Skip to main content

Rok Mini dan Perempuan

Bunga Citra Lestari atau Agnes Monica mungkin akan berpikir seribu kali bila suatu ketika diundang dalam dengar pendapat di Komisi X DPR RI. Artis cantik itu punya kebiasaan memamerkan kakinya yang jenjang dengan menggunakan rok mini, yang kini tengah jadi bola panas para politikus di Senayan.

Kontroversi perihal rok mini diungkap oleh Ketua DPR RI Marzuki Alie, yang menceritakan Badan Kehormatan(BK) pelarangan penggunaan rok mini sebagai salah satu upaya memperbaiki citra DPR. Menurut Marzuki, citra DPR terbangun dengan berbagai aspek, yakni aspek kinerja dan tampilan yang berkenan bagi publik. Penggunaan pakaian seksi bagi perempuan yang wira-wiri di Senayan bisa mengganggu politikus laki-laki.

Benarkah?

Dalam penggalian sejarah masa lalu, para arkeolog kerap menemukan patung-patung perempuan yang mengenakan rok mini dilengkapi dengan berbagai aksesoris seperti gelang dan kalung.

Dalam tren busana, rok mini dipopulerkan kembali oleh Mary Quant, seorang desainer Inggris berpengaruh di tahun 1960-an. Dia mendesain sebuah gaun dengan rok yang pendeknya sekitar 12 cm hingga 14 cm di atas lutut. Soal ini, Quant mengatakan
rok mini bisa memudahkan perempuan untuk mengejar bus. Cukup masuk akal.

Desain ini semakin terkenal ketika model yang juga aktris asal Inggris, Jean Shrimpton mengenakan sebuah rok mini yang dibuat oleh Colin Rolfe, yang menggemparkan publik. Rok mini juga kerap diidentikkan sebagai sebuah kebebasan berekspresi sekaligus jadi salah satu simbol gerakan feminis. Sejumlah feminis dunia seperti Germaine Greer atau Gloria Marie Steinem dilaporkan sering menggunakan fashion item ini.

Penggunaan rok mini kebanyakan ditemui di negara-negara Barat dan juga sebagian Asia. Salah satu negara Asia yang perempuannya senang menggunakan rok mini adalah Jepang, termasuk siswi-siswinya. Seragam siswi Jepang yang paling populer adalah Skirts Sailor, yang biasanya dipadupadankan dengan kaus kaki putih atau biru laut.

Di Indonesia, rok mini juga diadopsi dalam seragam para siswi terutama yang sudah duduk di bangku SMA. Sejumlah artis tenar asal Indonesia juga menyukai fashion yang memamerkan keindahan kaki mereka.

Oh ya, saya teringat teman yang bercerita sebuah buku 'Ali Syariati : Biografi Politik Intelektual Revolusioner' karya Ali Rahnema.

Ali Syariati atau kadang ditulis Ali Shariati adalah sosiolog ternama asal Iran yang mengajar di Institut Hosseiniye Ershad. Lembaga yang melahirkan kader militan pemuda revolusioner Iran ini tidak mempermasalahkan pantas tidaknya pakaian mahasiswi, termasuk penggunaan rok mini.

Ali Rahnema menuliskan hal ini membuat ulama tradisional marah dan menuding perempuan tanpa cadar dan kerudung apalagi rok mini melapangkan jalan bagi kerendahan moral dan pelacuran. Ali Shariati yang mendengar kabar ini pun kehilangan kesabaran. Suatu ketika, dia didekati seseorang yang berkata: "Doktor Ali Syari’ati, Anda selalu berbicara mengenai Islam, namun apakah Anda sadar mengenai fakta bahwa para gadis yang datang ke sini dalam rok mini?”

Syari’ati pun meledak dan menjawab :“Mengapa Anda mempercakapkan omong kosong ini bagaimana pun juga jika mereka berpakaian mini mengapa Anda menatapnya?”


Tanggapan

Kalau membaca sejarahnya, tentu saja pernyataan Marzuki Alie itu bisa dikatakan semena-mena. Kita tahu sebuah peradaban dibangun oleh manusia berdasarkan nilai-nilai yang disepakati dan dijalankan bersama. Kalau menuduh rok mini sebagai penyebab hancurnya sebuah peradaban maka jelas itu tidak beradab dan membolak-balikkan logika. Tidak mungkin sebuah benda dianggap sebagai biang kebobrokan sebuah peradaban.

Perempuan, dengan pakaiannya, tentu senang dinilai seksi oleh lawan jenisnya bahkan oleh sesama jenisnya. Dalam perkembangannya, pakaian juga sebagai bentuk deklarasi sikap perempuan atas sebuah kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, terutama oleh kaum feminis.

Mode memiliki usia yang sama tuanya dengan prostitusi. Mode juga bagian dari kebudayaan. Dan sama halnya dengan prostitusi, maka tren fashion sulit untuk dikontrol apalagi dibatasi dan dilarang.

Di Indonesia, budaya patriarki banyak menempatkan perempuan dalam lorong gelap dan posisi subordinat. Padahal, perempuan memiliki posisi setara di masyarakat dan bukan budak yang mematuhi segala perintah laki-laki. Perempuan juga tidak harus bertindak seperti budak, patuh begitu saja dengan tudingan laki-laki.

Maka rok mini seharusnya bisa dilihat sebagai sebuah alat untuk menempatkan perempuan dalam posisi setara di masyarakat. Perempuan boleh mengenakan pakaian layak seperti keinginannya - bukan sekedar memenuhi pendapat laki.

Larangan yang dikeluarkan Marzuki Alie sebenarnya tidak esensial, namun memperparah stigma negatif pada perempuan. Saya yakin perempuan memiliki kesadaran sendiri mengenai apa yang baik dan buruk untuk dilakukan, termasuk cara mengenakan rok mini yang pantas. Lagipula, siapa yang percaya dengan taste tren mode seorang Marzuki Alie?

DPR memang punya hak untuk menata siapa dan bagaimana seseorang 'bertamu' di rumahnya memang wajar. Tetapi, menjadikan rok mini sebagai penyebab rusaknya moral para anggota DPR tentu sangat tidak bisa diterima. Masyarakat lebih tahu bagaimana massif-nya kerusakan yang dibuat anggota dewan terhormat lewat keputusan-keputusannya. Masyarakat tentu lebih suka memiliki sebuah aturan yang menyejahterakan rakyatnya ketimbang mengurusi urusan syahwat para anggota dewan.

Kalau memang ada yang merasa terasa syahwatnya tergelitik, saran saya lebih banyak menyebut nama Tuhan dan menundukkan kepala ketika bertemu dengan perempuan pemakai rok mini.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej