Skip to main content

Rumah Itu


Rumah bagian belakang itu tampak lusuh.

Bahkan bisa dibilang kumuh.

Kubangan air cukup besar penuh dengan air berwarna hitam. Tidak berbau. Tapi penuh dengan sampah dan buih-buih. Pohon pisang yang tumbuh diantaranya tidak bisa menghapus kekumuhan rumah itu.

Sebaliknya, kondisi rumah semakin terlihat tidak terawat. Disana ada sebuah kandang ayam yang tak terawat. Sebuah ruangan yang dulu pernah jadi dapur pun dibiarkan tertutup rapat. Entah apa isi ruangan itu.

Pintu belakang menuju rumah itu tertutup rapat. Tidak ada celah. Tidak ada jendela yang bisa diintip. Tidak ada tanda pintu itu pernah dibuka lagi.

"Sudah lama tidak pernah dibuka. Terakhir kuingat sekitar setahun yang lalu," ujar seorang gadis. Sebut saja namanya Firly.

Dia kawan saat saya masih kuliah dulu di Universitas Airlangga. Perawakannya mirip dengan saya. Tinggi besar. Gadis yang cukup tenang meski sebenarnya saya tahu dia punya emosi yang kapan saja bisa meletup dan meluap.

Awal pertama kali, saya mengenal dia sebagai sosok yang bersahabat. Tidak ada sesuatu yang aneh atau istimewa dari fisiknya. Just an ordinary girl. Setidaknya seperti itu, mungkin karena saya dan dia sama-sama perempuan. Hehehehe.

Dia cukup cerdas dan tegas. Nilainya selalu baik meski bukan yang terbaik di kelasnya. Dia tidak terlalu cerewet tapi cukup periang. Tentu ada beberapa orang yang kurang suka padanya. Tapi saya tidak.

Saya pikir, dia baik.

Tapi pada akhir-akhir masa perkuliahan, ada yang berbeda pada gadis ini. Saya tidak terlalu akrab dengannya. Saya jadi ragu-ragu untuk menanyai perihal perubahan dirinya.

Entah kenapa, Firly jadi cepat marah, tersinggung tetapi lebih pendiam. Wajahnya murung tapi dia masih coba untuk tertawa. Masih rajin masuk kuliah tapi pekerjaan rumah maupun materi kuliahnya tidak lagi diserapnya dengan baik.

Dia sering melamun.

Dan ini terbukti.

Pada akhir semester yang merupakan semester terakhir kuliah kami, nilainya merosot tajam. Saya dengar dia ditegur oleh salah seorang dosen yang sebenarnya menyukai Firly. Dosen ini termasuk dosen killer. Kabarnya, dia mendapat nilai C- dari yang biasanya B+ atau A.

Suatu ketika saya bertemu dengan dia saat tengah melintas dekat rumahnya. Saya pun diajak berkunjung. Saling cerita usai lulus, cerita ngalor-ngidul , bahas si A, si B, dan seputar topik santai.

Lama berkunjung, saya pun ingin ke kamar kecil. Kamar kecil rumah Firly ada di belakang jadi saya harus melewati ruang tengah dan dapur. Saat mau masuk ke kamar mandi, saya sempat terhenti.

Seorang wanita paruh baya tengah menatap kosong ke belakang. Sekilas saya yakin tidak ada yang menarik karena pandangan sekilas hanya menunjukkan kalau belakang rumah itu kosong. Hanya ada sebuah areal lahan kecil yang jadi kubangan air dan kubangan sampah.

Rasa penasaran saya tiba-tiba berubah jadi terkejut karena Firly ternyata ada di belakang saya. Dia memperhatikan kalau saya tengah memperhatikan wanita paruh baya tersebut. Terkejut dengan kehadirannya, Firly hanya mengumbar senyum. Saya memilih masuk ke kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi, saya langsung disambut gandengan tangan Firly. Dia mengajak ke bagian belakang rumah. Dia minta untuk memfoto halaman belakang rumah itu.

"Rumah itu...dulu jadi tempat yang paling bahagia dan tempat yang paling dirindukan olehku," ujarnya.

Saya terhenyak. Saya tidak menyangka jika perhatian sejenak yang saya lakukan pada wanita yang ternyata ibu Firly, membuka kisah gadis manis itu. Secara singkat, dia bercerita rumah itu sekarang berganti menjadi rumah kepedihan.

Semenjak ayahnya kabur dari rumah dengan seorang wanita kurang baik. Saya enggan menggunakan wanita pelacur, karena cerita Firly tentunya subyektif dan saya juga tidak kenal dengan wanita yang disebut Firly sebagai pelacur.

Saya teringat, wajah Firly penuh dengan amarah. Dia bercerita berapi-api dan betapa dia bersumpah serapah mengutuk wanita itu. Juga ayahnya. Karena gara-gara sang ayah, Firly batal meneruskan kuliah. Firly benci karena si ayah tidak hadir dalam upacara wisuda termasuk ketika dia sakit. Firly sekarang hanya bisa memandang rumah itu dari belakang.

Saya terpekur, terdiam. Entah mau berkomentar apa.

...

...

...

Lama tak bertemu dengan Firly, membuat saya lupa pada gadis itu, ditambah pekerjaan saya yang menumpuk. Tapi tiga hari yang lalu, saya membongkar file-file foto saya. Dan saya teringat pada dirinya.

Dimana dia sekarang?

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej