Skip to main content

Kisah Para Pengajar Muda dalam Buku Indonesia Mengajar

Program Indonesia Mengajar yang dirintis Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan melahirkan kisah pengajar-pengajar muda bersemangat yang inspiratif. Kisah tersebut dituangkan dalam sebuah buku berjudul Indonesia Mengajar.
Kebetulan, saya bertemu dengan salah satu pengajar muda saat penerbit buku Bentang Pustaka meluncurkan dan mendiskusikan buku Indonesia Mengajar di lobi MAP Fisipol UGM Agus Rachmanto.
Agus tidak memiliki latar belakang mengajar karena dia lulusan dari Ilmu Administrasi Negara Fisipol Universitas Gadjah Mada angkatan 2008. Namun, saat itu dia membaca tantangan dari Anies Baswedan yang mengajak pemuda untuk mengajar di
daerah pedalaman. “Saya kira itu menarik. Lagipula selama ini saya kuliah di UGM, ada subsidi Negara. Jadi program Indonesia mengajar menjadi salah satu cara saya untuk membayar ‘hutang’ pada masyarakat,” tutur pria asal Kebumen itu.
Agus merupakan penerima beasiswa dari PPSDMS Nurul Fikri serta PPKB UGM sebagai mahasiswa berprestasi yang diwujudkan dalam pelatihan. Selain aktif kuliah, dia juga aktif di Pondok Pesantren Al Barokah Yogyakarta tahun 2004 hingga 2006, berbagai organisasi seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dan tergabung dalam Ikatan Alumni PPSDMS NF Wilayah Tengah hingga sekarang.
Mengajar, kata Agus, menjadi sebuah titik temu antara kemauan dan kesempatan yang diberikan oleh program ini. Maka saat itu dia mengikuti program seleksi untuk menjadi pengajar muda di Indonesia Mengajar. Dalam pelatihan yang diterimanya, Agus tidak pernah mendapatkan pendidikan secara spesifik mata pelajaran yang akan diajarkan di pedalaman. Tiap pengajar muda ditantang untuk mengajar apapun disana.
Agus berkisah mengenai pengalamannya mengajar di Dusun Hutan Samak di Pulau Rupat Selat Malaka, Kabupaten Bengkalis Riau. Dikatakannya, perbedaan budaya maupun kebiasaan menjadi sebuah tantangan tersendiri. Dia mengatakan dirinya yang seorang Jawa-Muslim harus mengajar di daerah Suku Akit yang beragama Budha.
Dia berkisah awal kedatangannya di lokasi tersebut sempat memunculkan pertanyaan dari masyarakat setempat. Apalagi, di wilayah tersebut masyarakatnya relatif tertutup dari orang luar. Sedangkan dirinya sebagai orang Jawa memiliki jiwa yang ramah dan murah senyum. Sempat pula ada kecurigaan bahwa dia tidak sekedar mengajar namun ada maksud lain.
Tantangan demikian tidak menjadikannya ciut. Meski jauh dari keramaian, Agus yang mengajar Pendidikan Kewarganegaraan di kelas I-III dan Matematika di kelas IV-VI. Total ada 162 siswa yang belajar di SDN 4 Titi Akar Kecamatan Rupat Utara yang dicoba direbut simpatinya.
Berbagai upaya dilakukan salah satunya lewat nyanyian. Dari sana, anak-anak tersebut bercerita kepada orang tuanya masing-masing hingga akhirnya dirinya diterima sebagai pengajar. Di sekolah itu, ada sembilan guru yang tiga di antaranya sudah berstatus PNS dengan rata-rata SDM guru adalah lulusan SMA. Prosesnya cukup lama, setidaknya butuh empat bulan untuk meyakinkan para orang tua dan masyarakat.
Selama mengajar, ada beberapa detail yang menurutnya membutuhkan sebuah penyesuaian. Salah satu contoh kecil adalah kegiatan pengambilan rapor siswa yang ternyata di Hutan Samak dilakukan oleh murid yang bersangkutan. Maka selama empat bulan itu, dia mencoba mengajak orang tua murid yang mengambil rapor untuk mengetahui perkembagan pendidikan putra-putrinya. “Sudah beberapa kali dilakukan tapi orang tua tetap ada yang kurang ngeh dengan kegiatan mengambil rapor. Tapi memang butuh proses dan ada pengajar lain yang menggantikan saya,” ujar Pengajar Muda angkatan I itu.
Mengenai hal berkesan selama mengajar adalah ketiadaan jaringan listrik di daerah tersebut sehingga masyarakat harus menggunakan jenset. Yang paling menarik tentunya adalah bisa mengenal Indonesia terutama dalam hal keberagaman Indonesia.
Dia mengatakan, menjadi pengajar di Indonesia Mengajar menjadi sebuah titik temu dan kesempatan yang jarang diperoleh. Agus pun memiliki cita-cita ingin mengajar di kampus. Dia juga punya sebuah blog yang jadi media 'pelaporan' kegiatannya selama jauh dari orang terdekat.

Untuk kisah-kisah yang lebih inspiratif bisa klik di blog dia di sini dan sini. Atau bisa klik cerita-cerita lain misalkan ini.


Selamat berkarya Pengajar Muda!!!

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej