Skip to main content

Dulu dan Sekarang

Dulu dan sekarang..........

Dulu hampir tiap tahun, aku ganti tempat bekerja. Sebagian besar dikarenakan perusahaan tempat aku kerja tidak sehat sehingga harus tutup. Kebanyakan sih, sebelum aku gak punya pekerjaan udah capcus duluan gitu deh...
Yang terakhir aku tinggal minggat adalah Surabaya Post, media (yang pernah) besar itu kini tinggal kenangan. Banyak kenangan indah selama dua tahun setengaha aku bergabung dengan koran itu. Salah satu yang membuat aku betah, jalinan persaudaraan yang sangat kuat di antara kami. Bahkan, kami punya gang The Changkrukrez yang anggotanya terdiri dari kru lantai 3 alias redaksi.
Kalau mau nongkrong, mesti rame-rame
Buka puasa, makan rame-rame
Ngopi, pasti rame-rame
Pokoknya gak rame kalau gak ada The Changkrukrez :D


Itu dulu.........

Sekarang....
Sempat gabung dengan kru Elshinta Surabaya sebagai produser, aku akhirnya berlabuh ke Jogja. Kali ini aku gabung bareng Jawa Pos yang mana aku ngisi sisipan halaman Jogja Raya. Bergabungnya aku ke JP ini memantik gojekan banyak kawan coz dulu aku pernah bilang malas untuk gabung dengan media ini.

Aneh sebenarnya kalau aku alergi gabung dengan JP mengingat riwayat semua pamanku bergabung bahkan jadi Pemred JP. Kwkwkwkw.....mungkin karena cerita-cerita 'sadis' di gedung biru itu menjadikan aku enggan. Apalagi waktu di Sby Post, aku mendapat sebuah persahabatan dan persaudaraan yang sangat lekat.

Tapiiiiiiiiii.........aku akhirnya pilih ke cetak yaitu Jogjaraya. Salah satu pertimbangan utama kenapa aku mau gabung ama ini koran adalah lokasinya yang ada di Jogja. Haiyaaah.....siapa juga yang gak mau tinggal disini?



Dari kecil tinggal di kota satelit ibukota : Bekasi : aku akrab dengan segala macam kemacetan dan keruwetan khas kota metropolis. Beranjak dewasa, aku kuliah di Unair di Surabaya - yang juga sebuah kota metropolitan. sempat minggat ke Solo, balik ke Surabaya, minggat lagi ke Jakarta, balik ke Surabaya lagi daaaaannn sekarang terdampar disini.

Hmm...sebenarnya tak ingin aku pindah-pindah kerja. Jadi dengan restu ibunda, Insya Allah aku awet disini di Jogja Raya.

Bismillah.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej