Skip to main content

Asal Usul Kampung Made Surabaya




WAKTU seolah berhenti di Kampung Made. Semilir angin, sepoi-sepoi menyapa lembut di wajah. Hamparan hijau persawahan memanjakan mata. Tak ketinggalan, kicau burung menghibur telinga. Semua itu sejenak membuat kita lupa jika ada di Surabaya.
Terletak di Kecamatan Sambikerep, desa seluas 447.334 hektare itu berada di wilayah Surabaya barat. Made berbatasan langsung dengan Kabupaten Gresik. Ia terasa jauh dari hiruk-pikuk kota metropolitan Surabaya.
Kampung berdenyut tak terburu-buru. Aktivitas warga berlalu tak memburu waktu. “Dari dulu sampai sekarang, Made seperti itu,” kata sesepuh Kampung Made, Seniman pada Jatimnet.com yang mengunjungi rumahnya, Rabu 5 Maret 2019.
Mbah Man, begitu ia biasa disapa. Usianya 86 tahun tapi fisiknya tampak bugar. Berjalan tanpa tongkat, membaca tanpa kacamata. Rambutnya memutih penuh uban tapi penampilannya rapi. Pembawaannya pun berwibawa.
Hari itu, ia mengenakan jasko (jas koko) putih, berkopiah hitam, dan sarung hijau. Ia duduk di atas kursi kayu bercorak bunga. Di sampingnya, segebok kertas catatan dan kliping koran terbungkus map plastik.
Sesaat sebelum memulai perbincangan, ia menyodorkan buku lusuh yang kertasnya mulai menguning. Rupanya itu buku tamu. “Aku wis tuwo makane tak catet ben gak lali,” katanya.
Ia terbiasa mencatat sejak muda. Tak hanya identitas tamu tapi peristiwa tertentu. Misalnya saja hikayat Made, lengkap dengan foto, dokumen, dan buku.
Seniman atau Mbah Man, lurah dongkol yang jadi sesepuh Kampung Made. Foto: Nani.
Made, menurut lurah dongkol itu, mulanya rimba belantara. Dari cerita turun temurun yang ia dengar dari para tetua, di sana dulu tinggal seorang bernama Mbah Joyo. Tak ada yang tahu dari mana ia berasal, yang jelas Mbah Joyo diceritakan punya dua peliharaan; macan dan singa.
Lama-kelamaan hutan rusak karena pohon-pohon ditebangi. Hawa menjadi lebih panas, macan pergi. Sementara Mbah Joyo pindah ke tempat di sisi selatan dan bertapa ditemani singa.
Tempat pertapaan itu kini ditandai dengan punden Mbah Joyo Singo. Lokasinya berada di sisi selatan rumah Mbah Man. Pohon-pohon besar berselimut kain  Merah-Putih menaungi.
Petilasan itu bersebelahan dengan Balai Pertemuan RW 02 Kelurahan Made. Di seberangnya, ada telaga dengan tepian yang asri lengkap dengan ayunan bertuliskan “I Love Made”.
Ada dua patung macan di punden. Konon, patung itu menandai kembalinya macan Mbah Joyo yang pergi. Meski tak ada satu pun kisah tentang itu, warga percaya mereka yang pergi pasti kembali. Bersatu lagi.
Filosofi itu tergambar dari patung singa di luar punden. Dua peliharaan Mbah Joyo kembali berkumpul. Bersatu lagi. Meski dalam wujud patung.
“Tidak ada yang tahu apakah benar si macan kembali atau tidak. Silakan mau percaya atau tidak. Saya hanya meneruskan kata-kata leluhur,” ujarnya.
Punden Mbah Joyo Singo di Made Surabaya. Ada patung macan di sana. Foto: Nani.
Menurut dia, dari kisah itulah nama kampung Made berasal. Made singkatan dari macan gede. “Macan yang menemani Mbah Joyo,” katanya.
Ia mengatakan ada anggapan keliru tentang Made. Sebagian orang menduga kampung ini diambil dari Made, penamaan untuk orang Bali. Parahnya, kisah Made sebagai kampung Bali terus direproduksi sehingga tersebar luas.
Tapi, ia mengatakan, kisah itu bukan dasar. Anggapan sebagai kampung Bali muncul dari cerita tentang I Made Suganda. Ia seorang komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Nama aslinya Kamin.
Saat pertempuran 10 November, Kamin dan anak buahnya mundur ke Made. Dari sana mereka melancarkan perang gerilya. Ketika perang usai, tiga tokoh Made; Seno, Jemblang dan Blandong, memberinya penghargaan dan mengubah namanya jadi Darmo Sugondo. Penganugerahan itu berlangsung di punden Mbah Joyo.
“Ini saya tahu sendiri karena saat itu sudah dewasa. Ini bukan cerita tapi eroh dewe,” katanya. 
Pasca kemerdekaan, Kamin alias Sugondo pindah tugas ke Jakarta. Ia meninggal pada 12 Desember 1959.
Meski Sugondo sudah meninggal, Mbah Man tetap menjalin silaturahmi dengan anaknya. Termasuk pada 1975 saat renovasi punden.
Sedekah Bumi dan Gulat Okol
Hingga kini, warga Made masih mempertahankan  tradisi sedekah bumi. Sejak berpuluh tahun lalu, sedekah bumi digelar tiap tahun sebagai ungkapan syukur bumi masih memberi penghidupan. Pusat kegiatannya berlangsung di punden Mbah Joyo. “Sedekah bumi itu sudah ada sejak saya kecil,” kata Mbah Man.
Persawahan di Kampung Made Surabaya. Foto: Nani.
Ia mengatakan ada yang tak bisa ditinggalkan saat syukuran sedekah bumi. Nasi tumpeng dan ayam panggang. Tumpeng melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Seiring perkembangan zaman, bentuk tumpeng menjadi lebih variatif. Bahkan ada pula warga yang membawa tumpeng raksasa. 
Adapun ayam panggang, jadi simbol peringatan agar manusia tak berlaku seperti ayam. “Ayam kalau dikumpulkan jadi satu kan tarung. Nah sifat inilah yang harus dihilangkan dari manusia,” katanya.
Dalam perayaan sedekah bumi, warga biasa menggelar pertunjukan wayang atau ludruk. Perayaannya meriah laiknya kemeriahan hari keagamaan. Orang-orang berkumpul tak peduli apapun latar belakang suku, agama, ras, dan kelompoknya. Berbagai penganan disajikan, termasuk jajanan tradisional wajib; kucur, tape, ketan, onde-onde, koci-koci, dan rengginang.
Keragaman budaya dan penghargaan atas perbedaan itu mengantarkan Made sebagai kampung percontohan di bidang kerukunan umat beragama di Surabaya.
Jare wong tuwo iku urip, urap, urup. Urip itu hidup, urap itu berkumpul, dan urup itu bermanfaat,” katanya.
Lurah Made Ghufron. Foto: Nani.
Lurah Made Ghufron mengatakan sedekah bumi tahun ini diselenggarakan pada awal Oktober. Selain wayang dan ludruk, ada hiburan unik yang biasa digelar, gulat okol. “Di sini malah disediakan panggung ring tinju dari jerami padi,” kata lelaki berkumis itu saat ditemui di kantornya.
Dengan penduduk mencapai 8.483 jiwa, mayoritas warga Made bekerja sebagai petani. Yang lain jadi pedagang dan karyawan swasta. Produk pertanian warga Made di antaranya cabe dan mangga. “Yang paling bagus dari sini,” katanya.
Untuk meningkatkan hasil pertanian, kelurahaan membentuk sepuluh gabungan kelompok tani (Gapoktan).  Sayangnya, lahan pertanian terus susut.
Ghufron mengakui banyak lahan pertanian beralih kepemilikan. Petani yang tersisa biasa menyewa lahan dari pihak swasta.
“Kebanyakan lahan pertanian saat ini sudah dimiliki oleh Citraland (pengembang properti), termasuk yang di belakang kantor ini,” kata Ghufron sambil menunjuk lahan pertanian yang berada di belakang kantornya. 


Artikel ini sudah tayang di www.jatimnet.com

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej