Skip to main content

Menuju Bumi Para Dewa

SEPERTI namanya, dataran tinggi Dieng menyimpan berjuta misteri yang begitu memikat untuk diungkap. Selain keindahan alamnya, saya merasakan kehangatan dan kesederhanaan masyarakat Dieng Kulon saat berkunjung ke tempat tersebut akhir Oktober lalu.

************
Mengutip laman Wikipedia, Dieng merupakan kawasan tinggi di Jawa Tengah dan termasuk sebagai salah satu wilayah terpencil di provinsi ini. Dieng terletak di sebelah barat komplek Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing serta berada di kawasan vulkanik aktif dengan ketinggian rata-rata sekitar 2000 meter di atas permukaan laut. Secara administrasi dataran tinggi Dieng terbagi dalam dua wilayah yaitu Dieng Kulon di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Dieng di Kecamatan Kejajar KabupatenWonosobo.
Ada beberapa alternatif yang bisa digunakan jika ingin berkunjung ke Dieng Kulon yang berada di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara itu. Untuk menuju ke lokasi, bisa menggunakan sepeda motor maupun menggunakan bus yang disambung dengan kendaraan yang lebih kecil, baik lewat Wonosobo atau Banjarnegara.
Perjalanan menuju Dieng Kulon sendiri sudah dibayangi awan gelap sejak berangkat dari Banjarnegara dengan menggunakan sepeda motor. Meski demikian, keinginan untuk membuka misteri Dieng tidak bisa melunturkan ancaman hujan deras yang ternyata tidak berhenti mengguyur selama di perjalanan.
Namun, dingin yang menggigit selama perjalanan dihibur dengan indahnya pemandangan selama perjalanan. Dan lelah selama 3,5 jam perjalanan menuju Dieng Kulon terbayar lunas dengan kehangatan tuan rumah yang menyambut, Alif Fauzi pria 35 tahun yang menjabat sebagai Ketua Pokdarwis Dieng Kulon.
Begitu menjejakkan kaki di rumah yang sekaligus digunakan sebagai penginapan para turis, Alif mempersilakan langsung masuk ke dapur belakang. Awalnya hal ini membingungkan dan merasa janggal. “Ini adalah tradisi di Dieng Kulon,” sahut Alif seolah membaca kebingungan saya.


Dapur tersebut cukup lengkap dengan kompor gas, kulkas, maupun peralatan makan dan tempat memasak. Tempat ini juga dilengkapi dengan kamar mandi berukuran kecil yang ada di sudut dapur. Selain itu, ada sebuah meja kayu lebar namun berkaki pendek yang diletakkan di dekat jendela. Lantainya diberi karpet.
Alif sendiri langsung menuju ke bagian lain dari dapur tersebut dan dari ruangan tersebut tiba-tiba asap mengepul. Ternyata dia tengah membakar arang. Setelah itu diletakkan di sebuah anglo dan dibawa ke hadapan para tamu. Dengan sabar dia meminta untuk duduk di atas sebuah dingklik yang jumlahnya ada beberapa buah. “Silakan menghangatkan diri di dekat anglo ini,” katanya mempersilakan.
Duduk di dekat anglo memang menghangatkan suhu Dieng Kulon yang saat itu baru diguyur hujan deras. Penginapan Alif sebenarnya memiliki ruang tamu lengkap dengan sofa yang empuk. Namun, sebagai bentuk keakraban dan persaudaraan kebanyakan warga setempat selalu mengajak tamunya untuk duduk di depan anglo. “Ini sudah tradisi sejak jaman dahulu dan semua rumah disini ya seperti ini,” katanya sembari menunjuk dapur yang berfungsi sebagai ruang tamu itu.
Kehangatan semakin terasa ketika dengan ramah, Alif mempersilakan menu makan malam yang sudah disediakan oleh tuan rumah atau tempat penginapan. Tarif menginap di Dieng Kulon cukup bervariasi mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu per malam. Kebetulan, tarif penginapan milik Alfi sebesar Rp 250 ribu per malam namun memiliki fasilitas cukup lengkap yaitu tempat tidur springbed, fasilitas air hangat dan saluran televisi berbayar. Sebagai bagian dari pelayanan, tiap penginapan yang ada di Dieng Kulon menyediakan menu makan gratis. “Cuma menunya tidak bisa memilih, sesuai dengan yang dimasak oleh tempat penginapan,” katanya sembari tertawa.
Kawah aktif di Dieng merupakan kepundan bagi aktivitas vulkanik di bawah dataran tinggi. Pemantauan aktivitas dilakukan oleh PVMBG melalui Pos Pengamatan Dieng di Kecamatan Karangtengah. Berikut adalah kawah-kawah aktif yang dipantau:
Soal lokasi wisata, Dieng memiliki beberapa situs andalan kawah, danau maupun gunung yang bisa dikunjungi. Kawah yang bisa dikunjungi antara lain Candradimuka, Sibanteng, Siglagah,Sikidang, Sileri, Sikendang, Sinila dan Timbang. Tiga kawah yang disebutkan terakhir berpotensi mengandung gas beracun.
Beberapa peninggalan budaya dan alam telah dijadikan sebagai obyek wisata dan dikelola bersama oleh dua kabupaten, yaitu Banjarnegara dan Wonosobo. Salah satunya adalah telaga warna yang memiliki nuansa warna merah, hijau, biru, putih, dan lembayung. Juga ada Telaga Pengilon maupun Telaga Merdada.
Disini juga ada candi-candi Hindu yang dibangun pada abad ke-7 seperti Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, Candi Setyaki, Gangsiran Aswatama, dan Candi Dwarawati. Juga ada gua Semar, Gua Jaran, Gua Sumur.
Dieng Kulon juga memiliki suvernir dari kayu yang dibuat berbagai bentuk seperti gantungan kunci, pigura, wayang termasuk replika candi. Wilayah ini juga memiliki hasil pertanian yang khas yaitu penghasil kentang dan menjadi komoditi utama bagi warga yang bercocok tanam. Kentang ini juga sempat disajikan sebagai camilan yang disediakan di penginapan milik Alif.
Dunia pariwisata memang belum maksimal dalam mempromosikan Dieng Kulon ke luar wilayah. Mereka yang bergerak mengkampanyekan wilayah ini sebagai tempat wisata yang indah adalah masyarakat setempat. Meski hanya mendapat sokongan kecil dari pemkab setempat, Alif dan teman-teman tidak putus asa mempromosikan Dieng Kulon. “Dieng Kulon adalah perjalanan menuju bumi para Dewa.” (sit)

Comments

Anonymous said…
mahalan masuk tambang trisakti
apalagi priode 2013/2014

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej