Skip to main content

Liberalisasi Angka

Masa pendaftaran siswa baru di sejumlah daerah sudah dimulai. Di Jogja, masa pendaftaran untuk SMA sudah ditutup Selasa (28/6) hari ini. Dari angka-angka yang terpampang dalam real time online (RTO), orang tua maupun siswa bisa melihat secara jelas dimana posisi mereka/anak mereka. Mereka juga bisa mengikuti pergerakan angka secara transparan mulai sejak nama mereka diinput dalam sistem, perangkingan hingga akhirnya terlempar ke sekolah pilihan kedua atau tidak diterima sama sekali.

Semuanya bisa dilihat dan dipantau secara jelas.
Patokannya satu : jika ingin bertahan di sekolah pilihan, angka mereka harus lebih baik dari nilai siswa yang lain.

Dari sini, perlu digarisbawahi betapa pentingnya arti dari ‘angka’ dalam pendaftaran siswa baru. Tidak…saya tidak ingin membahas bagaimana nilai ini menjadi tidak adil bagi siswa yang sudah belajar selama tiga tahun, lalu dievaluasi lewat mekanisme ujian nasional. Dari UN inilah, keluar nilai-nilai yang menentukan kelulusan mereka.

Bukan. Bukan soal itu.

Saya ingin sekedar membagi bahwa ‘angka’ menjadi sangat penting meski si anak sudah lulus dari UN. Dari preambule yang saya buat, jelas hal tersebut penting dalam perebutan kursi di sekolah lanjutan si anak. Jadi berapa ‘angka’ yang Anda/anak Anda punya dalam pendaftaran sekolah ibarat menjadi mahar dalam pernikahan muda-mudi.

Ya. Mahar.
Mereka yang punya mahar tinggi, bisa mendapatkan sekolah yang mereka mau. Bisa menikmati mutu pendidikan yang tinggi atau yang sekarang tengah nge-trend adalah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Fasilitas ini akan makin lengkap apabila Anda berasal dari orang tua yang mampu secara finansial. Wuih! Serasa menikmati surga dunia ala siswa sekolah.

Lalu bagaimana yang maharnya menengah? Pas-pasan atau malah mepet?
Saya rasa, Anda sudah bisa menebaknya.
Mreka yang nilainya menengah, harus rela mendapatkan sekolah yang kualitasnya menengah. Apalagi yang nilainya pas-pasan, siap-siap saja Anda bersekolah bersama dengan segerombolan anak yang senasib sepenanggungan, guru-guru yang mengajar dengan setengah putus asa karena si murid ternyata tak cepat menangkap pelajaran. Sekolah pun harus menelan ludah karena dicap masyarakat sebagai sekolah yang mutunya rendah.
Memang tidak bisa digeneralisir.
Dan memang terdengar nyinyir.
Tapi memang terjadi di lingkungan sekitar kita bukan?

Maka disini, ‘angka’ lagi-lagi memegang sebuah peran yang tidak kecil, bahkan menentukan apa yang akan Anda peroleh di bangku sekolah. ‘Angka’ menjadi sebuah barang yang diperebutkan siswa maupun guru, baik dengan cara jujur maupun dengan cara-cara yang tidak baik – kalau tidak mau disebut tidak jujur.

‘Angka’ menjadi mata uang. Sekolah menjadi barang komoditas. Pasar dari kegiatan jual beli ini ada dalam sistem penerimaan siswa baru. Berapa harga dari komoditas itu, ya tergantung permintaan dari pasar. Mereka yang berani menawar dengan harga tinggi, tentu mendapatkan harga terbaik.

Dan ini mengingatkan saya terhadap pernyataan seorang pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Jogja yang tidak mau disebut namanya. Aku memaklumi permintaannya karena sebagai seorang PNS, pernyataannya ini jelas-jelas sebuah pembangkangan atas sebuah sistem pendidikan yang dibangun oleh pemerintah.

“Liberalisasi angka,” kata dia memberi istilah.

Yap…yap…Kita tidak bisa menutup mata bahwa sistem online dalam pendaftaran saat ini adalah cara terbaik yang pernah ada dalam proses pendaftaran siswa. Namun, dampak negatif dari sistem ini, seperti yang aku tulis sebelumnya, membuat seolah-olah PSB menjadi sebuah pasar yang riuh.

“Ini pengaruh globalisasi,” ujar si pejabat itu lagi.

Hmm…..hhmm….bisa jadi.

Sejauh ini memang belum ada keluhan berarti dari siswa maupun orang tua dengan mekanisme PSB online. Namun, pelan tapi pasti sistem ini akan berkembang akan makin liberal di tengah kecurigaan terhadap pelaksanaan UN. Lantas, perlukah membangun sebuah sistem baru? Mungkin tidak. Mungkin lebih tepat adalah dengan memperbaiki sistem yang sudah ada agar rasa keadilan lebih dirasakan, tidak sekedar ‘menjual’ angka-angka hasil ujian nasional.

Jogja, 28 Juni 2011

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej