Serat Centini...sebuah karya yang sangat terkenal.
Ada banyak ulasan mengenai karya yang ditulis pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu: Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar) tersebut. Mengutip laman http://seratcenthini.wordpress.com/ penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V (1820–1823).
Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri yang melarikan diri setelah Keraton Giri diserang dan diduduki oleh tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal di satu pesantren ke pesantren lain sebagai santri kelana. Di situlah Syaikh Among Raga banyak mendapatkan pengajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik (kitab kuning). Serat Centhini menyebutkan tidak kurang dari 20 nama kitab klasik, yang hingga kini mayoritasnya masih dikenal dan dipakai sebagai pegangan di pesantren.
Saya belum baca buku ini.
Tapi saya tertarik ketika dalam sebuah diskusi feminis di UIN Sunan Kalijaga, salah seorang aktivis Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah menyinggung isi buku ini. Yaitu perbincangan antara ibu dan anak ~ saya lupa namanya ~ ketika berbicara mengenai peran istri terhadap suaminya. Kata si aktivis perempuan itu, si ibu menasehati anak perempuannya agar mengingat lima jari dalam hubungannya antara suami dan istri :
- Jari jempol diartikan bahwa seorang istri harus pol pengabdiannya pada suami
- Jari telunjuk yang artinya mematahui semua petunjuk suami
- Panunggul atau jari tengah mengartikan seorang istri harus mengunggulkan suaminya, apapun kondisinya. Maschruhah ini menambahkan kondisi ekstrem seperti istri tetap di belakang suami meskipun dia selingkuh.
- Jari manis yang menunjukkan bagaimanapun kondisi seorang istri ~ lelah, sedih, sakit, gelisah ~ ketika menemui suaminya tetap harus bermuka manis
- Jari jentik atau kelingking bermakna seorang istri harus pandai-pandai mengotak-atik pendapatan suami.
Menurut dia, ini adalah sebuah ajaran budaya partriarki yang harus diubah. Bila dilihat, karya seni ini hanya menempatkan perempuan sebagai kanca wingking yang tugasnya hanya masak, macak dan manak. Perempuan hanya boleh terlibat di wilayah domestik seputar dapur, kasur dan dandanan.
Kesannya kejam sekali ya Serat Centhini pada perempuan kalo versi Bu Masruchah.
Saya tidak tahu apakah Serat Centhini ini benar-benar berbanding lurus dengan ajaran Islam, agama yang saya anut. Tetapi konsep tersebut sangat menarik karena dekat sekali dengan kehidupan saya.
Saya melihat ajaran ini pada sosok ibu saya. Dan saya pun diajari tidak jauh dari konsep tersebut meski dengan sedikit variasi. Ibu saya mengingatkan pengabdian penuh terhadap suami merupakan kewajiban ASALKAN dia tetap sesuai dengan syariah. Petunjuk suami tetap harus dipatuhi ASALKAN sesuai dengan agama.
Mengunggulkan suami itu, penting, untuk menunjukkan dia sebagai seorang kepala keluarga. Selama dia tidak mengabaikan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Kalau dia selingkuh? hmm...maaf-maaf saja lah, menurut saya itu sudah tidak bisa diampuni dan tidak layak diunggulkan, bahkan meski dia melakukan itu atas nama kejantanan. Bagaimana mungkin seorang pria dianggap jantan karena berselingkuh sementara dia mengabaikan anak-anaknya?
Bermuka manis terhadap suami? Aku memahaminya itu sebagai bentuk cinta dan kasih terhadap istri terhadap suaminya. Bila kita saling mencintai tentu kita akan berusaha menyenangkan orang tersebut bukan? Tentu saja, seorang suami juga tak elok kalau hanya meminta penghiburan dari istrinya. Perempuan juga ingin dimengerti, kata ADA BAND.
Otak-atik penghasilan? hwahaha....cuma seorang perempuan yang bisa melakukan ini dan butuh keahlian tinggi loh. Lagi-lagi aku melihatnya dari sosok ibuku, yang tiap hari memikirkan makan anak-anak, suami dan dirinya sendiri dengan penghasilan suaminya yang hanya seorang PNS. Hasilnya hampir tiap hari, kami makan tempe dan tahu, ikan pindang, teri, ikan asin, serta sesekali makan daging atau ayam. Mengeluh? Hmmmm...karena selama kecil hidup saya jarang mengonsumsi daging, maka tempe menjadi makanan lezat. Dan kalau mau googling, kandungan proteinnya sangat tinggi. (menghibur diri. hahaha)
Ibu saya menerapkan konsep perempuan seperti dalam Serat Centhini meski tidak saklek. Dan seharusnya itu yang harus kita lihat kalau membaca konsep lima jari tangan yang ditawarkan dalam serat tersebut. Toh, saya juga tidak melihat ibu saya hanya sebagai kanca wingking almarhum ayah. Beliau selalu mencoba ikut hadir dan berperan di masyarakat. Mungkin langkahnya tidak sebesar para perempuan hebat di dunia, tapi dia mencoba menciptakan keseimbangan hubungan antar perempuan dan laki-laki disini.
Ya meski tidak berakhir dengan baik.
Semoga saya tidak mengalami apa yang Ibu alami. Semoga suami saya nanti tidak khilaf seperti ayah saya. Amin.
Selamat Hari Sabtu.
Ada banyak ulasan mengenai karya yang ditulis pada abad XIX oleh tiga orang abdi dalem Kasunanan Surakarta, yaitu: Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Ahmad Ilhar) tersebut. Mengutip laman http://seratcenthini.wordpress.com/ penulisan itu atas perintah putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III yang kemudian menjadi raja bergelar Sunan Paku Buwana V (1820–1823).
Serat Centhini menceritakan perjalanan hidup Syaikh Among Raga, salah seorang keturunan Sunan Giri yang melarikan diri setelah Keraton Giri diserang dan diduduki oleh tentara Sultan Agung yang dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya. Syaikh Among Raga bersembunyi dan tinggal di satu pesantren ke pesantren lain sebagai santri kelana. Di situlah Syaikh Among Raga banyak mendapatkan pengajaran agama Islam, khususnya tentang kitab-kitab klasik (kitab kuning). Serat Centhini menyebutkan tidak kurang dari 20 nama kitab klasik, yang hingga kini mayoritasnya masih dikenal dan dipakai sebagai pegangan di pesantren.
Saya belum baca buku ini.
Tapi saya tertarik ketika dalam sebuah diskusi feminis di UIN Sunan Kalijaga, salah seorang aktivis Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah menyinggung isi buku ini. Yaitu perbincangan antara ibu dan anak ~ saya lupa namanya ~ ketika berbicara mengenai peran istri terhadap suaminya. Kata si aktivis perempuan itu, si ibu menasehati anak perempuannya agar mengingat lima jari dalam hubungannya antara suami dan istri :
- Jari jempol diartikan bahwa seorang istri harus pol pengabdiannya pada suami
- Jari telunjuk yang artinya mematahui semua petunjuk suami
- Panunggul atau jari tengah mengartikan seorang istri harus mengunggulkan suaminya, apapun kondisinya. Maschruhah ini menambahkan kondisi ekstrem seperti istri tetap di belakang suami meskipun dia selingkuh.
- Jari manis yang menunjukkan bagaimanapun kondisi seorang istri ~ lelah, sedih, sakit, gelisah ~ ketika menemui suaminya tetap harus bermuka manis
- Jari jentik atau kelingking bermakna seorang istri harus pandai-pandai mengotak-atik pendapatan suami.
Menurut dia, ini adalah sebuah ajaran budaya partriarki yang harus diubah. Bila dilihat, karya seni ini hanya menempatkan perempuan sebagai kanca wingking yang tugasnya hanya masak, macak dan manak. Perempuan hanya boleh terlibat di wilayah domestik seputar dapur, kasur dan dandanan.
Kesannya kejam sekali ya Serat Centhini pada perempuan kalo versi Bu Masruchah.
Saya tidak tahu apakah Serat Centhini ini benar-benar berbanding lurus dengan ajaran Islam, agama yang saya anut. Tetapi konsep tersebut sangat menarik karena dekat sekali dengan kehidupan saya.
Saya melihat ajaran ini pada sosok ibu saya. Dan saya pun diajari tidak jauh dari konsep tersebut meski dengan sedikit variasi. Ibu saya mengingatkan pengabdian penuh terhadap suami merupakan kewajiban ASALKAN dia tetap sesuai dengan syariah. Petunjuk suami tetap harus dipatuhi ASALKAN sesuai dengan agama.
Mengunggulkan suami itu, penting, untuk menunjukkan dia sebagai seorang kepala keluarga. Selama dia tidak mengabaikan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Kalau dia selingkuh? hmm...maaf-maaf saja lah, menurut saya itu sudah tidak bisa diampuni dan tidak layak diunggulkan, bahkan meski dia melakukan itu atas nama kejantanan. Bagaimana mungkin seorang pria dianggap jantan karena berselingkuh sementara dia mengabaikan anak-anaknya?
Bermuka manis terhadap suami? Aku memahaminya itu sebagai bentuk cinta dan kasih terhadap istri terhadap suaminya. Bila kita saling mencintai tentu kita akan berusaha menyenangkan orang tersebut bukan? Tentu saja, seorang suami juga tak elok kalau hanya meminta penghiburan dari istrinya. Perempuan juga ingin dimengerti, kata ADA BAND.
Otak-atik penghasilan? hwahaha....cuma seorang perempuan yang bisa melakukan ini dan butuh keahlian tinggi loh. Lagi-lagi aku melihatnya dari sosok ibuku, yang tiap hari memikirkan makan anak-anak, suami dan dirinya sendiri dengan penghasilan suaminya yang hanya seorang PNS. Hasilnya hampir tiap hari, kami makan tempe dan tahu, ikan pindang, teri, ikan asin, serta sesekali makan daging atau ayam. Mengeluh? Hmmmm...karena selama kecil hidup saya jarang mengonsumsi daging, maka tempe menjadi makanan lezat. Dan kalau mau googling, kandungan proteinnya sangat tinggi. (menghibur diri. hahaha)
Ibu saya menerapkan konsep perempuan seperti dalam Serat Centhini meski tidak saklek. Dan seharusnya itu yang harus kita lihat kalau membaca konsep lima jari tangan yang ditawarkan dalam serat tersebut. Toh, saya juga tidak melihat ibu saya hanya sebagai kanca wingking almarhum ayah. Beliau selalu mencoba ikut hadir dan berperan di masyarakat. Mungkin langkahnya tidak sebesar para perempuan hebat di dunia, tapi dia mencoba menciptakan keseimbangan hubungan antar perempuan dan laki-laki disini.
Ya meski tidak berakhir dengan baik.
Semoga saya tidak mengalami apa yang Ibu alami. Semoga suami saya nanti tidak khilaf seperti ayah saya. Amin.
Selamat Hari Sabtu.
Comments