Skip to main content

Anak Penjual Bakso yang Lulus Cumlaude

Sri Harmini
Anak Penjual Bakso yang Lulus Cumlaude

Sempat bingung dengan kelanjutan pendidikannya karena kesehatan ayah drop, Sri Hatmini malah lulus dengan cumlaude. Putri sulung pedagang bakso keliling itu bahkan sempat mengecap Swedia untuk riset mengenai energi biokonversi dari limbah kelapa sawit.

NANI MASHITA, Jogja

SEPASANG muda-mudi tengah melihat daftar minuman ketika menemui mereka. Keduanya terlihat mesra dengan lirikan yang sesekali dilempar satu sama lain. ”Kami baru saja menikah. Jadi paket lengkap ijabsah dan ijazah,” kata Mini, panggilan akrabnya, dengan wajah malu-malu.
Sang suami, Yahya Farqadain, hanya tertawa ketika ditanya mengenai pernikahan yang ternyata baru berlangsung 19 November. Pria alumnus Jurusan Elektro Fakultas Teknik UGM itu membenarkan kalau keduanya baru saja melangsungkan pernikahan.
”Tadinya ingin menikah setelah Mini diwisuda. Ternyata, wisudanya molor dan keduluan tanggal nikah,” katanya tertawa kecil.
Pernikahan ini memang melengkapi prestasi akademik Mini selama empat tahun terakhir di jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Kedua orangtuanya yang pedagang bakso, Supar (50) dan Sriyati (48), sudah menyiapkan tabungan bagi Mini agar bisa meneruskan sekolah ke jenjang perguruan tinggi.
Sayangnya, tiga bulan menjelang ujian masuk, ayah Mini divonis menderita hernia dan terpaksa operasi dengan biaya cukup besar. Melihat kondisi ayahnya, alumnus SMAN 3 Jogja itu pasrah bila tidak bisa kuliah lagi.
”Seluruh keluarga, termasuk saya, meminta agar ayah dioperasi agar segera sembuh. Alhamdulillah sudah sembuh,” kenangnya.

Setelah operasi sang ayah, masalah kuliah sendiri menjadi hal yang dipikirkan perempuan kelahiran Klaten, 15 September 1988 ini. Beruntung, saat itu pihak sekolah mengetahui kondisinya. Salah seorang guru menyarankan agar dia mengikuti Penjaringan Bibit Unggul Tidak Mampu (PBUTM) di UGM.
Awalnya tidak percaya diri, karena selama sekolah tidak pernah masuk ranking. Meski begitu, guru BP bernama Untung tetap menyemangati untuk mendaftar. Saat pengumuman via internet, tidak disangka, namanya masuk sebagai salah satu penerima PBUTM.
”Waktu bayar sewa warnet, tangan saya ndredeg dan penjaga warnet juga sempat bingung waktu saya cerita diterima,” ujarnya.
Karena mendapatkan PBUTM, Mini bisa ikut pendidikan di UGM selama delapan semester secara cuma-cuma. Dia juga tidak diharuskan membayar sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA), sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), maupun biaya operasional pendidikan (BOP). Namun, target Mini untuk lulus selama empat tahun molor dua bulan.
Penyebabnya, perempuan berkerudung itu berambisi membuat skripsi dengan melakukan riset di Swedia setelah bertemu dosen yang memiliki kerja sama penelitian di negeri tersebut.
Dia mengatakan, dosen bernama Ria Millati itu membuka open recruitment bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian. Karena tertarik, Mini pun mendaftar dan ternyata lolos seleksi.
”Saya di Swedia selama enam bulan, Januari hingga Juni 2011,” jelasnya.
Disana, dia menjadi salah satu bagian sebuah proyek besar tentang biokonversi dari limbah industri kelapa sawit berupa tandan kosong kelapa sawit yang diubah menjadi bio-ethanol. Mini mendapat bagian melakukan penelitian terkait pre-treatment atas limbah tersebut. Selama di Swedia, dia dan dua temannya meneliti di Chalmers University of Technology di Gothenburg, Swedia.
Salah satu pengalaman yang berkesan bagi perempuan yang tinggal di Minomartani itu adalah melihat salju secara langsung. Dia juga mendapatkan cerita bahwa di Swedia, tingkat siswa yang meneruskan ke perguruan tinggi sangat rendah, karena taraf ekonomi masyarakat setempat sangat tinggi. ”Mereka lulus SMA sudah dapat pekerjaan dengan gaji mencukupi,” terangnya.
Keputusan melakukan riset ke Swedia berimbas pada molornya rencana studi yang seharusnya tuntas empat tahun. Alasannya, kesempatan tidak datang dua kali. Orang tua bahkan sempat keberatan karena dianggap terlalu jauh. Tapi karena dia selalu bercerita ingin melakukan riset ke Swedia, akhirnya orang tua memberi restu.
”Saya ingin melihat dunia. Saya tidak tahu apakah punya kesempatan lagi melakukan riset ke luar negeri kalau melewatkan kesempatan itu. Jadi gambling saja,” ujar sulung dua bersaudara itu.
Ternyata harapannya menjadi kenyataan. Ia pun terbang ke Swedia. Orang tua tidak keberatan membiayai pendidikannya yang molor satu semester, meski Mini juga menyertakan dana tambahan PBUTM-nya untuk ”menambal” kuliah.
Pengorbanannya juga tidak sia-sia. Hari ini, Mini diwisuda dengan predikat cumlaude karena mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,7. Prestasi ini membawa dia makan siang bareng Rektor UGM Prof Sudjarwadi dan penerima PBUTM lain, kemarin.
Mini tetap bercita-cita meneruskan kuliah S2 di luar negeri. ”Sekarang lagi cari beasiswa. Kalau tidak dapat, ya minta beasiswa suami,” katanya tertawa riang. (*/tya)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej