Skip to main content

Pelajar SMA, mau jadi pemimpin atau preman??

Hari ini, Senin (19/9) kita, atau paling enggak saya, dikejutkan dengan berita pengeroyokan pelajar SMAN 6 Jakarta terhadap sekelompok wartawan yang menggelar aksi damai. Wartawan berdemo karena sebelumnya wartawan Trans7 mengalami penganiayaan saat melakukan aktivitas jurnalistik.
Reporter Oktaviardi mengambil gambar saat anak-anak SMA 70 dan SMA 6 tawuran di sekitar kawasan Blok M pada Jumat (16/9), pukul 18.30 WIB. Oktaviardi kemudian dikeroyok oleh sejumlah siswa berseragam tersebut. Tak hanya dikeroyok, kaset rekaman berisi tawuran antar pelajar itu pun ikut dirampas.

Dari yang saya baca di media online, pewarta-pewarta ini mengambil gambar sekolah. Saya berpendapat mereka merekam untuk mengambil ilustrasi dari aksi yang mereka lakukan dan kirimkan ke redaksi. Tidak diduga, ternyata pelajar-pelajar ini beringas dan memukul para wartawan. Jumlahnya mencapai 300 orang pelajar. Polisi bahkan harus mengeluarkan tembakan peringatan sebanyak tiga kali untuk membubarkan aksi tersebut.

Empat orang terluka.
Keempat orang tersebut yaitu fotografer Kompas.com, Banar Fil Ardhi, dan juru kamera TransTV, Doni Fabrianus, yang mengalami patah tulang pada jari kelingkingnya. Selain itu, Panca Syurkani dari Media Indonesia dan Yudistiro Paranoto, pewarta foto dari koran Seputar Indonesia.

http://www.republika.co.id/berita/regional/jabodetabek/11/09/19/lrrjmc-wartawan-foto-dipukul-dengan-batu-bata

Yang parah, ternyata ada pelaku pengeroyokan yang berkicau riang gembira karena telah berhasil menghajar para wartawan. Di media sosial, twitter, kicauan ini membuat emosi tuips dan menjadikan dia ‘buronan’. Diduga salah satu pelaku kekerasan itu bernama Gilang Perdana mengaku lewat akun twitter @slaayyyyy. Akun ini sudah berkali-kali berganti nama, namun tetap saja terpantau oleh para pengguna twitter.

Dia berkicau: “Puas gua mukulin wartawan di jalur sampe bonjok2 emosi bet gua t**,”

Pelaku lain adalah akun bernama @danoe12 milik Danu Ismail yang berkicau “Mampus siapa suruh cari masalah sama Gorasix.”

http://megapolitan.kompas.com/read/2011/09/19/18540047/Selain.Gilang.Danu.Juga.Caci.Wartawan.di.Twitter

___________

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merilis selama lima bulan di tahun 2011 hingga Mei, terjadi 23 kasus tindak kekerasan kepada wartawan. Beberapa tahun lalu, pelaku kekerasan banyak dilakukan ormas. Namun saat ini banyak dilakukan oleh masyarakat, preman dan aparat kepolisian.

http://www.suarapembaruan.com/nasional/dalam-lima-bulan-terjadi-23-kasus-kekerasan-pada-wartawan/7520

Dan peristiwa pengeroyokan oleh pelajar SMAN 6 menunjukkan betapa pekerjaan jurnalis itu sangat berbahaya bagi wartawan itu sendiri. Marabahaya tidak hanya dihadapi ketika meliput di medan perang, tetapi juga di lingkungan yang selama ini mendapatkan persepsi aman yaitu Sekolah.

Tentu ini sangat memprihatinkan.

Kenapa sekolah bisa menjadi tempat berkumpulnya siswa-siswa nakal dan memiliki naluri membunuh? Ya mereka memang bukan membunuh dalam arti sebenarnya, tetapi mereka telah ‘membunuh’ apa yang disebut oleh orang-orang tua zaman dahulu: Nurani.

Kemana siswa menempatkan nurani mereka?
Mengapa mereka mengabaikan hati nurani mereka?

Dan yang sangat disesalkan ternyata aksi tawuran itu sudah dibiasakan oleh para alumnusnya. Mereka punya jadwal tetap untuk tawuran dengan siswa SMAN 70 : Jumat sore

megapolitan.kompas.com/read/2011/09/19/17055668/Alumnus.Tawuran.Ditradisikan.di.SMA.6
Kenapa siswa itu begitu sangat terlatih untuk mempraktikkan kekerasan di usia mereka yang begitu muda. SMAN 6 bahkan punya jadwal tetap untuk tawuran. Itu masuk dalam kurikulum sekolah?
Ooh…ooh…ooh….
Dimanakah peran sekolah? Guru-guru? Kepala sekolah??

Ketidakberdayaan sekolah mengendalikan siswanya tentu patut dipertanyakan karena sekolah memiliki sistem yang disesuaikan dengan kurikulum. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa, tawuran bukanlah kurikulum pendidikan kita. Atau jangan-jangan, sekolah membuat sistem yang seolah-olah patuh terhadap panduan kurikulum nasional namun di luar itu membentuk sebuah sistem tersendiri yang menciptakan generasi preman?

Saya ingin mencantumkan dugaan terakhir saya: jangan-jangan para guru itu juga preman di tempat dia berasal? (ah…ini dugaan yang sangat naif dan terlalu kejam).

ah..ah..ah….dan ternyata sekolah ini mengajukan diri sebagai RSBI –> http://news.okezone.com/read/2011/09/19/338/504525/sma-6-terancam-gagal-raih-status-rsbi

hahahaha…..whoaaa… speechless.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej