*Laras Susanti, Lulus FH UGM dengan IPK 4,00
Status aktivis kadang jadi kambing hitam jebloknya prestasi mahasiswa. Tetapi itu tidak terjadi pada Laras Susanti. Kegiatan non-akademisnya yang seabrek justru mendukung perkuliahan. Dalam wisuda 21 Februari mendatang, IPK-nya 4,00. Sempurna.
NANI MASHITA, Jogja
DIPERLUKAN berlembar-lembar kertas jika ingin mencatat seluruh kegiatan Laras Susanti. Ia pernah terlibat dalam Pelatihan Pemimpin Bangsa (PPB II) UGM, Sahabat Percepatan Peningkatan Mutu Pembelajaran (SP2MP) UGM angkatan 2007, anggota Indonesia Youth Parliament (2009-sekarang).
Di bidang organisasi, sejak 2010 hingga sekarang, masih menjabat sebagai Ketua Komunitas Hukum Tata Negara (HTN) FH UGM. Laras juga aktif di Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH UGM, pernah jadi staf ahli antikorupsi Departemen Kajian Strategis dan Menteri Kajian Strategis BEM KM UGM.
Laras juga kerap menjuarai aneka lomba, terutama yang berkait dengan statusnya sebagai mahasiswi FH UGM. Salah satunya adalah juara I Tim Debat Konstitusi diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI 2009 dan 2011, juara I Lomba Debat Antikorupsi Nasional oleh BEM UNS 2010.
Dia juga aktif mengikuti berbagai penelitian terutama menyangkut hukum. Perempuan muda ini juga menyabet sebagai Mahasiswa Berprestasi FH UGM 2010, juara II Mahasiswa Berprestasi UGM dalam rangka Dies Natalis UGM 2010. Saat ini, ia menjadi salah satu peneliti Pusat Studi Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM sejak 2010.
Aktivitasnya yang tinggi dalam mengikuti aneka perlombaan membuat dirinya sempat dicap sebagai aktivis lomba. ”Saya biarkan saja karena nanti akan tahu sendiri bahwa motivasinya bukan sekadar mendapat hadiah,” ujarnya saat ditemui di kantor Pukat kemarin (18/2).
Sebagai mahasiswa sangat disayangkan jika aktivitasnya hanya diisi dengan kegiatan kampus. Keberhasilan akademis yang ditunjukkan lewat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tetap harus ditunjang dengan kepekaan terhadap isu-isu publik dan ikut terjun di dalamnya. Hal itu adalah pembelajaran utuh sebagai mahasiswa.
”Kalau ditanya kenapa IPK saya bisa 4,00 karena saya cinta ilmu,” ujar alumnus SMAN 12 Jakarta.
Laras memang tidak mau terburu-buru lulus dari kampus, juga enggan untuk berlama-lama kuliah. Sebagai aktivis kampus, sejak semester awal IPK-nya sudah memuaskan yaitu 4,00. Di semester lima, IPK sempat turun gara-gara mata kuliah Perdata Internasional serta Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum. ”Saya dapat nilai B sehingga IPK 3,9. Karena merasa kurang maksimal, saya mengulang dua mata kuliah itu. Alhamdulillah akhirnya dapat A,” tuturnya.
Kengototannya untuk mendapatkan nilai terbaik didorong ucapan pamannya agar Laras menjadi orang yang mampu menaikkan derajat keluarga. Sebagai anak yang lahir dari keluarga broken home, dia nyaris tidak kuliah. Ibunya yang tidak lulus SD, memintanya untuk meneruskan usaha warung Tegal.
”Tapi Pakde tidak mengizinkan dan meminta agar saya kuliah demi memperbaiki nasib keluarga,” kisahnya.
Lewat sistem ujian masuk UGM, dia memilih Fakultas Hukum dan lolos. Seperti lazimnya mahasiswa dari kalangan kurang mampu, Laras kebingungan membayar uang masuk Rp 7 juta. Pamannya hanya montir.
Akhirnya diputuskan menggadaikan sertifikat tanah dan rumah pakde ke bank sehingga mendapat pinjaman Rp 10 juta. ”Beliau bilang, orang miskin harus bisa sekolah. Tidak boleh takut untuk cita-cita,” kenangnya.
Hal ini melecutnya untuk belajar dengan baik. Laras juga mendapatkan beasiswa biaya operasional pendidikan (BOP). Ia akhirnya mencari-cari informasi lain agar bisa mendapatkan beasiswa untuk menopang kebutuhannya sebagai mahasiswa.
”Terakhir, saya mendapatkan beasiswa Dompet Dhuafa,” ujarnya.
Lalu, bagaimana menyeimbangkan kegiatan sebagai aktivis dengan kegiatan kuliah? Dia mengatakan, sebelum mengikuti kegiatan luar kampus, dia menghitung jumlah presensi. Dengan demikian, risiko terkena ”semprit” dosen bisa dihindari.
Laras mengaku terbantu Kasi Akademik FH UGM Damari Pranowo. ”Pak Damari selalu mengingatkan saya untuk tidak sering bolos,” katanya sembari tertawa.
Meski memiliki banyak kegiatan sambil mengejar nilai akademis, dirinya tetaplah mahasiswi biasa. ”Saya sering hang out bareng teman-teman, ngegosip, nongkrong, dan ketawa-ketiwi enggak jelas gitu,” katanya.
Usai lulus kuliah, Laras sudah merancang untuk memburu gelar master dan mencoba melamar sebagai dosen. Di tengah carut marut dunia hukum dan peradilan, dia optimistis akan terjadi perubahan yang membutuhkan jalan panjang. Disinilah peran akademisi untuk mencetak generasi penerus yang memiliki idealisme penegakan hukum.
Dia mencontohkan, kasus korupsi yang marak terungkap kadang memunculkan pesimisme. Namun, banyak kelompok masyarakat tetap bersemangat melawan tindakan korup dan saat ini menjadi gerakan sipil yang sifatnya masal.
”Ini perlawanan jangka panjang dan menunjukkan masih banyak harapan di negara ini,” pungkas penggemar mantan wali kota Jogja, Herry Zudianto, itu. (*/tya)
Status aktivis kadang jadi kambing hitam jebloknya prestasi mahasiswa. Tetapi itu tidak terjadi pada Laras Susanti. Kegiatan non-akademisnya yang seabrek justru mendukung perkuliahan. Dalam wisuda 21 Februari mendatang, IPK-nya 4,00. Sempurna.
NANI MASHITA, Jogja
DIPERLUKAN berlembar-lembar kertas jika ingin mencatat seluruh kegiatan Laras Susanti. Ia pernah terlibat dalam Pelatihan Pemimpin Bangsa (PPB II) UGM, Sahabat Percepatan Peningkatan Mutu Pembelajaran (SP2MP) UGM angkatan 2007, anggota Indonesia Youth Parliament (2009-sekarang).
Di bidang organisasi, sejak 2010 hingga sekarang, masih menjabat sebagai Ketua Komunitas Hukum Tata Negara (HTN) FH UGM. Laras juga aktif di Dewan Mahasiswa (Dema) Justicia FH UGM, pernah jadi staf ahli antikorupsi Departemen Kajian Strategis dan Menteri Kajian Strategis BEM KM UGM.
Laras juga kerap menjuarai aneka lomba, terutama yang berkait dengan statusnya sebagai mahasiswi FH UGM. Salah satunya adalah juara I Tim Debat Konstitusi diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi RI 2009 dan 2011, juara I Lomba Debat Antikorupsi Nasional oleh BEM UNS 2010.
Dia juga aktif mengikuti berbagai penelitian terutama menyangkut hukum. Perempuan muda ini juga menyabet sebagai Mahasiswa Berprestasi FH UGM 2010, juara II Mahasiswa Berprestasi UGM dalam rangka Dies Natalis UGM 2010. Saat ini, ia menjadi salah satu peneliti Pusat Studi Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM sejak 2010.
Aktivitasnya yang tinggi dalam mengikuti aneka perlombaan membuat dirinya sempat dicap sebagai aktivis lomba. ”Saya biarkan saja karena nanti akan tahu sendiri bahwa motivasinya bukan sekadar mendapat hadiah,” ujarnya saat ditemui di kantor Pukat kemarin (18/2).
Sebagai mahasiswa sangat disayangkan jika aktivitasnya hanya diisi dengan kegiatan kampus. Keberhasilan akademis yang ditunjukkan lewat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tetap harus ditunjang dengan kepekaan terhadap isu-isu publik dan ikut terjun di dalamnya. Hal itu adalah pembelajaran utuh sebagai mahasiswa.
”Kalau ditanya kenapa IPK saya bisa 4,00 karena saya cinta ilmu,” ujar alumnus SMAN 12 Jakarta.
Laras memang tidak mau terburu-buru lulus dari kampus, juga enggan untuk berlama-lama kuliah. Sebagai aktivis kampus, sejak semester awal IPK-nya sudah memuaskan yaitu 4,00. Di semester lima, IPK sempat turun gara-gara mata kuliah Perdata Internasional serta Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum. ”Saya dapat nilai B sehingga IPK 3,9. Karena merasa kurang maksimal, saya mengulang dua mata kuliah itu. Alhamdulillah akhirnya dapat A,” tuturnya.
Kengototannya untuk mendapatkan nilai terbaik didorong ucapan pamannya agar Laras menjadi orang yang mampu menaikkan derajat keluarga. Sebagai anak yang lahir dari keluarga broken home, dia nyaris tidak kuliah. Ibunya yang tidak lulus SD, memintanya untuk meneruskan usaha warung Tegal.
”Tapi Pakde tidak mengizinkan dan meminta agar saya kuliah demi memperbaiki nasib keluarga,” kisahnya.
Lewat sistem ujian masuk UGM, dia memilih Fakultas Hukum dan lolos. Seperti lazimnya mahasiswa dari kalangan kurang mampu, Laras kebingungan membayar uang masuk Rp 7 juta. Pamannya hanya montir.
Akhirnya diputuskan menggadaikan sertifikat tanah dan rumah pakde ke bank sehingga mendapat pinjaman Rp 10 juta. ”Beliau bilang, orang miskin harus bisa sekolah. Tidak boleh takut untuk cita-cita,” kenangnya.
Hal ini melecutnya untuk belajar dengan baik. Laras juga mendapatkan beasiswa biaya operasional pendidikan (BOP). Ia akhirnya mencari-cari informasi lain agar bisa mendapatkan beasiswa untuk menopang kebutuhannya sebagai mahasiswa.
”Terakhir, saya mendapatkan beasiswa Dompet Dhuafa,” ujarnya.
Lalu, bagaimana menyeimbangkan kegiatan sebagai aktivis dengan kegiatan kuliah? Dia mengatakan, sebelum mengikuti kegiatan luar kampus, dia menghitung jumlah presensi. Dengan demikian, risiko terkena ”semprit” dosen bisa dihindari.
Laras mengaku terbantu Kasi Akademik FH UGM Damari Pranowo. ”Pak Damari selalu mengingatkan saya untuk tidak sering bolos,” katanya sembari tertawa.
Meski memiliki banyak kegiatan sambil mengejar nilai akademis, dirinya tetaplah mahasiswi biasa. ”Saya sering hang out bareng teman-teman, ngegosip, nongkrong, dan ketawa-ketiwi enggak jelas gitu,” katanya.
Usai lulus kuliah, Laras sudah merancang untuk memburu gelar master dan mencoba melamar sebagai dosen. Di tengah carut marut dunia hukum dan peradilan, dia optimistis akan terjadi perubahan yang membutuhkan jalan panjang. Disinilah peran akademisi untuk mencetak generasi penerus yang memiliki idealisme penegakan hukum.
Dia mencontohkan, kasus korupsi yang marak terungkap kadang memunculkan pesimisme. Namun, banyak kelompok masyarakat tetap bersemangat melawan tindakan korup dan saat ini menjadi gerakan sipil yang sifatnya masal.
”Ini perlawanan jangka panjang dan menunjukkan masih banyak harapan di negara ini,” pungkas penggemar mantan wali kota Jogja, Herry Zudianto, itu. (*/tya)
Comments
> salam kenal
by: TAHU Indonesia