Skip to main content

Ayo Lestarikan Bahasa Jawa

Program Java Day yang diluncurkan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya Januari lalu ternyata lebih banyak diminati sekolah swasta Tionghoa. Bahkan, sejumlah sekolah Tionghoa secara khusus memberikan pelajaran kesenian tradisional Jawa kepada para siswanya.

”Sekolah swasta Tionghoa malah lebih aktif melaksanakan program Java Day,” kata Kepala Dispendik Kota Surabaya, Sahudi, Rabu (3/9) siang tadi. Dia lalu mencontohkan sejumlah sekolah yang mengajarkan budaya tradisional Jawa ke siswanya, antara lain SD Santa Agnes, SMP Margie, dan Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) 1 Dharmahusada serta beberapa sekolah Petra.

Dia mengakui program ini kurang mendapat respon dari sekolah negeri. Meski demikian dia tetap akan meneruskan program ini di sekolah Surabaya. ”Memang masih belum tertata secara bagus. Tapi nanti akan kita lihat gregetnya seperti apa dan akan kita perbaiki kekuranganya. Dalam waktu dekat akan ada sosialisasi lagi bahasa Jawa di ruang Walikota,” kata Sahudi.

Supaya program ini berhasil, sejumlah program lain sudah dirancang oleh Dispendik. Sebut contoh menggelar workshop dengan ahli bahasa Jawa dan pihak perguruan tinggi. Selain itu, pihaknya juga bakal menggelar kontes berbahasa Jawa atau menggelar lomba menulis bahasa Jawa (macapat).

Seperti diberitakan, sejak Januari tahun ini, Dispendik telah mengeluarkan surat edaran untuk semua jenjang sekolah di Surabaya. Surat bernomor No.4-21.2/0123/436.5.6/2008 itu meminta sekolah menerapkan hari berbahasa Jawa satu hari dalam satu minggu dengan tujuan melestarikan kebudayaan Jawa. ”Kita perlu nguri-nguri budaya sendiri lah,” tandasnya.

Ber-Java Day Ala Cinta Laura

JAMES, salah satu siswa SD Margie, tampak riang berceloteh di kelas. Dari mulutnya, kalimat bahasa Jawa dengan lancar dia suarakan. Saat itu, dia tengah bercerita pada guru kalau salah satu temannya tidak mengerjakan pekerjaan rumah.
”Bu, dekne gak ngerjakno pe er,” ujarnya setengah wadul pada gurunya sembari matanya melirik ke seorang siswa. Sang guru yang kebetulan saat itu adalah kepala SD Margie menanggapi dengan senyuman dan berjanji akan menindak siswa tersebut. Namun, James diingatkan kalau hari ini bukanlah hari berbahasa Jawa atau Java Day.
”James, berbahasa Jawa-nya nanti saja di hari Senin,” tegur Dwi Agus Setyowati, Kepala SD Margie. Siswa yang ditegur itu pun setengah nesu meski akhirnya mau menuruti saran yang disampaikan gurunya.
Dwi Agus Setyowati menjelaskan, sekolahnya menggunakan bahasa Jawa sebelum dinas memutuskan program Java Day. Dijelaskannya, sejak duduk di kelas satu siswa sudah dikenalkan dengan budaya tradisional Jawa terutama lewat permainan dengan lagu-lagu bernuansa tradisional.”Misalnya permainan cublek-cublek suweng, lagunya kan berbahasa Jawa,” ujar Dewi, panggilan akrab kepala sekolah ini.
Cara lain yang ditempuh sekolah adalah lewat lagu anak-anak yang disadur ke bahasa Jawa sehingga siswa mengetahui perbendaharaan kata tersebut. Hanya saja, penggunaan bahasa Jawa di hari Senin tidak dilakukan secara full melainkan diselipkan di antara proses mengajar. ”Caranya juga harus menyenangkan supaya anak-anak lebih tertarik untuk belajar,” katanya.
Metode semacam ini terbukti cukup manjur. Buktinya, siswa SD Margie berhasil menjuarai Lomba Bercerita Bahasa Jawa tingkat Propinsi di Madiun tahun 2006 yang digelar oleh Kantor Perpustakaan Jatim.
Senada juga disampaikan Kepala SMP Margie, Wahjutiningsih. Dia mengaku awalnya sekolah harus pintar-pintar dalam memasukkan bahasa Jawa ke dalam kehidupan bersekolah karena kebanyakan siswa Margie adalah siswa keturunan Tionghoa. Nining, panggilan akrabnya, mengatakan, sekolah memutuskan untuk memasukkan bahasa Jawa ke dalam mata pelajaran sebagai salah satu untuk menjaga budaya sendiri.

”Jadi ada peribahasa dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Bagaimanapun siswa itu berasal tetap harus menghormati budaya lokal,” ujar Nining.
Awalnya, orang tua sempat keberatan dengan penerapan materi pelajaran bahasa Jawa ini mengingat latar belakang siswa kebanyakan siswa Tionghoa. Sekolah sempat mengikuti kemauan orang tua tetapi pada akhirnya bahasa Jawa kembali dimasukkan dalam mata pelajaran bersama mapel bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Mandarin. Belakangan, keputusan ini semakin kuat dengan kebijakan Dispendik yang meminta sekolah menerapkan bahasa Jawa satu hari dalam seminggu pembelajaran.

Siswa Antusias

Yang cukup mengejutkan ternyata siswa sangat antusias untuk mempelajari bahasa Jawa. Bahkan dengan senang hati mereka belajar tari-tarian tradisional termasuk tembang-tembang Jawa. Guru pun jadi lebih semangat untuk mengajarkan bahasa Jawa di sekolah.
Di antara sekian lama proses penerapan bahasa Jawa di sekolah, kejadian lucu kerap kali mencuat terutama dari siswa luar negeri yang belajar di sini. Untuk diketahui, ada beberapa siswa SMP Margie merupakan siswa pindahan dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Jerman, Selandia Baru, Australia dan Taiwan. Latar belakang orang tua mereka beragam mulai dari pengusaha hingga diplomat.
Karena dipindah di sini, mau tidak mau mereka harus belajar bahasa Jawa. Karena sedari kecil tinggal di luar negeri, otomatis siswa tersebut sama sekali tidak kenal bahasa ini. Maka guru pun harus kerja keras memberi materi pembelajaran dengan mengalihbahasakan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia lalu ke bahasa Inggris dan sebaliknya. ”Akhirnya mereka bisa berbahasa Jawa meski dengan logat Cinta Laura (pesinetron yang kurang fasih berbahasa Indonesia),” katanya setengah tertawa.
Ada pula salah satu siswa putra seorang diplomat bernama Rio, yang pindah sekolah ke Surabaya mengikuti tugas orang tuanya. Laiknya siswa lain, dia juga harus mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. ”Setelah tiga bulan sekolah di sini, tiba-tiba orang tuanya mengaku terheran-heran karena Rio bisa berbahasa Jawa,” katanya, terkekeh.
Keputusan SMP Margie untuk tetap mempertahankan bahasa Jawa di sekolah berbuah manis. Kemahiran siswa SMP Margie di bidang tari tradisional membuat siswa-siswa sempat diundang dalam acara penutupan Climate Change Children Conference (CCCC) tahun lalu di Hotel Hyatt tahun lalu.

Tak hanya itu, setidaknya sudah ada lima siswa yang diberangkatkan ke Australia dalam rangka pertukaran pelajar. Mereka menyabet program ini setelah dalam presentasinya mereka bisa mempresentasikan budaya lokal yang mereka ketahui untuk dikenalkan di dunia internasional. ”Karena kenal dan biasa dengan budaya tradisional, syarat ini tidak menyulitkan siswa,” ungkapnya.
Bahasa merupakan salah satu elemen kebudayaan yang harus tetap dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Program nguri-nguri budaya juga harus didukung agar tetap lestari.

Modern, Berbudaya

Di sisi lain, pakar bahasa Jawa, Suparto Brata, mendukung program Java Day ini meski masih banyak kekurangan. Menurutnya, program ini harus tetap diteruskan agar bahasa Jawa tidak hilang di kehidupan orang Jawa itu sendiri.
”Jangan sampai bahasa Jawa kalah dengan bahasa Mandarin yang sekarang banyak dipelajari di les-les. Mosok tidak bangga dengan bahasa sendiri,” ujar Suparta.
Apalagi, sejumlah aturan sudah dibuat supaya keberadaan bahasa ini tetap eksis termasuk badan PBB yang berharap tidak ada bahasa tradisional yang hilang. Dia mengingatkan menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari tidak akan membuat derajat seseorang turun. Sebaliknya, penggunaan bahasa ini akan menunjukkan orang tersebut sebagai sosok modern karena tetap menghargai budaya sendiri.
”Masyarakat jangan terjebak pada kehidupan kapitalis sehingga dengan mudah menghilangkan budaya sendiri. Kita harus bangga dengan bahasa kita sendiri dan itu sama saja dengan sikap patriotisme,” ujarnya. (k2)

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej