Maret tahun 2012 menjadi penanda bahwa saya sudah setahun tinggal di Jogja, sebuah kota yang sangat nyaman dengan keindahan Merapi yang tiada tara. Yeah...I love been living at here now.
Tahun lalu, om menelpon dan dengan kalem berkata tidak terkejut kalau saya sudah ada di kota ini. Tahun lalu, dia sudah wanti-wanti : "Jangan pindah-pindah lagi, menetaplah disana."
Tahun lalu, pernyataan itu sangat-sangat saya dukung dan semacam muncul ke-lebay-an saya tinggal di kota Jogja yang indah ini. Tapi,entah kenapa, setahun kemudian alias saat ini, saya sedang dalam ambang ingin menetap di Jogja atau mencari kota lain yang menarik untuk ditinggali. Mungkin untuk setahun gitu dan setahun berikutnya untuk pindah lagi di kota lain.
Oh tidak. Karier saya tidak buruk. Sangat baik malah.
Cuma entahlah....ada sebuah kegelisahan untuk menetap tinggal di suatu tempat.
Jangka waktu setahun, menjadi titik yang paling krusial bagi diri sendiri terutama terkait kebiasaan saya untuk terikat pada satu tempat. Di twitter, saya sudah bercicit-cuit bahwa sudah jadi kebiasaan kalau saya tidak pernah menetap di satu tempat lebih dari setahun. Sahabat dekat saya selalu bertanya pada saya: tahun ini kamu masih di Surabaya? Atau masih di Jakarta? Atau masih di Solo? Atau masih di Jgoja? Atau sudah di Papua? Wahooo...
Jujur, saya memang takut untuk tetap tinggal di Jogja. Itu semacam 'bukan diri sendiri' atau bahasa gampangnya: bukan gue banget! Kebiasaan saya sebagai seorang nomaden swasta - karena kepindahan saya selama ini menggunakan modus pekerjaan baru- terbangun sejak saya masih kecil. Setidaknya sudah tujuh kali saya keliling Indonesia - a.k.a Pulau Jawa - dengan berpindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan almarhum ayah dan juga saya sendiri.
Itu sudah jadi sebuah kebiasaan.
Dan rencana untuk menetap di Jogja itu membuat saya semacam gegar budaya.
Tentu bukan gegar budaya seperti yang dijelaskan oleh para sosiolog, meski sedikit banyak ada kemiripan dengan kondisi berbeda. Nih, aku kutip hasil googling yak : "Gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dengan lingkungan baru yang memiliki budaya berbeda dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama."
Nilai yang saya anut sedari kecil adalah berpindah tempat. Saya senang bertemu banyak orang. Saya senang menemukan berbagai budaya-budaya baru yang sungguh-sungguh WOW. Gegar budaya yang saya alami sekarang adalah kecemasan untuk menyesuaikan kebiasaan dari nomaden menjadi orang yang menetap. Sudah menetap. Tinggal di satu tempat.
Aa Gym pernah bilang terkadang kekhawatiran dan ketakutan kita terlalu berlebihan, padahal mudah ketika kita menjalani. Dia juga menasehati agar jangan mendramatisir suatu masalah. Bener sih! Bener banget malah. Tetapi ketika memikirkan huruf-huruf ini M-E-N-E-T-A-P, saya menjadi gelisah.
Gimana ya?
Apa geli-geli basah aja...
Maksudnya garuk bekas kurap di tengah hujan. Hehehhe
Jogja, 6 Maret 2012
Tahun lalu, om menelpon dan dengan kalem berkata tidak terkejut kalau saya sudah ada di kota ini. Tahun lalu, dia sudah wanti-wanti : "Jangan pindah-pindah lagi, menetaplah disana."
Tahun lalu, pernyataan itu sangat-sangat saya dukung dan semacam muncul ke-lebay-an saya tinggal di kota Jogja yang indah ini. Tapi,entah kenapa, setahun kemudian alias saat ini, saya sedang dalam ambang ingin menetap di Jogja atau mencari kota lain yang menarik untuk ditinggali. Mungkin untuk setahun gitu dan setahun berikutnya untuk pindah lagi di kota lain.
Oh tidak. Karier saya tidak buruk. Sangat baik malah.
Cuma entahlah....ada sebuah kegelisahan untuk menetap tinggal di suatu tempat.
Jangka waktu setahun, menjadi titik yang paling krusial bagi diri sendiri terutama terkait kebiasaan saya untuk terikat pada satu tempat. Di twitter, saya sudah bercicit-cuit bahwa sudah jadi kebiasaan kalau saya tidak pernah menetap di satu tempat lebih dari setahun. Sahabat dekat saya selalu bertanya pada saya: tahun ini kamu masih di Surabaya? Atau masih di Jakarta? Atau masih di Solo? Atau masih di Jgoja? Atau sudah di Papua? Wahooo...
Jujur, saya memang takut untuk tetap tinggal di Jogja. Itu semacam 'bukan diri sendiri' atau bahasa gampangnya: bukan gue banget! Kebiasaan saya sebagai seorang nomaden swasta - karena kepindahan saya selama ini menggunakan modus pekerjaan baru- terbangun sejak saya masih kecil. Setidaknya sudah tujuh kali saya keliling Indonesia - a.k.a Pulau Jawa - dengan berpindah-pindah rumah mengikuti pekerjaan almarhum ayah dan juga saya sendiri.
Itu sudah jadi sebuah kebiasaan.
Dan rencana untuk menetap di Jogja itu membuat saya semacam gegar budaya.
Tentu bukan gegar budaya seperti yang dijelaskan oleh para sosiolog, meski sedikit banyak ada kemiripan dengan kondisi berbeda. Nih, aku kutip hasil googling yak : "Gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam rangka penyesuaiannya dengan lingkungan baru yang memiliki budaya berbeda dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama."
Nilai yang saya anut sedari kecil adalah berpindah tempat. Saya senang bertemu banyak orang. Saya senang menemukan berbagai budaya-budaya baru yang sungguh-sungguh WOW. Gegar budaya yang saya alami sekarang adalah kecemasan untuk menyesuaikan kebiasaan dari nomaden menjadi orang yang menetap. Sudah menetap. Tinggal di satu tempat.
Aa Gym pernah bilang terkadang kekhawatiran dan ketakutan kita terlalu berlebihan, padahal mudah ketika kita menjalani. Dia juga menasehati agar jangan mendramatisir suatu masalah. Bener sih! Bener banget malah. Tetapi ketika memikirkan huruf-huruf ini M-E-N-E-T-A-P, saya menjadi gelisah.
Gimana ya?
Apa geli-geli basah aja...
Maksudnya garuk bekas kurap di tengah hujan. Hehehhe
Jogja, 6 Maret 2012
Comments