Skip to main content

Vickynisasi ala Jokowi

Vicky Prasetyo (Sumber : merdeka.com)
Ramai masalah perbedaan makna kata membuatku teringat pada memori masa SMA (cieee..). Momen ketika pertama kali pindah ke Surabaya dari Bogor.

Pindah ke Surabaya, sempet takut gak ngerti. Maklum, saat di Bekasi diajak ngobrol Bahasa Indonesia, logat betawi dan sedikit bahasa Sunda. Pindah ke Bogor, duh tambah lieur dengan dialek tetangga. Di rumah pun lebih banyak berbahasa Indonesia, kalo pun kromo inggil paling tahunya "Bapak Sare", "Bapak dahar", "Bapak Siram" daon  semacamnya.

Saat pindah ke Surabaya, ibu meyakinkan tidak ada bahasa aneh-aneh. Arek Suroboyo asik-asik, cuma seneng ngomong kurang apik. Misuh, kata ibu.

Maka saat bersekolah, ya udah masuk sesantai mungkin. Sampe pada akhirnya ada teman sekelas, menyebut diriku "gatel". Refleks aku bilang aku gak gatel kok, ga ada yang kegigit.

Lah kok koncoku nambahi kata C*k sambil tertawa. Loh loh loh onok opo iki kok aku tiba-tiba dipisuhi dan yang misuh malah bahagia.

Belakangan aku paham, berbahasa kadang tidak bisa dipahami secara saklek. Misalkan loro dalam Bahasa Jawa itu bisa berarti dua atau sakit. Jadi perlu keahlian memahami situasinya, kondisi saat seseorang bicara. Dialek. Ada juga ekspresi. Pun bahasa tubuh juga mempengaruhi. Begitu pula, pisuhan Surabaya juga tidak bisa dipahami sebagai caci maki. Entah apa istilahnya. Kalau gak salah masuk dalam komponen dasar komunikasi.

Begitu pula, dalam level yang lebih tinggi bahasa juga kadang dipahami sebagai tingkat sosial seseorang. Semakin intelek seseorang, bahasanya makin njlimet bagi yang kecerdasannya kurang.

Bahasa juga jadi "senjata" oleh penguasa.Entah kala menyusun APBD dan APBN, penyebutan program, bagi-bagi anggaran, dan sebagainya. Terkait corona, ada istilah lockdwon, PSBB, karantina wilayah, karantina mandiri, yang kita sendiri gak paham apa beda dari istilah tersebut. Semakin njlimet bahasanya, masyarakat makin enggan memahami (karena malas membaca juga). Pada akhirnya ketika program gagal akibat kegagalan dalam menyampaikan pesan-pesan dalam program. Maka nantinya kegagalan ini disampaikan dalam bahasa njlimet juga. Komunikasinya macet sejak awal.

Tidak hanya itu, pengertian  bahasa - sebagaimana sejarah - ternyata juga tergantung keinginan penguasa juga. Istilah apa dan bagaimana yang diperlukan agar tindakan penguasa bisa dimaklumi bahkan bisa dibenarkan oleh rakyatnya.

Dengan demikian pengertian dalam berbahasa juga dipengaruhi  kepentingan penguasa. Tiap saat bisa saja muncul pengertian baru, tergantung apa yang diinginkan penguasa.

Contohnya arti mudik dan pulang kampung  bisa beda meski yang mengucapkan orang yang sama, hanya beda beberapa tahun. Contoh lain adalah gabut. Jika di era saya, gabut itu makan gaji buta. Nah di era sekarang gabut artinya gak jelas, gak tau mau berbuat apa, gak tau mau ngapain. Padahal aku dan milenial itu cuma beda beberapa tahun doang!!!

Jadi ingat sama slang Vickynisasi, sebuah gaya berbahasa yang dipertontonkan Vicky Prasetyo. Secara garis besar dia suka mencampuradukkan bahasa asing dan Indonesia, kemudian memberikan arti sendiri. Buat aku garing sih guyonan Vicky. Tapi ya laku juga di televisi. Lah trus masak iya Pak Jokowi mau niru Vickynisasi?

Hmmm sebaiknya kita berhusnudzon, mungkin Pak Jokowi mau ngelucu ala Vicky. Garing sih. Tapi viral. Dan jadi hiburan di kala tegang menghadapi virus Covid19. Dan kala hati gembira, imunitas kita tinggi, sehingga ga bakal kena virus Corona. Ini sih pendapat ndek-ndek an ala emak-emak yang lagi hobi nonton drakor ini. Pendapat lain sering-seringlah buka KBBI biar gak edan!!!!!

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej