Skip to main content

Sehari Di Ngawi dan Bojonegoro




Air mengalir sampai jauh....

Lirik lagu 'Bengawan Solo' emang cocok banget menggambarkan kondisi sungai itu saat ini. Ditengah curah hujan yang terus-terusan turun, air sungai pun meluap. Tidak ada persiapan menangkis air yang mengalir, Jatim pun tenggelam.

As we know together, the opening the year of 2008 is float anywhere especially at Jawa Timur.
Paling tidak ada 21 kabupaten dan kota yang terkena banjir, 14 diantaranya malah terkena banjir besar. Semua itu diakibatkan melubernya sungai Bengawan Solo. Bencana banjir terakhir menimpa kawasan Ketapang, Porong Sidoarjo. Lumpur pun meluber kemana-mana.

Saya memang tidak liputan langsung ke daerah banjir seperti di Bojonegoro, Ngawi, Magetan, Madiun, Gresik maupun Lamongan. Tapi kesempatan melihat kondisi banjir akhirnya kesampaian meski hanya sesaat.

Lewat lawatan (waduh..kayak Presiden saja) selama sehari pada 30 Desember, bersama tim Semen Gresik, saya melihat langsung wajah Jatim yang 'basah' karena banjir. Wajah-wajah sedih namun tegar tertoreh manis di wajah para korban banjir.

Wajah-wajah kuyu dan kaku tetapi lembut, mencoba pasrah akan kebesaran tangan Tuhan. Sedikit keluhan tetapi mereka tidak pernah berhenti berjuang untuk bisa berdiri tegak menghadapi hidup.

Di Ngawi khususnya ratusan jiwa di Desa Kedung Kecamatan Kwadungan, mencoba bangkit kembali. Usai banjir, mereka bergotong royong membersihkan rumah. Upaya ini dilakukan setelah selama kurang lebih tiga hari, desa mereka tenggelam ditelan air bah menerjang.

Di Bojonegoro, sempat saya lihat kekhawatiran warga disana khususnya Kecamatan Baureno. Di depan jalan yang menghubungkan Bojonegoro dan Babat, Lamongan, ratusan warga berdiri berjajar dipinggir tanggul.

Mereka melihat dengan kepala mereka sendiri, jika air terus menjilat dan mengalir ke bibir tanggul. Air sudah menenggelamkan tiga buah desa saat itu. Air masih terus naik dan volumenya masih terus tinggi karena hujan masih deras.

Buat saya, kondisi itu jadi bahan liputan yang baik. Tapi ditengah membuncahnya hati karena mendapatkan bahan liputan, tersirat rasa was-was. Khawatir kalau air benar-benar menerjang ke pintu masuk satu-satunya ke Bojonegoro tersebut.

Jika ini terjadi, Bojonegoro akan benar-benar terisolasi karena dari pintu masuk dari Ngawi sudah tertutup karena banjir. Pun jika air benar-benar menggila, saya pun akan lari pontang-panting dan memastikan diri ikut terkepung air di Bojonegoro.

Betapa tidak.
Setelah liputan di Baureno, rombongan yang terdiri dari Semen Gresik, saya, Ruli SS dan Steven dscom, memutuskan masuk ke Kota Bojonegoro. Sepanjang perjalanan menuju kota, saya lihat pinggir jalan dan rumah-rumah yang ada, sudah terendam air. Hati pun rasanya ketar-ketir melihat air makin tinggi.

Namun, rasa penasaran saya tidak bisa dicegah oleh apapun kecuali kematian. Saya ingin ke Bojonegoro dan liputan disana. Saya terutama ego saya, mendesak untuk melihat dengan mata sendiri kengerian akibat air bah yang menggenang di Bojonegoro.

Ego saya terpenuhi. Sang supir dari Semen Gresik tidak berkeberatan jika mengantar ke Bojonegoro, termasuk jika memungkinkan untuk menginap disana. Ditengah perjalanan, saya bertemu dengan relawan RPK Davis Mansur yang menyarankan tinggal di luar Bojonegoro alias di Babat, bisa mencari penginapan.

"Oh," jawab saya saat itu.

Tapi perjalanan masih dilanjutkan ke kota Bojonegoro. Sempat mampir di posko SG, kami meneruskan perjalanan ke kota. Tak lama. Gapura kota minyak itu sudah terlihat. Tapi baru saja melewati gapura, saya meminta agar supir berhenti.

"Stop, pak. Lihat didepan banjir," kata saya sembari menepuk bahu supir.

Tepukan saya ternyata membuat supir waspada. Kengerian tiba-tiba terasa di dalam mobil itu, bukan saya. Mungkin dari dua orang utusan SG. Saya dan mungkin Rulli dan Steven menunggu momen-momen saat ini. Tegang. Tapi bukan takut.

Air semakin meninggi. Kuatnya arus air terasa di mobil. Saya cukup terkejut karena banjir di tengah kota Bojonegoro memang cukup mengerikan. Apalagi di malam hari yang mana penerangan sangat minim.

Mobil berjalan pelan. Hati-hati. Supir pun keder, mengajak kembali ke Surabaya.

Ego saya kembali berteriak. "Ayo teruskan!!" kata saya dalam hati.

"Sudah kadung di Bojonegoro, dilanjutkan saja. Ikut liputan disana dan bantu kawan reporter disana," imbuh Ego saya.

Saya ingat, saat itu mata saya membesar. Terkejut dengan air bah ini. Tapi hasrat saya tiba-tiba membuncah, nafsu saya tergoda melihat peringatan Tuhan pada kota ini dan Jatim. Saya pun setuju dengan ego diri sendiri. "Ayo..benar, liputan disini saja,"

Ego saya ternyata diamini oleh Ruli. Dia beralasan mengajak menginap untuk sekaligus meliput kegiatan CSR Semen Gresik di Bojonegoro. Kalau steven, wajib ke Bojonegoro menemani bosnya Budi Sugiharto plus liputan disana.

Tapi hawa kengerian kembali terasa di dalam mobil. Dua orang utusan SG merasa tidak seharusnya mereka disini. Seharusnya mereka sudah kembali ke rumah dan tidur nyenyak. Tugas mereka sudah selesai dan tidak ada alasan lagi untuk bertahan.

Apalagi ditengah-tengah bencana.

Saya sempat berkonsultasi dengan Pak Air atau Ainur via SMS. Beliau memberi perintah untuk kembali. Perintah ini sempat saya lawan dengan tetap mengajak dua orang utusan SG tersebut bertahan di Bojonegoro.

Tetapi ketakutan itu semakin terasa. Saya pun merasa iba dan bersalah. Mereka berdua hanya orang sipil yang tengah berbisnis berbalut CSR. Bukan tugas mereka meliput. Malah, jika saya tetap memaksa mereka tinggal, hanya akan membahayakan mereka berdua.

Saya pun memutuskan untuk pulang.

Ego telah saya kalahkan

Mungkin ini pula yang dipikirkan oleh mas Rulli ketika akhirnya memutuskan untuk ikut kembali ke Surabaya. Meski sempat kecewa, saya membulatkan diri untuk kembali ke Surabaya. Bukan hanya demi keselamatan saya tetapi juga keselamatan dua orang yang tidak seharusnya berada disana.

Sepanjang perjalanan kembali ke perbatasan Bojonegoro, saya hanya menatap rumah-rumah yang temaram. Sebuah cahaya jatuh di genangan air setinggi lutut orang dewasa. Warga Bojonegoro masih kebanjiran.

Tapi mereka memilih menunggu.
Menunggu harta benda paling penting dalam hidup mereka, harta yang bisa melindungi mereka dari terik matahari meski banjir sudah melanda.
Rumah.

Di perbatasan, warga yang berdiri berjajar disepanjang tanggul tidak semakin sedikit. Tetapi bertambah banyak. Air yang tumpah ke jalan raya pun mulai meninggi meski hanya semata kaki.

Hujan turun ketika rombongan masuk ke daerah Babat. Disana saya merasa sedih.

Tidak ada yang menyangka, ditengah kekokohan dan stabilitas keamanan dan politik Jatim, malah terhuyung-huyung ketika menghadapi 'serangan' bencana alam.

Pemerintah terkejut ketika bencana datang, dan akhirnya terengah-engah tatkala bencana tidak berhenti terjadi. Atau mungkin pemerintah tidak peka karena sudah biasa terkena bencana (ingat luapan dahsyat lumpur yang keluar dari pengeboran Lapindo).

Kenapa bencana tidak pernah berhenti terjadi di Indonesia.

Apakah karena negara ini tidak pernah belajar dari kerusakan yang diperbuat sendiri?
Benarkah salah pemimpin negara ini yang tidak mengajak rakyatnya mencintai alam?
Atau karena koruptor, penjarah dan penjilat masih duduk tegak di tahta mereka untuk menunggu waktu menjarah dan merusak alam lagi.

Apa alam akan terus marah pada manusia?

Pertanyaan yang berkecamuk malam itu tidak pernah terjawab hingga kini. Mungkin karena saya hanya manusia bodoh yang enggan untuk berpikir. Atau sesungguhnya saya tahu jawabannya tetapi terlalu pedih untuk saya ceritakan disini.
















Comments

Totok Sugianto said…
memang menyedihkan melihat kondisi kota bak lautan, semoga kondisi korban bisa lebih baik dan tabah menghadapi cobaan ini. salam kenal ya mbak :D
totoks.com
Mashita Mashita said…
salam kenal juga mas Totok

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej