Skip to main content

Rokok, Pembunuh nomor 1

Siapa yang tidak mengenal rokok? Semua orang, apalagi di Indonesia, tentu sangat mengenal dengan produk satu ini. Di Jatim, setidaknya ada dua daerah penghasil rokok terbesar yaitu PT Gudang Garam Tbk di Kediri dan PT HM Sampoerna yang berkedudukan di Surabaya.
Dua pabrik ini menghidupi ribuan pekerja dan menghasilkan jutaan lintingan rokok tiap harinya.
Saya tidak akan mengkritik, melarang, apalagi menghujat perokok. Silakan saja. Itu pilihan Anda. Tapi rokok adalah alat untuk membunuh dua orang sekaligus, perokok aktif dan perokok pasif. Ingat itu.

Saya mau menulis mengenai hasil sejumlah riset yang saya kutip dari Quit Tobacco Indonesia. Dalam paparan yang disampaikan pada publik beberapa waktu lalu di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Koordinator Quit Tobacco Indonesia Yayi Prabandari menyebut rokok menyebabkan SATU KEMATIAN TIAP ENAM DETIK.

Total ada 5,4 juta jiwa meninggal pada tahun 2005 karena merokok dan 100 juta jiwa selama abad ke-20.Jika dibiarkan maka diperkirakan ada kematian sebanyak 8 juta jiwa pada tahun 2030 dan menjadi 1 milyar jiwa selama abad ke-21. Pada tahun 2030, diperkirakan 80% kematian terkait tembakau dan terjadi di negara berkembang.

Penelitian WHO (2000) malah lebih seram, pada 2030 diperkirakan ada 10 juta orang yang MATI gara-gara merokok dan 70 persen di antaranya terjadi di negara berkembang. Indonesia termasuk negara berkembang loh...meski sudah lebih dari 60 tahun usianya.

WHO (2008) juga memaparkan sepuluh negara tertinggi konsumsi rokoknya yaitu Cina, India, INDONESIA, Federasi Rusia, Amerika Serikat, Jepang, Brazil, Bangladesh, Jerman dan Turki.

Adapun dari komposisi usia perokok, laki-laki berusia lebih sama dengan 15 tahun yang merokok: 63,1 %. Wanita dewasa berusia lebih sama dengan 15 tahun yang merokok: 4,5 %. Khusus untuk perokok laki-laki, angka ini cenderung bertambah tiap tahun yaitu 53 persen di tahun 1995, 2001 sebanyak 61 persen laki-laki adalah perokok dan 63 persen di tahun 2004 jumlah perokok laki-laki sebanyak 63 persen. Dan pada tahun 2004, jumlah perokok di Indonesia mencapai 50 juta orang.


Yayi mengatakan data terakhir menunjukkan total perokok aktif di Indonesia mencapai 70% dari total penduduk, atau 141,44 juta orang. Dari angka itu, 30% nya berasal dari ekonomi lemah, bahkan penduduk paling miskin. Huff!!!

6 dari 10 rumah tangga di Indonesia mempunyai pengeluaran untuk merokok. Dan mereka merokok di dalam rumah, yang artinya dampak rokok ini juga dirasakan oleh perokok pasif. Bayangkan kalau di dalam rumah itu terdapat bayi, balita dan anak-anak. Bisa bayangkan????


Dan kalo melihat duit yang dibakar demi membeli rokok, Yayi mengutip Pencapaian MDG’s dan Konsumsi Rokok (Adioetomo, Kiting, Ahsan, Aninditya, Wiyono, 2010). Dengan jumlah penduduk 15 tahun ke atas sebanyak 163 juta dan prevalensi merokok sebesar 34 persen dengan Jumlah konsumsi rokok sebanyak 11,38 batang/hari(Riskesdas Depkes 2007).

Dengan demikian, pengeluarkan rokok penduduk Indonesia dalam 1 tahun kalau dihitung adalah 163jt x 34% x 11,38 x 365 hari x Rp 400 = Rp 92 trilyun!!! Itu masih pakai asumsi harga rokok Rp 400 per batang, setahuku sekarang Rp 500 per batang bahkan ada yang Rp 600 per batang.

Coba bayangkan. Boros banget bakar duit.

Selain boros, biaya kesakitan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat juga luar biasa besar. Mengutip data Indonesia Report Card, pada tahun 2005, biaya kesehatan yang dikeluarkan Indonesia karena terkait dengan tembakau mencapai 18,1 milyar US Dolar!!!!Atau 5,1 kali lipat pendapat negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama. Apa saja penyakitnya? Silakan googling. Akan banyak 'pilihan' penyakit yang jadi favorit penyebab kematian.

Sedangkan penghasilan pemerintah dari cukai tembakau HANYA Rp55 triliun di tahun 2009 atau 6,4% dari total pendapatan Pemerintah.

So...so....so....? Lebih banyak mana biaya yang dikeluarkan karena sakit atau pendapatan pemerintah?

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej