Skip to main content

Konferwil NU Probolinggo 2007


Ini dia salah satu konferensi wilayah ormas yang paling ditunggu dan paling heboh. Yup...konferwil NU di Ponpes Genggong Probolinggo , 2-3 Nopember 2007.

Ajang ini jadi ajang pertaruhan NU untuk memilih, terseret dalam politik atau tetap pada khittah yang digariskan pada 1926. Yaitu organisasi besar di Indonesia ini menyatakan tidak akan ikut-ikutan dalam kegiatan politik praktis.

Kenapa jadi ajang pertaruhan? Soalnya, ketua PWNU Ali Maschan Moesa sudah digadhang-gadhang untuk jadi calon gubernur atau calon wakil gubernur dalam running Pemilihan Gubernur Jatim 2008 mendatang. Berkali-kali disambangi oleh cagub atau bacagub dari semua partai yang bertarung dalam pilgub. Berkali-kali disowani sama tim sukses partai-partai yang ada.

"Saya masih mengurusi NU saja. Belum kepikiran jadi cagub atau cawagub," ujar Ali kala itu.

Pernyataan ini diperkuat ketika Ali yang terpilih sebagai Ketua Tanfidz PWNU 2007-2013 bersama KH Miftahul Achyar sebagai Rois Syuriah PWNU, menandatangani kontrak jam'iyah. Poin penting dalam kontrak itu menegaskan jika Ali tidak akan terlibat dalam politik praktis.

Warga nahdliyin tentu bersorak. Pemimpin yang dipilihnya tidak akan setengah hati mengurus nasib mereka. Pak Ali maschan bertekad untuk membesarkan NU ke depan dan menjaga netralitas PWNU untuk tidak terpeleset dalam politik.

Dari sisi momen, bisa dikatakan hari itu jadi langkah awal bagi Ali Maschan memantapkan diri sebagai seorang cendekiawan muslim. Sebagai tokoh sentral NU, meski bukan kultural, dia berhasil memposisikan diri sebagai orang yang dipercaya oleh nahdliyin.

Dengan posisi sebagai tokoh sosial di masyarakat, peran dia jadi lebih besar dan lebih bermanfaat. Ali bisa mengkritik arah pembangunan yang melenceng, memberikan arahan dan mengayomi masyarakat. Posisinya bisa jadi lebih tinggi dari seorang pimpinan partai politik.

Jelas, ini memunculkan potensi dukungan massa yang sangat besar bagi dirinya. Dan ini sangat-sangat memunculkan syahwat bagi partai politik untuk semakin memikat Ali.
Siapa yang tidak tergiur dengan posisi Ali?
Siapa yang tidak menganga melihat mulusnya dukungan nahdliyin pada Ali Maschan?
Siapa yang tidak tergoda untuk mengajak Ali meraup kekuasaan tertinggi di propinsi ini?

Bagaimana dengan Ali Maschan Moesa?

Secara monumental, keputusan Ali menandatangani kontrak jam'iyah membuat dirinya berharga 'mahal' dihadapan partai politik. Dia pun tidak mau gegabah untuk mengiyakan ajakan parpol setelah berhasil memenangkan ego politiknya meraup kekuasaan.

Tentu dia akan mencoreng muka dengan arang jika memutuskan bergabung dalam sirkus politik. Tentu akan sangat menyakiti hati nahdliyin jika akhirnya Ali berkhianat atas kontrak jam'iyah yang ditandatanganinya.

Ujung-ujungnya, tidak akan ada satupun warga nahdliyin akan mendukung dia. Jelas ini tidak akan menguntungkan parpol yang ingin menggandeng Ali. Jika tidak bisa mendulang suara, kenapa harus repot menggoda dan memohon untuk digandeng?

Tapi...dalam politik, apapun halal. Kawan jadi lawan dan lawan pun boleh dijadikan kawan asal menguntungkan. Jadi jika memang ada yang begitu haus akan kekuasaan dan berhasrat mendapatkannya lewat dukungan suara massa Ali Maschan, tentu harus merogoh kocek yang sangat-sangat-sangat dalam. Tidak hanya uang, tapi juga taktik dan strategi merayu Ali serta mengatasi jegalan kelompok lain yang tidak suka jika Ali akhirnya ikut dalam ingar-bingar pesta demokrasi rakyat Jatim.

Jadi...kita tunggu saja.

Eniwei...kalo pilgub 2008 nanti, sebaiknya kita harus ikutan coblos. Soalnya memilih seorang pemimpin pemerintahan, hukumnya wajib lho.






Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej