahasa hukum yang tersusun sebagai sistem dan mereka yang lebih hidup dengan bahasa mistik yang ‘liar’ dan personal -- punya gema yang kuat di Jawa sejak abad ke-15. Kalimat terkenal ‘Ana al-Haqq’ dengan mudah dapat tanah subur di tengah tradisi yang sejak pra-Islam mengenal pelbagai versi pengalaman unio mystica. Baris kedua sajak al-Hallâj di atas juga bergaung dalam kata-kata ketika Malangsumirang menulis tembang di tengah api: ‘bisa mati jroning urip/urip sajroning pralina’.
Tentu saja gema riwayat al-Hallâj berkembang dengan bermacam-macam distorsi dan reinterpretasi. Bahwa di Jawa di masa lalu, sebagaimana di Aceh, telah terjadi prosekusi terhadap orang-orang yang dianggap ‘melanggar syari’at’ agaknya bukan sesuatu yang mustahil. Tapi saya tak tahu benarkah pernah terjadi hukum bakar hidup-hidup di sini. Yang jelas, cerita kematian al-Hallâj yang beredar di Indonesia adalah kematian di dalam api, dan mungkin itu yang jadi ilham bagi riwayat (atau legenda) Sunan Panggung.
Lagi pula api, selain dramatis, juga – seperti saya katakan di atas – merupakan metafor yang kuat, dengan arah makna yang beragam. Api adalah terang, dan terang itu bisa menyingkirkan nuansa. Batas antara hitam dan putih jadi terlampau tegas. Ambiguitas jadi sesuatu yang salah. Terang bisa merupakan sekutu Sang Panginté: kekuatan yang mengintai, mengawasi, untuk menguasai sepenuhnya ruang yang ada.
Dengan kata lain, api adalah sebuah pasemon dengan dinamikanya sendiri. Dinamika itu juga berlaku pada sang anjing sebagai metafor.
25
Hewan ini makhluk yang setia mengabdi, tapi juga dinista dan disingkirkan di sementara kalangan Muslim. Malangsumirang, atau Sunan Panggung, dikisahkan menyuruh anjingnya ikut menyiapkan dan kemudian membawa suluk yang ditulisnya. Tampak di sini bahwa sang pengarang tak hendak meletakkan karya itu sebagai bagian dari sastra adiluhung yang didukung tata dan nilai-nilai yang berkuasa. Karyanya bergerak di bawah, di lapisan yang dihinakan, bukan di majelis orang-orang di atas. Ia subversif.
Namun di sinipun sebuah metamorfosis bisa terjadi. Dalam kesetiaannya, sang anjing cenderung menjunjung karya sastra yang diterimanya sebagai lambang kebesaran. Itu terjadi setelah Malangsumirang, tuannya, keluar dari api dengan disambut bagaikan sang pemenang. ‘Sang anjing pun duduk sembari membawa laiknya tanda kebesaran: Tulisan, tinta, dan pena’, demikian dikisahkan Babad Jaka Tingkir. Di momen itu, sebuah sastra subversif berada di ambang perubahan menjadi ‘sastra agung’, di mana mereka yang rendah di bawah hanya ikut ngampil-ampil.
Tapi untunglah, cerita tak berhenti di sini. Pembacaan suluk itu dihentikan, dan kemudian Malangsumirang berangkat ke dalam hutan yang tak berpenghuni. Dalam hutan itulah ia menjadi yang sendirian, yang singular, yang tak dihimpit oleh desakan ‘merayakan komunitas’.12 Dalam kesendirian itu – di gubuk kecil, tanpa hasrat dan hubungan-hubungan kekuasaan – persentuhan antara makhluk dengan Sang Khalik bisa berlangsung leluasa, terbebas dari hukum-hukum yang dibuat untuk orang ramai, bukan untuk pribadi yang unik. Ia tak akan lagi terjebak dalam label atau identitas manapun. Ia sepenuhnya terbuka untuk metamorfosis.
Dengan hutan Kalampisan sebagai pasemon terakhir, kita melihat bagaimana metafor memungkinkan terjadinya metamorfosis tokoh (atau lebih tepat pemaknaan atas tokoh itu) dalam sebuah cerita.
26
Dengan demikian, sebuah narasi tak berhenti dan beku, tidak sebagaimana ditafsirkan oleh mereka yang tak mau mengakui tenaga metafor dalam sebuah teks.
Memang, dalam derajat tertentu, metafor bisa dianggap bukan buah dorongan kreatif yang asli, karena ia berperan merepresentasikan – dalam arti hanya mewakili – sesuatu yang lain, juga suatu arti, suatu makna; ia bukan sesuatu yang mandiri dan bergerak bebas, tanpa beban, seakan-akan sama sekali baru, lahir dari ketiadaan.
Deleuze, misalnya, mempertentangkan metafor dengan metamorfosis dan menolak peran baiknya.13 Tapi mustahil, juga bagi prosa Deleuze sendiri, membebaskan diri dari metafor. Bila kita ingin agar sebuah karya juga mempunyai kemampuan emansipasi, yang harus dijaga ialah agar sebuah metafor (ya, bahkan seluruh kehidupan bahasa) mampu tak terjerat dalam satu pemaknaan yang dikukuhkan oleh kekuasaan. Artinya, agar ia masih bisa berbaur dengan yang remang, yang gelap, yang antara ‘ya-dan-bukan’. Artinya ia harus menjadi pasemon: sebuah isyarat, bukan sebuah definisi.
Di dalam keadaan itulah kita menemukan dinamika makna – yang bergerak dalam metamorfosis. Jika kita lanjutkan cerita kita dari Babad Jaka Tingkir, kita akan bisa menemukan apa yang saya pernah sebut sebagai ‘paradigma Pengging’.14 Dalam babad ini, Ki Ageng Pengging menolak untuk menghadap penguasa di Demak. Ia tak ingin dijebak dalam satu posisi. Ia tak ingin diberi identitas oleh sebuah tahta. Ia adalah pangeran dan juga petani, ‘gusti’ dan juga ‘kawula’, berada dalam ‘sepi’ dan juga ‘ramai’. Dan ia menolak untuk berhenti; ia menolak memilih untuk hanya jadi satu hal saja.
Pengging menunjukkan ketegangan yang tak mudah antara tata politik, hukum, dan ajaran agama di satu pihak, dengan sesuatu yang tak terjangkau oleh semua lembaga dan doktrin itu di lain pihak. Pengging juga menunjukkan ada yang tetap bisa bebas, (dan
27
harus bebas) dari bahasa, kaidah dan akidah yang datang dari luar, dari atas – bebas dari kekuasaan dan ajaran yang membuat makna berhenti dan beku.
Ia bisa jadi tauladan kita di hari ini.
*
Jakarta, 2 Desember 2011.
(Endnotes)
1 Moelyono Sastronaryatmo (penerjemah), Babad Jaka Tingkir – Babad Pajang, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1981), hal. 5. Dari kalimat dalam babad itu: ‘Anggustus/kaping tigalikur winarni,/sangkala Trus Sinembah, Sariraning Ratu/).
2 Florida, Nancy K, Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang, Sejarah Sebagai Nubuat di Jawa Masa Kolonial, (terjemahan atas Writing The Past, Inscribing the Future), (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal. 101. Dalam paparan ini, saya menggunakan karya ini, bersama terjemahan Moelyono, untuk sumber utama
3 Poerwadarminta, W.J.S., (dengan C.S. Hardjasoedarma dan J.Chr. Poedjasoediro), Baoesastra Djawa (Groningen, Batavia: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatschappij, 1939), hal. 288.
4 Umumnya saya meminjam terjemahan bahasa Indonesia dalam Menyurat Yang Silam, tapi saya memakai terjemahan sendiri dalam kalimat ini. Versi Menyurat: ‘Mengaku berbadan rohani/Dan berlanjut mengakui keberadaan Ilahi’.
5 Terjemahan ini saya kutip dari Menyurat Yang Silam, dengan perubahan di sana-sini untuk melancarkan cerita.
6 Menyurat, hal. 223-224.
7 Moelyono Sastronaryatmo, hal. 107.
8 Lihat Ahmad Syafii Mufid, dalam Tangklukan, Abangan, dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 28-29. Lihat juga
28
telaah Soebardi, ‘Santri-religious elements as reflected in the Book of Tjentini’, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 127 (1971), no: 3, Leiden, 331-349.
9 Terbitan Kanisius, (Yogyakarta: 1996), hal. 120.
10 Poerwadarminta, hal. 555. Mengenai ‘semu’ dan ‘pasemon’, Florida membahasnya dalam Menyurat, hal. 311-319.
11 Saya kutip dari makalah Mohamad Guntur Romli, ‘Al-Hallâj dan “Agama Salib,’ (belum diterbitkan): mungkin satu-satunya telaah sejarah yang cukup lengkap meskipun ringkas tentang sufi termashur itu dalam bahasa Indonesia.
12 ‘Celebration of community’, kata-kata terkenal Ernest Gellner, dalam Postmodernism, Reason and Religion. (London: Routledge, 1996), hal. 3.
13 Leclerc, Jean Jacques, Deleuze and Language, (New York: Palgrave, 2002, hal. 25 dst. Pengertian ‘metamorfosis’ saya berbeda dari Delezue. Bagi Deleuze, dengan metamorfosis kata tak lagi mengacu dan mewakili satu obyek; ia jadi obyek sendiri. Dengan demikian kata dibebaskan dari beban arti – satu hal yang menjelaskan kenapa Deleuze mengambil karya-karya Samuel Beckett dan James Joyce sebagai tauladan. Bagi saya, metamorfosis adalah dinamika makna, yang membuat sebuah cerita tak berhenti di satu tafsir.
14 Florida, hal. xvii.
Comments