Skip to main content

Sudahkah kita Memanusiakan Manusia?

Saat bertemu dengan kawan lama, yang kita tanyakan tentulah apa kabar? sudah menikah? berapa anaknya?. Dilanjutkan, rumah dimana? pekerjaannya apa? naik kendaraan apa? kadang juga kita komentari pakaian teman kita itu. Yang kebablasan, biasanya berkomentar : "Tambah makmur aja ya kamu..." (artinya tambah gemuk).

Basa-basi seperti ini memang menjadi tradisi di lingkungan kita. Namun, lama kelamaan penilaian materi - walaupun sekilas- kini menjadi lebih penting ketimbang sisi dalam diri manusia itu sendiri. Materi dalam hal ini tentu saja tidak hanya dalam bentuk harta, tapi juga benda, riasan wajah, rambut - yang intinya adalah "tampilan" dari seseorang.

Jamaknya, semua tahu bisa saja penampilan menipu. Tapi ketika dunia materi terlalu menguasai kehidupan, manusia-manusia itu terkadang juga menjadi sebuah benda semata. Kita jadi sering terjebak dalam hal-hal yang keduniawian yang memang penting tetapi tidak terlalu substansial.

Memiliki gadget terbaru bukan haram, tapi apakah memang perlu atau hanya termakan iklan yang adugile maut rayuannya?
Membeli baju baru, hanya karena provokasi teman, kadang juga menjebak. (ah...saya sering terjebak kalau begitu)
Atau terkadang kita mati-matian berdiet untuk mendapatkan bentuk tubuh yang 'diterima' lingkungan. Padahal, kini banyak faktor yang memengaruhi pandangan lingkungan terutama konsumerisme dan kapitalisme.

Pembendaan terhadap manusia semacam itu - lagi-lagi - menjadikan manusia tidak lebih dari manekin tanpa punya sikap. Manusia dianggap tidak lagi sebagai mahluk yang memiliki otak atau kecerdasan untuk memilah, menyadari dan menjalani sebuah ritme kehidupan.

Sudah saatnya kita - sekali lagi - memanusiakan diri kita masing-masing.

Memberdayakan rasa. Kemanusiaan kita.

Menghadirkan kesadaran akan hidup.

Hubungan manusia tidak sekedar atas dasar kesamaan kepemilikan atas benda.
Manusia memiliki sesuatu yang sangat berharga. Kita memiliki tawa, canda, riang, tangis, pedih, perih. Kehangatan, kebersamaan, perpisahan, atau air mata.

Orang tidak seharusnya menilai orang lain dari bentuk fisiknya saja.
Kita punya kapasitas. Dan alangkah indahnya bila kapasitas itu dikedepankan ketimbang berat badan kita. Betul?

Materi penting, tetapi itu hanya sebuah kebendaan.
Bukan substansial.
Dan haruskah kita terjebak pada hal-hal yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar kita miliki?

Jawabannya Anda sendiri yang tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej