Skip to main content

Oh....Kereta Api Ekonomi. Nasibmu kok Begini????



Ina Akhirnya Merit!!!!!!!!!!!

Hwahoaaaaaahowaaaa....

Finally, Aminnatus Sa'diyah alias Ina tersayang akhirnya merit 22 Desember kemarin ma Hafidz. Selamaaaat yaaa..

Akad nikahnya sih ane gak dateng. Ane plus temen2 kost bela-belain datang ke resepsinya mba Ina di Bangil Pasuruan. Puff...lucu plus mangkel kalo inget-inget perjalanan kesana.

Pernikahan Ina sendiri dah disebarluaskan sejak seminggu sebelum resepsi. Temen2 juga dah wanti-wanti aku untuk ikut dan berangkat ke Bangil dan menghadiri resepsi.

Tadinya mau berangkat Sabtu. Aku menolak.
Kerjo jeh!!

Akhirnya sepakat berangkat Minggu dan naik kereta Panataran jam 4.45 WIB pagi!!! Bayangin!! Padahal kalau naik bis juga masih sempet. Duh...!!!

Sabtu malam, ku masih putar-putar Surabaya karena ada sejumlah keperluan. Datang ke kost-kosan arek-arek jam 10-an lah. Disana kangen-kangenan dan cerita-ceritaan satu sama lain. Apalagi ketemu Erlina dan Niva.

Eh...ternyata Niva kost-nya deket ma kost-kostan ku di daerah Nginden. Niva di Bratang Binangun. Hehehehehe...mbulet ae.

Ngobrol-ngobrol, akhirnya dah jam 00.00 WIB. Masuk kamar Yeye yang sudah menunggu di rumahnya di Bangil, kutempati. Tapi karena sudah melewati jam tidur, bingung, akhirnya tertidur ketika jam menunjukkan jam 02.00 WIB.

Belum juga terlelap, ku sudah dibangunin. Ternyata dah jam setengah empat lebih, nyaris jam 4 pagi. Agak pusing tapi tetap aja ngantri untuk mandi. Brrr...dingin juga.

Berangkat pagi-pagi, naik becak. Walah...kok nyaris ketinggalan kado yang udah dibungkus. Kepiye tho bulek!!!

Enggak nunggu lama-lama, akhirnya naik ke kereta Panataran. Karena gak pernah naik kereta pagi-pagi, jujur aku kaget ternyata banyaaaaak banget penumpangnya. Copetnya juga. Xixixixi...

Soalnya waktu naik, ada satu cewek yang naik kereta kecopetan. Hape dia ditaruh di saku celana dan modus para pencopet, memepet, dan mengambil ponsel.

Waktu naik, aku cuma bisa teriak, 'ambil gerbong kanan'. Mbuh sopo sing nyaut...tapi teriakanku dibalas, 'sebelah kanan, Sit?'. 'Yo'

Disana, ternyata ga ada kursi yang lowong untuk 6 orang langsung, terpencarlah. Hehehehehe...tapi ya akhirnya ada tempat duduk. Karena dah PW (posisi wueenaaak), tadinya pengen tidur. Tapi karena rame penumpangnya, niat ini diurungkan.

Alhasil aku, Nene, Niva dan Fitri asyik ceritaan. Sembari cerita, kusempetin
manicure. Wkekwekwkekwekwkkeek...

Dari satu jam perjalanan, yang menegangkan adalah ketika mau turun. Bayangin, sebelum turun, dah banyak orang yang membooking kursi yang akan kita tinggalin.

Jadinya, waktu mo turun susyaaaaaaaaaah bangetz. Ampyun deh. Sampe bingung setengah mati. Dan parahnya, temen2 minta aku jalan didepan. Wkkewekwkeek...ya apalagi kalo bukan karena yang gede sendiri.

Jadilah aku membuka jalan wat temen2 supaya bisa lewat dan turun. Berdebat,
eyel-eyelan, desak sana sikut sana (aduh maaf). Yang konyol, sempat-sempatnya aku panik gara-gara peluit dari stasiun Bangil yang meminta kereta berangkat.

Sebenernya, kereta yang berangkat itu yang satunya, disebelah kereta Panataran. Tapi, kupikir keretaku yang berangkat. "Waduh...mbablas ke Blitar nih. Gawat," pikirku.

Aku segera sadar dari kepanikan setelah bapak-bapak paruh baya mengingatkan aku segera turun. Dia membawa barang bawaan yang dipanggul di punggungnya. Selintas terpikir, bapak ini kuat amat bawa bawaan segitu banyak.

Setelah berjuang sekitar lima menitan, akhirnya turun dari kereta. Seluruh badanku gemetar. Weleh...arek-arek aku tarik satu-satu turun dari kereta api milik kita bersama itu.

"Aduh...akhirnya turun juga," kata Fitri, si bontot dalam rombongan itu.

Saat kulihat kereta api yang baru saja mengangkut kami, aku sempat terheran-heran. Meski sudah penuh, masih banyak orang yang rela gelayutan dan membahayakan nyawanya demi bisa pulang ke rumah.

Oalah...bulik. Murah meriah sih iya. Tapi keselamatan nyawa kok dilupakan toh.

Gimana nih pemerintah??? Peduli ga sama rakyatnya??

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej