Skip to main content

YKS dan Penonton Kita

Ada ibu2 cerita, ada satu waktu sengaja. Datang ke YKS. Harapannya dpt duit yg dibagi2 itu. Dia terkejut krn pihak televisi menyita segala makanan/minuman. Penonton disuruh menari full tnp makan/minum. Klo ga semangat, digeser ke pinggir panggung. Anaknya pun terdesak2 krn penonton rebutan utk tampil di tivi. "Artisnya enak makan-minum. Aku dan anakku sampek capek.Ah gak mau lagi ke YKS, bikin soro (susah)," katanya.

Sepenggal kisah seorang perempuan paruh baya dengan rambut diikat kuda pada sore hari di sebuah restoran seafood Surabaya. Tubuhnya dempal. Senyumnya selalu merekah, menandakan orang yang selalu bahagia. Kisah ini saya posting di laman Facebook saya dan menuai banyak komentar. Ada yang mengaku terkejut kalau prosedur nonton televisi seperti itu, tapi kebanyakan memang tidak terlalu suka dengan program acara tersebut dengan cara mereka masing-masing.

Secara pribadi, awalnya saya mengacungi jempol bagi tim kreatif TransTV yang emang terkenal dengan ide-ide segarnya. Kebanyakan memang bertujuan untuk menghibur dan cenderung kepada program yang usil-usil. Termasuk program YKS ini, kok bisa-bisanya mereka membagikan duit jutaan rupiah hanya dengan bergoyang-goyang dangdut ala Caesar.

Saya penasaran dan mencoba melihat lagi. Apa yang jadi kriteria seseorang dipilih untuk mendapatkan uang tersebut? Ah ternyata goyangan yang paling heboh. (Itu yang terlihat di televisi.) Lalu apa yang menjadi menarik? Becandaan ala Olga yang hobi menjelek2kan orang dan membuka rahasia kawannya? Akting banci-bancian?? Menyumpal mulut kawanya dengan kain? tepung ? (belakangan ini dah gak ada).

Apa sih yang bikin menarik?

Saya mencoba nonton tayangan ini hingga akhir, dari jam 20.00 wib hingga jam 24.00 WIB. (Sekarang malah tayang sejak jam 19.30 wib. eh busyeettt... yang datang ke lokasi syuting pada kagak ada kerjaan yah? emang besok gak kerja? besok gak sekolah? besok gak dagang? besok gak ada janji ketemu klien?
begitu yang muncul dari benak saya.)

Bagusnya cuma di awal program ini muncul. Tapi setelah diperhatikan degnan seksama, menurut saya tidak ada yang manfaat yang signifikan dari program tersebut. Dan dari minimnya manfaat yang saya terima, cerita si ibu tadi menuntaskan sikap saya untuk tidak memperhatikan tontonan tersebut. Berhenti total mungkin tidak.
Kalau buat ketawa, ya boleh lah sekitar 10-15 menit kita menonton. Tapi kalau ketawa sampai berjam-jam?
Apa gak jadi gila kau!??!?!?

Di sisi lain, program ini menggenapkan kerisauan kita tentang arti tontonan bermutu. Yang bisa menghibur sekaligus mengedukasi penontonnya. Sudah tiap hari kita dipenuhi dengan shitnetron yang temanya mirip-mirip tentang anak yang tertukar, gosip dengan narasi lebay dan acara musik yang host-nya gak pinter-pinter amat tentang musik Indonesia. Tivi berita pun begitu, kadang ada yang alay narasinya, drama korupsi dan politik bahkan berita bohong. Hadeeehh....

Kita - sebagai penonton - selama ini tidak pernah mendapatkan pilihan untuk mendapatkan suguhan yang benar-benar bisa bermanfaat untuk kita (ada ding acara kuliah subuh ^_^). Jika rating tinggi, entah bermutu atau tidak, maka program itulah yang digeber habis-habisan.

Dan konyolnya, penonton kita secara sadar maupun tidak sadar, mau untuk dibodoh-bodohi oleh program acara seperti itu. Dan di tengah himpitan ekonomi dan stress yang melanda masyarakat kita (kebanyakan di Jakarta kali yee), joget-jogetan dapat uang menjadi sebuah 'perjudian' gaya baru masyarakat kita.
Gak cuma YKS, tapi yang sejenis yah, yang aku sebutin dua paragraf sebelumnya. Pendapat bahwa lebih baik tidak usah nonton, atau matikan saja televisinya, pun tidak terlalu mempan.

Emang ada program bermutu? Kuis-kuis itu saya kira bermutu, seperti yang ditampilkan kuis Versus di KompasTV. Secara khusus saya menyebut stasiun televisi tersebut karena saya menganggap lebih konsisten menyajikan tayangan yang berimbang. Mulai dari talkshow berat hingga ringan, tayangan dokumenter hingga gosip (ehm tapi presenternya gak pake melotot dan manyun-manyun).

Penonton PUNYA KUASA MENENTUKAN PROGRAM.
Kalau tidak ditonton maka rating akan anjlok. Artinya gak banyak iklan masuk dan artinya pendapatan stasiun televisi itu juga jeblok.

Yuk jadi penonton yang lebih cerdas supaya kita tidak makin bodoh dengan program pembodohan sistematis dari stasiun televisi. Selamatkan diri kita dan orang-orang yang kita kasihi untuk tidak menonton tayangan gak bermutu.

Ada beberapa catatan yang mungkin bisa menggugah kesadaran kita untuk menjadi penonton yang lebih cerdas dan selektif memilih tontonan. Tidak hanya untuk kita, tapi juga keluarga di link-link berikut atau gugel aja.


kalau mau tanda tangan petisi KLIK INI

tengok juga kartun keren
INI

klik BACA INI juga OKE
INI JUGA

*hah tulisan saya telat? niru-niru yang lain? gak papa kalo dianggap seperti itu. toh saya tidak bermaksud menjelek2kan yang lain, cuma keresahan yang akhirnya sudah di ambang batas saja*

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej