Skip to main content

Kisah sebuah Kompor

Kisah ini bermula sekitar dua tahun lalu, ketika aku ditugaskan di Jakarta.

Saat itu, aku ngebayangin hidup bakal sangat berantakan mengingat Ibukota Indonesia itu begitu carut marut. Penuh dengan aneka kejahatan, kemacetan dan keserakahan orang-orang yang tinggal didalamnya. Pokoknya ngeri!!!

Meski begitu, tetap saja aku penasaran untuk tinggal di Jakarta karena sebenarnya aku tumbuh dewasa di daerah dekat Jakarta: Bekasi. Sedikit banyak, aku sudah akrab dan terbiasa dengan kota Jakarta. Yang tidak terbiasa, perubahan setelah hampir sepuluh tahun tak lagi 'menyelami' kota itu.

Maka....berbekal restu ibu dan modal nekat, aku berangkat ke Jakarta. Kebetulan, disana ada banyak teman yang bisa dimintai tolong. Kebetulan pula, ada adik sepupu yang sudah tinggal disana lebih dulu selama setahun. Setelah beberapa kali pertimbangan, maka aku memilih minta bantuan sepupuku itu.

Karena informasi kepindahanku cukup mendadak, sepupuku sempat kelabakan nyariin kos-kosan. Ya..beruntunglah ada kamar kosong di sebuah rumah, dekat kos-kosannya di kawasan Bendungan Hilir. Tempatnya tidak aku sukai, apalagi ada suami dari si mbak penunggu rumah. Tapi aku gak menolak dan bertekad mencari kos lain bulan depan.

Dan saya dapatkan!!! Sebuah rumah tua, tetap di daerah Benhil, di belakang BRI Tower Sudirman. Kamarnya hanya dibatasi dengan sebuah papan saja. Kamarnya juga tidak terlalu luas. Bahkan, ada beberapa penunggu di rumah itu, kalau malam lampunya juga temaram.

Tapi tau apa yang menarik?

Di tengah kondisi yang lusuh seperti itu, ada sebuah sudut di rumah itu yang membuat aku makserrrr : Sebuah dapur, lengkap dengan meja makan dan kompor gas plus peralatan masak!!

I am hillarious!

Terserah Anda berpendapat. Tapi aku histeris mengetahui ada kompor disana, bahkan tidak perlu patungan beli. Dan tiba-tiba aku berseru dalam hati: "Aku harus beli kompor kalau kembali ke Surabaya!"

Maka, selama di Jakarta memasak adalah salah satu cara menghabiskan penat. Ya memang sih gak sehebat temen-temenku yang udah ahli memasak apalagi koki masak kenamaan. Yaaa...masak yang ringan-ringan saja kek tempe di kasih kecap, sayur sop, ayam bakar, nasi goreng atau goreng pisang gitu lah.

Dan meski tidak sampai setahun di Jakarta, kenangan 'menikmati' dapur kos sangat berbekas di hati. Termasuk tekad untuk membeli sebuah kompor.

yap...yap...sebuah kompor gas.
Awalnya pengen beli yang dua tungku.
Tapi setelah pikir-pikir kayaknya cukup satu tungku sajalah.
Maka diputuskan untuk beli kompor satu tungku.

Dan itu tertanam di dalam hatiku sekiaaan bulan. Dua tahun berlalu, aku masih belum berani membeli kompor. Apalagi ibuku galak nian kalau mendengar aku pengen beli kompor dan ngotot menyuruhku beli makanan di warung saja. Entah apa sebabnya. pamali kali ya perempuan belum menikah beli kompor sendiri. hahhahah....


Maka berbulan-bulan keinginan itu aku pendam dalam-dalam, tekan jauh-jauh untuk tidak membeli kompor. Tapi gimana ya, sudah watakku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Semakin dipendam, makin kuat untuk membeli kompor. Kwkwkwk....oops.. itu sikap buruk sih. hehehe.

Saat di Jogja, kos-kosanku ternyata memiliki dapur. Tapi ternyataaaaa, kompor tersebut milik masing-masing penghuni dan hanya AKU yang tidak punya. huh...rasanya tersiksa sekali kalau melihat temanku tiap akhir pekan memotong-motong sayuran. Teringat dulu di Jakarta, tiap akhir pekan adalah memasak bagi seluruh penghuni kos. Aku ngiler....

Keinginan itu aku ungkapkan lagi pada seorang kawan, namanya Denni. Aku gak tau nama lengkapnya, tapi dia memberi saran yang tidak jauh beda dengan apa yang dikatakan ibuku. "Beli saja makanan di warung, toh harga makanan di Jogja tidak mahal seperti di Jakarta."

Aku menunda lagi untuk membeli kompor.

Tapiiiiiiiiiii......pertahananku jebol juga.
Sudah tak tahaaaan untuk memendam hasrat sejak dua tahun lalu.

Apalagi, aku nekad untuk belok ke sebuah toko yang memang menjual perlengkapan rumah tangga. Aih...aih...aku ngiler melihat deretan kompor-kompor yang dipajang oleh si penjual. Ah..ah..ah...sayangnya, kompor yang aku idamkan tidak ada.

Tapi tekad aku udah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Memiliki kompor harus segera direalisasikan setelah selama dua tahun aku merenung. *jiaaahhh...muntah.

"Baiklah...karena kompor inceran abis, maka aku beli perlengkapannya aja deh," batinku.
Maka saya beli selang dan regulator di toko itu. Harganya sekitar Rp 72 ribuan gitu deh. Aku gak ngerti bagus apa enggak, tapi kata orang "ngecap" itu pasti nomor satu. hahahaha........

Aku seneng banget. Padahal baru punya selang dan regulator. Tiap malam aku pandangi benda itu. Aku membayangkan bagaimana perasaanku kalo punya kompor beneran. Mungkin seperti orang jatuh cinta kali ya....

Aku telah bertutur...hokyaaa.
Cemungudh....

Comments

Mashita Mashita said…
UPDATE :::
Sekarang aku udah punya kompor sendiri. hiihhihi....senang sekali lah.
vonny ramali said…
Kirimin masakannya ya mbayu :p
Mashita Mashita said…
pastilah...lewat FB ya. hahahah

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej