Bulir-bulir air mata itu perlahan turun dari ujung mata.
Lama kelamaan, bulir-bulir itu mengaris deras ibarat air dam yang dibuka penutupnya.
Hujan yang turun hari itu bahkan kalah deras dengan kesedihannya yang berturut-turut turun tanpa tertahan.
Bahunya tergugu, tangannya memeluk kakinya.
Tangis di pinggir jalan itu sama sekali tak terduga. Tak ada orang yang tahu. Tak ada orang yang mendengar.
Tak ada pula yang memeluk perempuan itu.
Tua.
Ringkih.
Rapuh.
Tidak ada yang tahu tangis perempuan itu menanti maut.
Malaikat bertudung hitam itu telah dilihatnya dalam tiga hari terakhir. Awalnya dia takut mati.
Tapi kini dia takut mati karena meninggalkan seorang gadis kecil, yang dipungut dari sampah, dan dianggapnya cucu.
Dia menangis dengan sakit tertahan.
Malaikat itu sudah tidak bisa ditawar. Tapi tubuhnya mengejan. Menolak jiwa pergi darinya.
Tapi tangis itu tiba-tiba diam.
Sunyi.
Perempuan itu mati dengan sisa mutiara bening di pipinya.
Jogja, 19 November 2011
Lama kelamaan, bulir-bulir itu mengaris deras ibarat air dam yang dibuka penutupnya.
Hujan yang turun hari itu bahkan kalah deras dengan kesedihannya yang berturut-turut turun tanpa tertahan.
Bahunya tergugu, tangannya memeluk kakinya.
Tangis di pinggir jalan itu sama sekali tak terduga. Tak ada orang yang tahu. Tak ada orang yang mendengar.
Tak ada pula yang memeluk perempuan itu.
Tua.
Ringkih.
Rapuh.
Tidak ada yang tahu tangis perempuan itu menanti maut.
Malaikat bertudung hitam itu telah dilihatnya dalam tiga hari terakhir. Awalnya dia takut mati.
Tapi kini dia takut mati karena meninggalkan seorang gadis kecil, yang dipungut dari sampah, dan dianggapnya cucu.
Dia menangis dengan sakit tertahan.
Malaikat itu sudah tidak bisa ditawar. Tapi tubuhnya mengejan. Menolak jiwa pergi darinya.
Tapi tangis itu tiba-tiba diam.
Sunyi.
Perempuan itu mati dengan sisa mutiara bening di pipinya.
Jogja, 19 November 2011
Comments