Skip to main content

Legawa, Meski Ditangisi Ibu dan Adik

Menyandang nama besar sebagai putra tokoh reformasi Amien Rais ternyata belum cukup bagi Ahmad Hanafi Rais untuk memenangi pemilihan wali kota Jogjakarta. Dalam pilkada yang dihelat Minggu lalu (25/9) itu, dia kalah oleh incumbent. Meski kalah, Hanafi merasa puas.

NANI MASHITA, Jogja

SUARA gemericik air terdengar dari sebuah kolam ikan di salah satu sudut pendapa. Itulah rumah keluarga Amien Rais di Pandeyan Sari Blok II/15, Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Jogja. Di dinding geboknya, ada jam dinding bergambar Hanafi mengenakan belangkon. Juga, ada televisi 29 inci.

Di pendapa tersebut, ada satu set kursi kulit berukir berwarna merah marun. Di sisi pekarangan, tumbuh beberapa pohon mangga yang berbuah. Suara kicau burung yang bersahut-sahutan menambah alami rumah tersebut.

Pagi itu, sekitar pukul 09.00, Hanafi Rais yang tinggal di rumah tersebut sudah menerima tamu yang kebanyakan adalah pendukungnya dalam pemilihan wali kota Jogja. "Sebentar, saya hendak mandi dulu," kata Hanafi kepada Jogja Raya (JPNN Group). Saat ditemui kali pertama itu, dia mengenakan kaus putih polos dan celana hitam.

Selain para pendukung Hanafi, pagi itu, rumah keluarga Amien Rais ramai oleh hilir mudik orang yang membawa aneka makanan maupun air mineral. Sudah beberapa hari ini rumah tersebut memang lebih sibuk daripada biasanya. "Oh iya, ini sedang bersiap-siap untuk pernikahan adik Mas Hanafi," tutur drg Astriani Karnaningrum, istri Hanafi Rais, Kamis (29/9).

Adik Hanafi yang dimaksud Astriani adalah Mumtaz Rais, putra ketiga Amien Rais yang kini menjadi anggota Komisi XI DPR, yang akan menikah dalam waktu dekat. Gadis pujaan yang dipersunting Mumtaz bernama Futri Zulya Savitri yang tak lain adalah putri Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Menurut rencana, resepsi pernikahan dilangsungkan di Jakarta International Expo, Kemayoran, 8 Oktober mendatang.

Setengah jam kemudian, Hanafi keluar dari dalam rumah dengan penampilan rapi. Hari itu, dia berencana bertakziah kepada salah satu kerabatnya yang meninggal. "Siang nanti takziah dulu, baru hadir dalam rapat penetapan wali kota terpilih KPU," ujar pria kelahiran Chicago, AS, 10 September 1979, tersebut.

Hanafi terlihat santai ketika ditanya soal kekalahannya dalam coblosan pemilihan wali kota (pilwali) Jogja, 25 September lalu. Padahal, sebelumnya, tim sukses Hanafi membuat hitung-hitungan di atas kertas bahwa Hanafi bakal memenangi pilwali setidaknya 52 persen suara.

Kalkulasi tersebut didapatkan dari konfigurasi partai politik pendukung Hanafi. Selain PAN, pasangan Hanafi Rais-Tri Harjun Ismaji (Fitri) didukung Partai Demokrat, PPP, Gerindra, serta sembilan partai nonparlemen yang tergabung dalam Koalisi Mataram. "Mungkin karena kekuatan doa, sehingga saya tidak terlalu menangisi kekalahan ini," kata putra sulung Amien Rais itu.

Dia juga hanya tertawa kecil ketika perkiraan perolehan suara tim suksesnya ternyata meleset. "Saya dosen politik. Karena itu, saya paham betul bahwa suara legislatif tidak berbanding lurus dalam pilkada. Bisa naik atau turun," kata pengajar di Fisipol UGM yang semasa kampanye nonaktif dari tugasnya mengajar itu.

Dari hasil rekapitulasi KPU Kota Jogja, pasangan Fitri berada di peringkat kedua dengan perolehan 84.122 suara (41,9 persen). Sementara itu, pasangan incumbent, Haryadi Suyuti (sebelumnya wakil wali kota) dan Imam Priyono, memperoleh 97.047 suara (48,3 persen). Urutan ketiga ditempati Zuhrif Hudaya-Aulia Reza Bastian (Zulia) yang memperoleh 19.557 suara (9,7 persen).

Hanafi malah mengaku terkejut perolehan suaranya mencapai 42 persen, tidak terlalu jauh dari perolehan suara pasangan pemenang, Haryadi Suyuti-Imam Priyono (Hati) yang mendapat sekitar 48 persen suara. Sebab, dalam polling internal terakhir, dia diprediksi hanya mendapat 30 persen suara pemilih. "Saya kaget juga karena ternyata banyak masyarakat Jogja yang menerima saya," ujar pria 32 tahun tersebut.

Dengan perolehan yang bisa mengimbangi perolehan suara pemenang itu, dia menilai kekalahannya merupakan sebuah kemenangan melawan politik kotor dan antidemokrasi. Hanafi mengungkapkan, terlalu banyak black campaign, SMS gelap, maupun intimidasi yang dialamatkan kepada para pendukungnya selama ini.

Tidak hanya kepada tim sukses dan pendukungnya, Hanafi menyatakan mendapat serangan kampanye hitam terkait dengan statusnya sebagai anak Amien Rais, tokoh reformasi Indonesia. Sempat beredar SMS bahwa keterlibatan Hanafi sebagai calon wali kota merupakan ambisi Amien Rais.

Namun, hal tersebut ditampik keras oleh Hanafi. Sebab, selama ini, ayahnya tidak pernah terlibat dalam segala hal terkait dengan pencalonan dirinya sebagai wali kota, termasuk menjadi juru kampanye di hadapan ribuan warga.

Satu-satunya keterlibatan Amien yang terdeteksi publik saat kampanye terbuka terakhir kubu Hanafi adalah kampanye di halaman Stadion Mandala Krida. Amien juga tidak menjadi juru kampanye. Saat itu, dia hadir sebagai undangan.

Apalagi, hadir pula sejumlah pengurus DPP PAN dan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto. "Pak Amien dalam pilwali ini adalah orang tua yang saya mintai restu dan doa. Hanya itu," tegas Hanafi.

Dia ingin membuktikan bahwa dirinya memiliki modal politik yang kuat untuk terjun dalam kancah perpolitikan tanpa harus membawa-bawa nama bapaknya. Dia menilai niat itu berhasil. Yakni, terbukti dengan perolehan suara dukungan yang mencapai 42 persen.

"Saya kira, orang Jogja paham betul dan cerdas bahwa saya, Hanafi Rais, orang yang otonom dan independen, bukan semata-mata anaknya Amien Rais," ujarnya.

Penuturan menarik disampaikan Astriani Karnaningrum, istri Hanafi. Dalam pertemuan keluarga Amien yang membahas kekalahan Hanafi pada Selasa (27/9), ibunda Hanafi, Kusnasriyati Sri Rahayu, dan adik Hanafi, Hanum Rais, menangis tersedu-sedu atas kekalahan putra sulungnya itu. "Beliau bersedih karena menyesalkan ketika kami berjuang dengan cara yang baik, ternyata Allah berkehendak lain," ujarnya.

Namun, begitu melihat Hanafi dan istrinya tampak tegar menghadapi kekalahan tersebut, Amien, istri, maupun adik Hanafi akhirnya juga tegar. Astri yang mengaku sempat deg-degan takut salah coblos menuturkan, hasil quick count KPU membuat perasaannya enteng. "Saya malah semakin bangga terhadap suami karena dia tetap cool, calm, and confident," ungkapnya lantas tertawa lepas.

Astri juga bercerita, dua anaknya, Azka Rais, 6, dan Faqih Rais, 23 bulan, sudah tahu ayahnya maju menjadi calon wali kota. Awalnya, Azka yang kini bersekolah di SD Budi Mulya Seturan itu sempat memprotes. "Abi (sebutan untuk Hanafi, Red), kenapa kok ngurusi orang lain" Jadi sibuk," ucap Astri menirukan protes anaknya.

Dokter gigi lulusan UGM itu mengungkapkan, protes tersebut dijawab lewat komunikasi yang terus-menerus dilakukan. Akhirnya, dua putra mereka menyadari bahwa quality time bersama orang tuanya terpaksa berkurang drastis karena kesibukan dalam pilwali. Bahkan, keduanya menjadi penyemangat Hanafi saat kampanye. "Kalau abi-nya hendak keluar rumah, Faqih selalu mengucapkan "Abi, semangat!?," katanya.

Lantas, berapa dana yang sudah dikeluarkan Hanafi untuk maju menjadi calon wali kota Jogja? Hanafi menyatakan menggunakan semua harta yang telah dilaporkan ke KPU Jogja. Nilainya sekitar satu setengah miliar rupiah. Menurut dia, nilai tersebut cukup realistis untuk kepentingan kampanye sebuah kota seperti Jogja. "Saya kira, angka tersebut proporsional," terangnya.

Apakah akan maju terus dalam pilwali lima tahun mendatang" Hanafi sempat diam sejenak. "Apa ya" saya belum berpikir sejauh itu," ujarnya.

Dia hanya bersedia bercerita, dalam waktu dekat, dirinya mengoptimalkan Hanafi Rais Center (HRC) yang selama ini hanya menjadi lembaga penelitian. Nanti, HRC dikembangkan menjadi sebuah forum pemberdayaan masyarakat maupun pendampingan ekonomi mikro masyarakat.

Menurut dia, ide pengembangan tersebut berasal dari komunitas yang selama ini mendukung dirinya. "Soal maju kembali dalam pilkada lima tahun lagi, itu terserah dukungan masyarakat nanti seperti apa," ujarnya. (jpnn/c5/kum)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej...