Skip to main content

Blingsatan Gara-gara Buku Sekolah Elektronik

Duh, Ruwetnya Beli Buku Sekolah
Ruwet dan membingungkan. Itu mungkin yang kini ada di benak masing-masing orang tua siswa yang anaknya masuk sekolah tahun ini. Betapa tidak, salah satu kebutuhan pokok sekolah, buku, hingga kini belum jelas kapan ada di tangan para siswa.
Oleh Nani Mashita
YATI kalang kabut saat putrinya murung lantaran tak kunjung punya buku pelajaran. Perempuan ini blingsatan ke sana kemari. Mulai pinjam buku bekas milik anak temannya, sampai bergerilya ke toko-toko yang spesial menjual buku lawas. Buku baru? Yang ini sudah dia lacak lebih awal. “Semua sudah saya lakukan,” katanya.
Yang dialami Yati juga dialami sejumlah ibu-ibu lain. Mereka sibuk mencari buku untuk anaknya karena sekolah mulai mengerem alias tidak lagi menjual buku pelajaran.
Yati yang putrinya bersekolah di sebuah sekolah negeri di kawasan Tandes menuturkan, dirinya terpaksa merogoh uang Rp 149.700 untuk membeli 11 judul buku yang digunakan untuk sekolah. Bila biasanya dijual oleh guru atau sekolah, maka kini buku-buku tersebut dikoordinir oleh seorang ‘makelar’ yang kabarnya ditunjuk oleh komite sekolah. ”Tapi selisihnya lumayan mbak lebih mahal Rp 5 ribu ketimbang beli di luar,” keluhnya.
Ditanya soal buku sekolah elektronik (BSe) yang bisa dikoordinir sekolah, Yati menggeleng. Dia bingung. Padahal semua kalang kabut ini gara-gara Bse. Perempuan ini tidak tahu sebab sekolah tempat putri semata wayangnya belajar tidak pernah bercerita ada BSe yang awalnya bertujuan untuk memberi keringanan bagi orang tua siswa tersebut. ”Wah, saya ndak tau tuh,” ujarnya singkat.
Sebagai orang tua, Yati merasa bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, proses belajar sudah mulai dan upaya membeli buku di toko buku, termasuk penjual buku bekas, pun mentah. Alasannya, para penjual buku bekas juga kehabisan stok diserbu pembeli.
”Daripada ndak bisa mengikuti pelajaran ya terpaksa beli ke koordinator itu. Lagian kalau bukunya tidak sama dengan siswa lain, saya khawatir anak saya jadi ngambek,” ujarnya, pasrah.

Sekolah tampaknya memang tak mampu menjawab kegelisahan Yati dan para orang tua siswa lain. Alasannya mereka terbentur SE Kepala Dinas Pendidikan Nomor 422/3210/436/5.6/2008 perihal pungutan dan keperluan sekolah. Secara garis besar, surat tersebut mengatur larangan melakukan pungutan kebutuhan yang sudah dibiayai oleh APBD Surabaya. Kedua, larangan penarikan biaya pendidikan atau SPP untuk tingkat SD, SMP, SMKN, dan SMAN RSBI. Ketiga mengatur soal partisipasi masyarakat dan terakhir pengadaan buku.
Perihal pengadaan buku, diatur tegas jika sekolah dilarang untuk menjual buku pada walimurid. Namun sekolah diperbolehkan meminta biaya penggandaan buku-buku unduhan yang di-download dari situs resmi Departemen Pendidikan dan Nasional (Depdiknas) yaitu www.bse.depdiknas.go.id.
Namun kenyataannya, sekolah-sekolah sulit mengunduh buku yang hak ciptanya sudah dibeli Depdiknas tersebut. Dinas Pendidikan Kota (Dispendik) Surabaya pun mencoba membantu dengan membuat mirror lewat situs www.dispendik.sby.go.id. Berdasarkan surat dari Depdiknas, dinas menyebarkan standar harga buku yang digandakan sekolah. Agar lebih murah, sekolah diimbau untuk menggandakan secara kolektif.
Meski sudah dipermudah, tetap saja sekolah enggan untuk men-download buku sekolah elektronik tersebut. Jumlah buku yang belum lengkap dan ketidakjelasan cara menagih biaya penggandaan juga membuat kepala sekolah was-was.
” ”Saya juga masih belum tahu bagaimana dan darimana biaya penggandaan nanti diperoleh, dan apa nanti tidak akan melanggar aturan yang ada,” ujar Kepala SMPN 39 Surabaya, Sunarjo.
Kepala SDN Babatan I, Fatchur Rachman, juga mengeluhkan mahalnya biaya penggandaan BSe. Untuk mengunduh BSe, dia baru berhasil men-download selama empat jam hanya untuk empat judul. “Belum lagi biaya mengeprint yang per lembarnya Rp 500 untuk cetak hitam putih. Sedangkan untuk cetak halaman berwarna, sekolah harus merogoh Rp 1.000 per lembarnya. Padahal per buku minimal 90 halaman,” jelasnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, Rasiyo, mengatakan, masyarakat harus maklum dengan ruwetnya BSe tersebut. Pasalnya, program ini merupakan reformasi perbukuan di Indonesia untuk yang pertama kali digelar. ”Namanya juga baru pertama kali, jadi masih ada masalah. Jadi harus sabar dan sambil jalan akan diperbaiki,” tuturnya.
Tujuan ini boleh dikatakan sangat baik. Namun dalam perjalanan awalnya, program ini pun tersendat-sendat dan malah membuat jutaan wali murid pusing tujuh keliling. Bukannya memperoleh pilihan yang lebih banyak, sejumlah orang tua pun memilih pasrah apa kata sekolah. ”Wis embuhlah, terserah bukune opo sing penting anakku sekolah,” ujar Yati setengah menyerah. (*).
-----------------------------------------------------
Buku Bekas Ludes, Pedagang Panen
Koordinator Paguyuban Pedagang Buku Kampoeng Ilmu, Budi Santoso membenarkan toko buku bekas saat ini diserbu pembeli . Dua minggu pasca-penerimaan siswa baru (PSB) berakhir, lokasi baru berjualan pedagang eks-Jalan Semarang tersebut dibanjiri orang tua siswa.
”Kalau hari libur atau tanggal merah, yang datang bisa sampai empat ribu pengunjung,” tutur Budi.
Tingginya jumlah orang tua yang mencari buku bekas untuk anaknya, membuat para pedagang kewalahan. Pasalnya, sejak direlokasi Pemerintah Kota Surabaya empat bulan lalu, omzet penjualan sempat menurun drastis. Budi mengaku per hari, pedagang hanya bisa menjual satu-dua buku saja. ”Paling pendapatan kami hanya Rp 40 ribu saja saat itu,” ujarnya.
Dengan modal cekak, pedagang tak punya ruang luas untuk bisa kulakan buku bekas ke penerbit. Apalagi, pihak penerbit menolak untuk menerima retur sehingga potensi kerugian pedagang buku bekas sangat besar. Karena itu mereka harus berpikir dua kali jika ingin men-stok banyak buku karena untung yang dipetik pun sangat tipis. Alhasil, ketika panen besar seperti ini, stok buku para pedagang tipis.
Padahal, tak hanya pembeli dari Surabaya saja yang membeli buku bekas di lokasi ini. Banyak juga pembeli luar kota yang didominasi tengkulak, datang dari Bojonegoro, Lamongan, Madura, Tulungagung, Jember, Probolinggo, hingga Tuban yang mengunjungi areal ini. Tak hanya membeli satu dua buku, mereka membeli dalam jumlah banyak. Saat ini omzet pedagang naik menjadi Rp 30 juta hingga Rp 40 juta per hari.
”Tengkulak itu kalau beli rata-rata sampai 5 karung sehari. Padahal mereka sudah bolak-balik. Jadi pembeli Surabaya ya harus cepet kalau enggak ya kehabisan,” terangnya.

Namun, dia meyakinkan kalau pedagang akan bisa memenuhi kebutuhan para orang tua. Momen agustusan tahun ini, dijadikan jeda untuk menarik napas pedagang untuk bisa kulakan buku-buku. Pedagang pun optimis panen ini akan berlangsung hingga dua bulan mendatang. ”Kami akan stok buku segera untuk memenuhi kebutuhan orang tua,” ujarnya setengah berpromosi. (k2)

----

Ada Apa Dispendik-Penerbit?
DI tengah kesimpangsiuran aturan soal mengunduh buku dan terhambatnya distribusi buku, Pemkot Surabaya lewat Dispendik, tiba-tiba saja mencoba “bermain api”. Usai mengeluarkan SE Kepala Dinas Nomor 422/3210/436/5.6/2008 perihal pungutan dan keperluan sekolah, eh Dinas malah mengambil sikap yang membingungkan.
Dalam pertemuan kepala sekolah dasar se-Surabaya di Aula SMKN 6, Selasa (5/8) sore, terungkap adanya indikasi Kepala Dispendik Surabaya, Sahudi, mengarahkan sekolah untuk membeli ke salah satu penerbit, JP Books. Bahkan dalam pertemuan tersebut pihak penerbit sempat melakukan presentasi buku yang diproduksi, harga jual sekaligus formulir pembelian buku.
Dalam pengarahannya pada para kepala sekolah, Sahudi mengatakan penerbit ini menawarkan harga yang lebih murah ketimbang penerbit lain. Dia menambahkan saat ini kegiatan belajar mengajar sudah mulai namun sekolah masih kesulitan untuk buku ajar. ”Ini ada penjelasan dari JP books yang sudah menggandakan BSe dan boleh dijual di sekolah. Tetapi tidak boleh menjual melewati harga tertinggi eceran,” tuturnya.
Sahudi menjelaskan, saat ini pihak sekolah kebingungan karena adanya larangan menjual buku. Murid pun bingung buku apa yang harus dibeli sebagai buku bahan ajar. BSe sebenarnya boleh disimpan di komputer siswa namun akan sulit karena tidak semua siswa punya alat ini. Proses mengunduh BSe yang dilakukan sekolah pun gagal karena lamanya waktu yang dihabiskan untuk men-download dan biaya yang tidak murah untuk melakukan penggandaan.
Mantan Kepala SMAN 15 tersebut menegaskan BSe merupakan satu-satunya buku yang boleh dijual di sekolah. Hambatan yang paling nyata adalah biaya penggandaan cukup mahal jika digandakan secara mandiri. ”Saya tidak mewajibkan tapi kalau mau silakan langsung memesan,” katanya.
Sekolah sendiri tampaknya tak keberatan dengan alternatif yang ditawarkan JP Books lewat Dispendik Surabaya itu. Menurut Kepala SDN Siwalankerto 1 Heri Sudono dan Kepala SDN Siwalankerto 4 Sugeng Mulyono, pihaknya tak keberatan. ”Ya pesan aja,” katanya.
Marketing Senior JP Books Titis Rustono menambahkan pihaknya tidak mengambil untung besar karena buku yang dijual sudah ditetapkan oleh pemerintah. Inisiatif pihaknya untuk mengunduh BSe tersebut semata-mata untuk membantu sekolah dan para guru. Harga yang ditetapkan pemerintah dianggap terlalu rendah sehingga penerbit juga enggan men-download buku tersebut. ”Soalnya spesifikasi buku tidak sesuai dengan harga jual dari pemerintah,” jelasnya.
Tapi tampaknya sekolah dan Dispendik Surabaya harus benar-benar teliti dalam menerima tawaran dari JP Books tersebut. Berdasarkan Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2008 tanggal 18 April 2008 ada perbedaan harga yang cukup signifikan. Surat lampiran ini memang masih memuat 37 judul buku. Oleh penerbit, judul buku itu diganti dengan judul lain tapi beberapa di antaranya dengan pengarang sama.
Sebagai contoh, dalam lampiran Bahasa Indonesia Membuatku Cerdas untuk kelas 4 SD karangan Dra. Farika. Dengan dimensi sama, buku itu diganti dengan judul Cinta Berbahasa Indonesia dengan bandrol Rp 8.064 per buku. Ada juga buku-buku yang masih belum terdaftar dalam surat lampiran tersebut dipasang sebagai buku yang bisa dipesan. (k2).
Harga Penerbit Vs HET Depdiknas
---------------------------------------------------------------
Salinan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 13 tahun 2008 tanggal 18 April 2008 dibandingkan harga jual JP Books yang diedarkan dalam pertemuan Kepala SD.
Judul Buku Kelas Pengarang HET Depdiknas JP Books
Matematika 1 SD Wiyanto Rp 6.530 Rp 9.072
Matematika 2 SD Wiyanto Rp 5.960 Rp 8.316
Matematika 3 SD Nur Fajariyah - Rp 13.145
Matematika 4 SD Burhan, Mustaqiem - Rp 15.003
Matematika 5 SD Husen Ahmad Rp 9.540 Rp 15.600
Matematika 6 SD Asep Dadi Permana Rp 7.860 Rp 10.080
Senang Belajar IPA 1 1 SD Siti Rositawati Rp 7.480 Rp 9.324
Senang Belajar IPA2 2 SD Siti Rositawati Rp 9.370 Rp 12.096
Senang Belajar IPA 3 3 SD Siti Rositawati Rp 8.620 Rp 11.088
Senang Belajar IPA 4 4 SD Siti Rositawati Rp 10.890 Rp 14.112
Senang Belajar IPA 5 5 SD Siti Rositawati Rp 8.620 Rp 11.088
Senang Belajar IPA 6 6 SD Siti Rositawati Rp 9.750 Rp 12.600
Cinta Berbahasa Indonesia1 SD Saleh Muhammad Rp 8.050 Rp 12.896
Cinta Berbahasa Indonesia2 SD Tri Novia Nelitayanti Rp 6.140 Rp 9.828
Cinta Berbahasa Indonesia3 SD Edi Warsidi Rp 6.850 Rp 9.576
Cinta Berbahasa Indonesia4 SD Dra. Farika Rp 5.780 Rp 8.064
Cinta Berbahasa Indonesia5 SD Edi Warsidi Rp 5.420 Rp 7.680
Cinta Berbahasa Indonesia6 SD Dra. Farika Rp 5.780 Rp 8.064
Ilmu Pengetahuan Sosial 1 SD Indrastuti - Rp 9.260
Ilmu Pengetahuan Sosial 2 SD Kuswanto - Rp 6.957
Ilmu Pengetahuan Sosial 3 SD Sunarso - Rp 9.074
Ilmu Pengetahuan Sosial 4 SD Tantya Hisnu - Rp 13.855
Ilmu Pengetahuan Sosial 5 SD Endang Sulistya - Rp 14.354
Ilmu Pengetahuan Sosial 6 SD Sanusi Fatah - Rp 11.563
PPKN 1 1 SD Tiyan, Edi Santoso - Rp 9.003
PPKN 2 2 SD Setiati Widihastuti - Rp 6.927
PPKN 3 3 SD Tiyan, Edi Santoso - Rp 7.149
PPKN 4 4 SD Prayoga Bestari - Rp 7.382
PPKN 5 5 SD Setiati Widihastuti - Rp 6.927
PPKN 6 6 SD Setiati Widihastuti - Rp 6.927
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan surat pesanan buku SD 2008 JP Books

Comments

Luar biasa mahal jika print perlembar sampai 500-1000

saya dapat melayani print 200 per lembar hitam putih tapi bagus hasilnya gambar pun jelas tidak menjadi hitam tidak jelas seperti foto copy.

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,...

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran ...

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej...