Skip to main content

Hujan Interupsi, Pemilihan Rektor UGM Deadlock

* Ketua MWA Pilih Ikut Rapat World Bank

JOGJA – Hujan interupsi mewarnai pelaksanaan tahap pertama pemilihan rektor Universitas Gadjah Mada periode 2012-2017. Protes seputar teknis pemberian suara menjadikan rapat pleno deadlock sehingga harus diundur 15 Maret mendatang.
Ketidakhadiran Ketua Majelis Wali Amanat Prof. Sofian Effendi yang lebih memilih ikut rapat dengan World Bank membuat rapat pleno gabungan memanas. Rapat tersebut diikuti oleh Majelis Guru Besar (MGB) dan anggota Senat Akademik (SA) yang jumlahnya mencapai 330 orang. Selain itu, juga hadir sejumlah peninjau baik dari internal UGM maupun undangan, Senin (12/3).
Sejumlah dekan dan guru besar di kampus masih mempermasalahkan SK MWA 01/2012 tentang tata cara penjaringan calon rektor. Mereka memprotes kebijakan Panitia Ad Hoc (PAH) Penjaringan Rektor UGM yang dianggap menggunakan aturan gado-gado yaitu menggunakan PP 153/2000 tentang BHMN namun saat yang bersamaan juga menerapkan PP 66/2010 tentang pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU). Mereka juga memprotes mekanisme pemilihan yang dibuat PAH. “Harusnya Ketua MWA itu hadir karena tata caranya seperti itu,” ujar Dekan Fakultas Teknik UGM, Dr. Tumiran.
Dia juga mempermasalahkan mekanisme pemilihan rektor yang tidak tepat karena PAH tidak mempertimbangkan pembobotan suara yang dimiliki. Untuk diketahui, anggota MGB hanya memiliki bobot satu orang satu suara sedangkan untuk SA, tiap anggota punya bobot tiga orang. Selain itu, Tumiran mempertanyakan cara memilih kandidat yaitu satu orang mencontreng lima orang secara bersamaan, atau satu orang memilih satu calon saja. “Saya bukannya protes tetapi aturan pemilihan harus jelas dan sosialisasi lagi supaya persiapan lebih baik,” katanya.
Selain itu, pelaksanaan pilrek yang sangat singkat membuat banyak pemilik suara terutama guru besar, kurang mengenal para carek. Alhasil, dia menuntut agar ada pengenalan dari para kandidat. Rapat pleno yang dipimpin Ketua SA Prof. Marsetyawan akhirnya mengabulkan adanya pengenalan para calon.
Akhirnya sidang pleno tersebut hanya diisi pengenalan ketujuh balon rektor yang lolos seleksi administratif. Mereka adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UGM Dr. Hartono; staf pengajar AKK-FKMUI Jakarta, Dr.dr. HM. Hafizurrachman, MPH; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Prof. Dr. Techn. Danang Parikesit, M.Sc. (Eng); Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Pendidikan Tinggi Prof. Ir. Suryo Hapsoro Tri Utomo, Ph.D. Selain itu Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof.Dr. Marsudi Triatmodjo; Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr; Dekan Fisipol UGM Prof. Dr. Pratikno.
Sementara itu, Ketua PAH UGM, Supama menjelaskan, penundaan sidang pleno disebabkan pendeknya jeda waktu antara pengumuman kandidat yang lolos seleksi administrasi dengan pemilihan carek tahap pertama. Hal ini menyebabkan banyak anggota Senat Akademik (SA) dan Majelis Guru Besar (MGB) tidak mengenali balon yang dipilihnya. “Karena itu akhirnya diputuskan untuk dijadwalkan ulang pemilihan lima calon rektor pada 15 Maret nanti,” jelasnya.
Penundaan ini juga digunakan oleh PAH untuk membuat prosedur tata cara pemilihan dan mengirimkan riwayat hidup masing-masing kandidat kepada SA dan MGB. Dengan demikian para pemilik suara mempunyai rujukan untuk memutuskan lima besar carek.
Dia mengatakan seleksi kedua untuk memilih tiga besar carek dijadwal ulang pada 19 Maret nanti. Namun untuk pemilihan rektor tetap dijadwalkan 22 Maret mendatang lewat pemilihan di MWA. “Mendikbud akan ikut memilih karena beliau punya 35 persen suara,” ujarnya.
Terkait ketidakhadiran Prof Sofian Effendi, Supama mengatakan hal itu seharusnya tidak dipermasalahkan karena bukan kewajiban. Dia mencontohkan peristiwa serupa pernah terjadi ketika Ketua MWA dijabat Prof. Amien Rais, yang tidak hadir dalam sidang pleno carek UGM periode 2007-2012 yang memenangkan Prof Ir Sudjarwadi.
Supama menambahkan, PAH UGM juga tetap akan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) 153 Tahun 2000 dan Anggaran Rumah Tangga (ART) UGM dalam pilrek kali ini. Selain itu merujuk PP 66 Tahun 2010 dan Permendiknas 24 Tahun 2010 untuk tambahan batasan usia rektor terpilih. “Memang PP 66/2010 dan permendiknas 24/2011 menjadi rujukan dalam pilrek kali ini,” imbuhnya.

Tony : Saya Tidak Ambisius Jadi Rektor

Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha UGM Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D saat ditemui di ruangannya mengatakan dirinya tidak ambisius untuk menduduki UGM 1. Hanya saja, keputusan MWA memberikan pembatasan umur maksimal 60 tahun dianggap terlalu vulgar. Saat ini, Atyanto sudah berusia 60 tahun 3 bulan. “Saya tidak tahu apa sebabnya kok menggunakan aturan gado-gado seperti itu. Mungkin ada yang merasa takut kalau saya maju, tapi saya tidak tahu dan tidak mau menuduh,” tuturnya.
Dia kembali mempersoalkan kebijakan MWA mendasarkan pelaksanaan pilrek atas PP 153/2000 dan anggaran rumah tangga (ART) UGM dan mencampuradukkan dengan PP 66/2010. Menurutnya, hal ini jelas-jelas melanggar fatwa Mendikbud agar UGM menggunakan PP 153/2000 dalam pemilihan rektor. “Gunakan peraturan yang tegas, jangan mencomot satu pasal yang menguntungkan salah satu pihak. Kok keliatannya selak kesusu,” katanya.
Toni, panggilan akrabnya mengatakan, memodifikasi aturan dibolehkan asal PAH mau mengubah ART UGM terlebih dahulu. Selain itu, penerapannya juga bukan untuk pilrek periode ini namun untuk pemilihan selanjutnya. “Saya tidak ambisius ingin jadi rektor, tetapi MWA jangan membuat sejarah yang salah. Tidak perlu mengubah aturan UGM seperti itu,” tegasnya.
Menanggapi kemungkinan dia akan mengajukan gugatan karena dirugikan oleh aturan MWA, Toni mengaku tidak ingin terburu-buru. Selain itu, dia memilih untuk tidak mau menambah polemik pelaksanaan pilrek tahun ini. “Silakan saja kalau saya jadi objek yang dirugikan, tetapi saya tidak akan menggugat,” tuturnya.
Adapun penundaan pemilihan yang sedianya digelar kemarin, Toni mengatakan kegagalan PAH tersebut menunjukkan keterburu-buruan dan tidak mempersiapkan diri. Namun dia menegaskan penundaan ini menimbulkan ongkos psikologis yang sangat tinggi. “Cost psikologisnya tinggi dan tidak bisa dihitung materi,” pungkasnya. (sit)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej