KOMERSIALISASI pendidikan menjadi kata yang cukup akrab beberapa tahun terakhir. Salah satu penyebabnya adalah UU Pendidikan Nasional yang di dalamnya mewajibkan pemerintah untuk membuat Rintisan Sekolah Bertarif eh…Berstandar Internasional ding. Tidak tanggung-tanggung, tiap kabupaten wajib ada satu RSBI.
Tapi saya mau melepaskan diri dari pro kontra itu.
Saya mau mengkritik biaya pendidikan untuk sekolah-sekolah swasta, terutama mereka yang memasang tarif gila-gilaan. Saya baru saja mendapatkan informasi bahwa sebuah sekolah swasta ternama di Jogja, mensyaratkan siswanya untuk melakukan her registrasi. Biayanya Rp 10 juta bagi siswa yang 'miskin' hingga Rp 15 juta per orang buat mereka yang dinyatakan kaya. *tepokjidat*
Biaya sebesar itu hanya untuk her registrasi! Bayangkan, diwajibkan untuk daftar ulang yang biayanya hampir setara untuk membeli laptop atau motor. Tentu ini agak tidak masuk akal, karena kan sesungguhnya dia sudah TERDAFTAR jadi siswa sekolah itu. Kenapa pula harus membayar lagi demi tetap tercatat sebagai murid disana??
Ada juga sebuah sekolah tingkat TK yang menarik biaya total sekitar Rp 20 juta per tahun. Sekolah itu baru saja didirikan, tapi entah mengapa orang tua berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Untuk apa anak TK bersekolah yang biayanya bisa untuk uang muka rumah tipe 36.
Saya yakin ada banyak sekolah swasta seperti itu.
Baiklah. Katakan saja, mereka memang mampu sehingga biaya seperti itu tidak memberatkan mereka. Tetapi apakah orang tua yang kaya raya itu sadar kalau mereka tengah dimanfaatkan oleh para kapitalis pendidikan?
Apa gunanya mereka membayar mahal kalau pada akhirnya anaknya menjadi manja karena segala fasilitas dan kemewahan disediakan oleh sekolah? Terasa sia-sia karena ternyata di sekolah tersebut nilai 4 masih diberi tepuk tangan, padahal siswa itu bisa saja mencapai nilai 9 atau 10 jika mau lebih berdisiplin. Mereka juga bisa lebih memiliki empati dan tidak menjadi ekslusif dari lingkungannya.
Lucunya, sekolah-sekolah swasta yang ternama itu tetap mau menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Lucunya lagi, sekolah-sekolah ini juga yang paling banyak mendapatkan bantuan honorarium guru tidak tetap (GTT)karena mereka paling suka mengontrak GTT.
Mungkin tidak semua sekolah swasta tidak seperti itu. Tapi saya yakin banyak yang mirip seperti itu.
Baiklah. Harus diakui institusi pendidikan Indonesia masih belum sebagus di Singapura, tapi toh itu tidak semua kan? Banyak sekolah yang benar-benar serius memberikan pendidikan pada siswa-siswinya dan menjadi rebutan pendaftar. Tidak main-main dalam mengajar dan memberikan fasilitas yang 'lebih murah' buat para orang kaya tersebut.
Sekolah swasta juga banyak yang tidak menerapkan pendidikan berbiaya tinggi tetapi kualitasnya juga tetap terjaga dengan baik. Mereka tetap menerapkan standar pengajaran dan disiplin tinggi. Dengan demikian, tidak sekedar menghasilkan siswa yang cerdas secara intelektual, namun juga berkarakter kuat dan memiliki empati terhadap sekitarnya.
Jadi, kenapa sekolah berbiaya mahal tetap eksis?
Ada beberapa faktor tentunya. Tapi saya percaya bahwa gengsi para orang tua menjadi faktor utama kenapa sekolah-sekolah itu tetap bisa bermunculan di tengah masyarakat. Kita tentu tidak akan menampik tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia begitu tinggi, yang membuat negara ini jadi market terbesar oleh para produsen produk apapun.
Terkadang, kita buta terhadap kualitas gara-gara produk itu diembel-embeli harga selangit. Kadang kita tidak peka bahwa itu hanya strategi mengeruk keuntungan, bahkan oleh pelaku pendidikan. (Tentu saja kita ingat bahwa orang Indonesia paling anti disebut miskin, tapi mengemis antri BLT)
Faktor kedua adalah munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekali celah menganga yang membuat kita tidak ingin 'hidup' dan belajar di negara ini. Faktor ini bisa jadi alat pembenar kelompok elit tersebut untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang super, atau dalam hal ini gila-gilaan mahalnya.
Memilih sekolah mahal memang sebuah pilihan bagi para orang tua masing-masing. Tapi alangkah baiknya semua pilihan itu bermanfaat, terutama bagi anak-anak kita.
Ah iya, jangan lupa bersedekah karena tidak akan membuat kita miskin (^_^)v
Tapi saya mau melepaskan diri dari pro kontra itu.
Saya mau mengkritik biaya pendidikan untuk sekolah-sekolah swasta, terutama mereka yang memasang tarif gila-gilaan. Saya baru saja mendapatkan informasi bahwa sebuah sekolah swasta ternama di Jogja, mensyaratkan siswanya untuk melakukan her registrasi. Biayanya Rp 10 juta bagi siswa yang 'miskin' hingga Rp 15 juta per orang buat mereka yang dinyatakan kaya. *tepokjidat*
Biaya sebesar itu hanya untuk her registrasi! Bayangkan, diwajibkan untuk daftar ulang yang biayanya hampir setara untuk membeli laptop atau motor. Tentu ini agak tidak masuk akal, karena kan sesungguhnya dia sudah TERDAFTAR jadi siswa sekolah itu. Kenapa pula harus membayar lagi demi tetap tercatat sebagai murid disana??
Ada juga sebuah sekolah tingkat TK yang menarik biaya total sekitar Rp 20 juta per tahun. Sekolah itu baru saja didirikan, tapi entah mengapa orang tua berbondong-bondong mendaftarkan anaknya ke sekolah tersebut. Untuk apa anak TK bersekolah yang biayanya bisa untuk uang muka rumah tipe 36.
Saya yakin ada banyak sekolah swasta seperti itu.
Baiklah. Katakan saja, mereka memang mampu sehingga biaya seperti itu tidak memberatkan mereka. Tetapi apakah orang tua yang kaya raya itu sadar kalau mereka tengah dimanfaatkan oleh para kapitalis pendidikan?
Apa gunanya mereka membayar mahal kalau pada akhirnya anaknya menjadi manja karena segala fasilitas dan kemewahan disediakan oleh sekolah? Terasa sia-sia karena ternyata di sekolah tersebut nilai 4 masih diberi tepuk tangan, padahal siswa itu bisa saja mencapai nilai 9 atau 10 jika mau lebih berdisiplin. Mereka juga bisa lebih memiliki empati dan tidak menjadi ekslusif dari lingkungannya.
Lucunya, sekolah-sekolah swasta yang ternama itu tetap mau menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Lucunya lagi, sekolah-sekolah ini juga yang paling banyak mendapatkan bantuan honorarium guru tidak tetap (GTT)karena mereka paling suka mengontrak GTT.
Mungkin tidak semua sekolah swasta tidak seperti itu. Tapi saya yakin banyak yang mirip seperti itu.
Baiklah. Harus diakui institusi pendidikan Indonesia masih belum sebagus di Singapura, tapi toh itu tidak semua kan? Banyak sekolah yang benar-benar serius memberikan pendidikan pada siswa-siswinya dan menjadi rebutan pendaftar. Tidak main-main dalam mengajar dan memberikan fasilitas yang 'lebih murah' buat para orang kaya tersebut.
Sekolah swasta juga banyak yang tidak menerapkan pendidikan berbiaya tinggi tetapi kualitasnya juga tetap terjaga dengan baik. Mereka tetap menerapkan standar pengajaran dan disiplin tinggi. Dengan demikian, tidak sekedar menghasilkan siswa yang cerdas secara intelektual, namun juga berkarakter kuat dan memiliki empati terhadap sekitarnya.
Jadi, kenapa sekolah berbiaya mahal tetap eksis?
Ada beberapa faktor tentunya. Tapi saya percaya bahwa gengsi para orang tua menjadi faktor utama kenapa sekolah-sekolah itu tetap bisa bermunculan di tengah masyarakat. Kita tentu tidak akan menampik tingkat konsumerisme masyarakat Indonesia begitu tinggi, yang membuat negara ini jadi market terbesar oleh para produsen produk apapun.
Terkadang, kita buta terhadap kualitas gara-gara produk itu diembel-embeli harga selangit. Kadang kita tidak peka bahwa itu hanya strategi mengeruk keuntungan, bahkan oleh pelaku pendidikan. (Tentu saja kita ingat bahwa orang Indonesia paling anti disebut miskin, tapi mengemis antri BLT)
Faktor kedua adalah munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekali celah menganga yang membuat kita tidak ingin 'hidup' dan belajar di negara ini. Faktor ini bisa jadi alat pembenar kelompok elit tersebut untuk memastikan anaknya mendapatkan pendidikan yang super, atau dalam hal ini gila-gilaan mahalnya.
Memilih sekolah mahal memang sebuah pilihan bagi para orang tua masing-masing. Tapi alangkah baiknya semua pilihan itu bermanfaat, terutama bagi anak-anak kita.
Ah iya, jangan lupa bersedekah karena tidak akan membuat kita miskin (^_^)v
Comments
Akar penyebab sudah anda kuak, lalu apa daftar solusi yang bisa anda berikan secara praktis ?
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan memang serasa disodori buah khuldi. Di satu sisi, melarang keberadaan sekolah swasta bertarif gila-gilaan sulit diterapkan karena partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan dijamin oleh undang-undang. Selain itu, orang tua juga tidak keberatan bila menyekolahkan anaknya di sekolah berbiaya tinggi.
Tapi, pemerintah juga tidak boleh berpangku tangan. Melihat sekolah swasta jadi favorit masyarakat meski berbiaya mahal, seharusnya memunculkan rasa malu. Anggaran dan program yang lebih serius perlu dilakukan agar tidak sekolah negeri tidak melulu diwarnai dengan kabar sekolah roboh atau kekurangan fasilitas pendidikan.
Memilih sekolah mahal memang sebuah pilihan bagi para orang tua masing-masing. Tapi alangkah baiknya semua pilihan itu diambil dengan bijak. Kemanfaatan yang diperoleh anak ketika bersekolah di sebuah institusi pendidikan harus lebih diperhatikan ketimbang gengsi semata.
Terima kasih
pemerintah duitnya lbih banyak kenapa sampe kalah dengan pihak swasta...yang salah siapa hayooo..!!
gurunya atau pejabatnya..?