Skip to main content

Amankah Donor Darah Saat Wabah Covid19 ?

Ada satu pertanyaan yang hingga saat ini menggelitik dan memicu saya menulis pengalaman pribadi di blog lagi. Pertanyaannya? Aman gak sih donor darah saat wabah Covid19 ?

Sempat terhenyak sejenak karena kaget mendapatkan pertanyaan itu. Apalagi yang bertanya juga relawan donor darah. Tapi tak lama kemudian saya tersadar, situasi dan kondisi wabah semacam ini memang membuat banyak orang takut. Banyak pula yang cuek bebek. Relawan aja banyak yang maju mundur untuk berbuat kebaikan.

Berkumpul di RSI Darus Syifa' Benowo
Termasuk ketika ingin donor darah. Memang sempat ada hinggap khawatir tapi karena memang darurat ya bekalnya cuma bismillahirrahmanirrahim. Apalagi kalau ada yang membutuhkan pertolongan darah dan kita mampu, kan gak mungkin kita abaikan begitu saja.

Sekedar kilas balik, terakhir kali donor darah itu sekitar dua tahunan lalu. Dan awal 2020 ini harus donor darah di tengah wabah, karena keponakan membutuhkan darah A+ akibat sakit pembengkakkan jantung. Kebetulan golongan darah saya juga A+.

Pilihan sulit ? Nggak...khawatir? Iya dikit.

Ketika cerita ke suami, dia hanya mengiyakan tapi ya sempet keliatan juga kalo dia khawatir.  Tapi karena situasi darurat akhirnya diizinkan juga.

Petugas PMI pakai APD buatan sendiri
Maka keesokan harinya, kami berkumpul di RS Islam Darus Syifa' Benowo, Surabaya. Keponakan saya dirawat disana setelah sehari penuh masuk ruang ICU. Pakai jaket, pakai masker, dan terus menerus jaga jarak dengan orang sekitar. Kan di areal rumah sakit jadi yaaa parno gitu.

Mengisi form gak boleh deket-deket
Setelah proses administrasi selesai, saya bersama kakak dan tetangga meluncur ke PMI Gresik. Kenapa ke Gresik? Karena posisi stok golongan darah A+ di PMI Surabaya tidak ada dan tersedia di Gresik. Sebagai gantinya, keluarga pasien membawa relawan untuk mengganti stok darah yang diambil. Jujur di bagian ini, saya baru tahu. Karena selama ini cuma donor darah doang. Gak ngerti gimana prosedur permintaan darah maupun pergantian darah yang dibawa.

Proses tes HB
 Setelah parkir di kantor PMI Gresik, kami "disambut" sebuah tenda yang berfungsi sebagai bilik sterilisasi. Kita diarahkan masuk kesana, lalu cairan disinfektan disemprotkan ringan ke seluruh tubuh kami. Rasanya? Hmmm kayak mau masuk ke ruangan rahasia super bersih seperti di film-film penelitian. (Belakangan WHO tidak merekomendasikan bilik disinfektan ini karena berbahaya bagi kesehatan manusia).

Gak boleh duduk deketan
Keluar dari bilik, dua petugas sudah bersiap di depan pintu masuk. Kami diberi hand sanitizer dan diukur suhu tubuh menggunakan thermo gun. Yang mengejutkan, ketika masuk kami tidak boleh dekat-dekat dengan resepsionis. Ada jarak satu meter antara pendonor dengan resepsionis.

Pakaian petugas resepsionisnya juga gak kalah heboh. Memakai kostum kesehatan ala petugas PMI, ditambahi dengan handscone, serta topi masker. Setelah diteliti lebih lanjut, bahan penutup wajah itu semacam dari plastik yang ditempelkan ke busa dan dibuat melingkar di kepala. Oooo buatan sendiri.

Ada handsanitizer dari PMI Gresik
Kami diarahkan untuk mencuci tangan ke wastafel satu per satu. Tapi dasar kami yang gak ngeh dan terlalu mengantuk, malah berduselan di wastafel dan juga ke kamar mandi (bersebelahan). Setelah itu, kami disuruh mengisi formulir .Pengunjung juga dilarang duduk berdekatan dan kursinya dikasih pembatas dan tanda silang. Setelah mengisi formulir, kami diminta menunggu untuk dilakukan tes Hb (Hemoglobin). Itu pun satu-satu.

Setelah itu, kami diminta untuk duduk di kursi donor darah. Dan petugas dengan cekatan mengambil darah. Disini kursi kami tidak menggunakan physical distance karena ruangan yang cukup kecil dan hanya memuat tiga kursi saja.

Selesai melakukan donor darah, kami mendapatkan suvernir. Itu hal biasa sebenarnya. Tapi yang menarik, suvernirnya kali ini ada handsanitizer. Hihihihi...alhamdulillah.

Menanti proses pengolahan darah 
Setelah itu kami menunggu lagi karena darah masih akan diproses. Proses pengolahan darah membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setelah satu jam, kami dipanggil dan darah dimasukkan ke kotak pendingin yang diberikan oleh RS.

Selesai.

Aman? Aman banget lah. Malah di situasi wabah seperti ini, stok darah terus menerus dikabarkan menipis. Karena banyak orang yang takut untuk keluar rumah. Padahal, rumah sakit terus menerus mendapatkan pasien yang butuh darah.

Jadi jangan takut donor darah di era wabah corona. Insya Allah aman dan jadi ladang jariyah kita. Aamiin.....


Foto-foto : Nani Mashita











Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej