Skip to main content

UNY Siap, UGM Pikir-pikir, APTISI Tolak Jurnal Ilmiah S1

JOGJA - Di tengah polemik surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tentang jurnal ilmiah bagi mahasiswa strata satu (S-1), Universitas Negeri Yogyakarta menyatakan siap menerapkan kebijakan tersebut. Di sisi lain, Universitas Gadjah Mada memilih berhati-hati sebelum memutuskan melaksanakan surat edaran itu.
Rektor UNY Prof. Rochmat Wahab optimistis, kampusnya bisa menerapkan kebijakan jurnal ilmiah pada Agustus 2012. Surat edaran Dikti sudah disosialisasikan kepada seluruh jajaran fakultas di UNY. ’’Saya optimistis bisa menerapkan kebijakan itu,’’ tandasnya kemarin (14/2).
Saat ini, pihaknya tengah mempersiapkan hal teknis seputar penyiapan penerbitan makalah milik mahasiswa. Rochmat mengatakan, surat dari Dikti tidak mensyaratkan secara rigid bahwa makalah mahasiswa harus muncul di jurnal dengan standar yang ketat.
UNY juga akan membentuk tim di tingkat rektor, fakultas hingga jurusan untuk membantu asistensi pembuatan jurnal bagi mahasiswa. Langkah lain yang dilakukan adalah memfasilitasi mahasiswa untuk meningkatkan penelitian maupun mengikuti seminar ilmiah.
’’Saya sudah meminta agar tiap fakultas menyiapkan jurnal untuk menampung karya ilmiah mahasiswa secepatnya. Apakah itu skripsi, penelitian atau karya dalam PIMNAS,’’ ujarnya.
Seperti diketahui, Ditjen Dikti mengeluarkan surat edaran nomor 152/E/T/2012 pada 27 Januari yang berisi mengenai publikasi jurnal ilmiah. Surat tersebut berisi tiga poin yang semuanya, mensyaratkan makalah, baik dari mahasiswa jenjang S-1 hingga doktor, yang diterbitkan di sebuah jurnal ilmiah dengan tingkatan tertentu.
Untuk lulus jenjang S1, makalah yang dihasilkan harus muncul di jurnal ilmiah. Untuk mahasiswa program magister, makalah itu harus terbit di jurnal ilmiah nasional yang diutamakan terakreditasi oleh Dikti. Sedangkan untuk lulus program doktor, diwajibkan menghasilkan makalah yang dimuat di jurnal internasional. Surat ini juga menyampaikan bahwa syarat kelulusan ini akan diberlakukan pada Agustus 2012 nanti.
Rektor UGM Prof.Sudjarwadi dikonfirmasi terpisah hanya berkomentar pendek seputar penerapan kebijakan ini dalam kelulusan mahasiswanya nanti. Dia mengatakan, UGM masih mempelajari sisi positif surat edaran tersebut. ’’Saat ini sedang berproses penciptaan sistem terbaik untuk tindak lanjutnya,’’ katanya lewat pesan singkat yang dikirimkan ke Radar Jogja.
Dia mengatakan, secara infrastruktur, UGM siap menerapkan kebijakan ini dengan syarat hanya diberlakukan untuk sebagian mahasiswa. Pihaknya baru bisa melaksanakan 100 persen surat edaran ini tahun depan. ’’Tahun ini sebagian (mahasiswa) dan 100 persen untuk tahun depan,’’ ujarnya.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Prof. Edy Suandi Hamid mengatakan, hasil rapat pleno yang menolak surat Dikti akan dikirimkan ke pemerintah. Pihaknya berharap ada upaya melakukan kajian ulang terhadap realisasi kebijakan tersebut. ’’Kami meminta ada pengkajian ulang yang tentu dampaknya penundaan,’’ ujarnya.
Dia menjelaskan, dari segi gagasan, surat Dikti baik untuk memberi nilai plus terhadap mahasiswa. Tetapi secara realitas, hal itu tidak mungkin dilaksanakan pada Agustus mendatang. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa di negara lain, syarat pemuatan makalah dalam jurnal ilmiah hanya untuk mahasiswa program magister dan doktoral.
Edy menambahkan, ada sejumlah kendala sebelum makalah mahasiswa dimasukkan dalam jurnal. Seperti rasio makalah yang diterbitkan lewat jurnal cetak atau online. Kendala lain yang perlu ditanyakan adalah tentang reviewer serta status perguruan tinggi yang belum memiliki jurnal. ’’Yang ada nanti malah muncul jurnal abal-abal,’’ katanya.
Rektor UII Jogjakarta itu mengatakan, pihaknya menginginkan pemerintah tidak asal main perintah kepada universitas. Dia berharap dilakukan pengkajian ulang yang melibatkan stakeholder.
Dalam waktu dekat, APTISI akan mengirimkan hasil rapat pleno ke Kemendikbud serta menjadwalkan pertemuan dengan Dirjen Dikti Djoko Suyanto pada Senin pekan depan. ’’Implikasinya tentu kami mendesak adanya penundaan,’’ tegasnya. (sit)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej