Skip to main content

Klinong-klinong Suroboyo

Pada medio akhir 2013, tepatnya pada September lalu, saya dan suami menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan “Klinong-klinong nang Suroboyo” yang digelar oleh House of Sampoerna. Kelamaan? Hahahaha…maaf sebelumnya kalau baru diposting sekarang.
Setelah di-googling saya ingat kembali kalau temanya adalah “Wijkenstelsel Statsblaad”, sebuah program yang mengajak trackers mengenal sejarah pembagian wilayah di Surabaya Utara yang diterapkan pemerintah Belanda sejak tahun 1843 hingga kemerdekaan.
Rute yang akan di lalui adalah Rute rute dimana bangunan bersejarah di kota Surabaya, seperti HoS – Jalan Rajawali – Jembatan Merah – Jalan Mas Mansyur – Jalan Kalimas Barat dan berakhir HoS kembali. Berjuang keras agar tidak terlambat datang ke kegiatan yang dimulai pukul 07.00 WIB itu, akhirnya sampai juga di HoS.
Dan setelah registrasi-registrasian a.k.a nulis daftar tamu, si empunya kegiatan ngasih sambutan bla-bla-bla and bla…. Ada dua bule yang ikutan acara ini. Kebetulan keduanya adalah bule yang menginap di Hotel Majapahit, yang terkenal dengan arsitektur Belanda dan sejarah perjuangan Indonesia. (nyambung gak sih?)
Kami pun berjalan berdua-dua, tidak sengaja sih. Mungkin karena banyak muda-mudi berpasangan ikut serta, termasuk aku (hmmm…gak makin nyambung. Gak boleh emosi :D ).
Kami melewati bekas penjara Kalisosok yang di jaman dahulu adalah tempat tahanan bagi narapidana kelas kakap. Penjara yang punya penjara bawah tanah ini pernah ‘dihuni’ Kiai Haji Mas Mansur, WR Supratman, HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam, tokoh Marhaenis dan pejuang rakyat Surabaya Doel Arnowo, tokoh anti-fasis yang tertangkap seperti Pamudji, Sukayat, Sudarta, Asmunanto, Amir Syarifuddin. Orde baru juga menjadikan LP Kalisosok sebagai tempat pemenjaraan dan penindasan terhadap tapol asal Timor Leste. Bahkan, dua aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), yang saat itu menentang rejim orde baru, juga mendekam dalam penjara Kalisosok, yaitu Coen Husein Pontoh dan Mohamad Soleh.
Tapi sekarang penjara seram itu coba dikurangi oleh para seniman di Surabaya. Di sepanjang dinding luarnya aneka mural tergambar dengan cantik. Buatku, kesan yang muncul sekarang adalah unik karena di atas dinding itu terdapat menara-menara pengawas penjara yang terlihat kurang terawat. Mmm…kurang tepat kali ya kalau disebut antik. Anyone?
Guide dari HoS terus cuap-cuap hingga di Jl. Rajawali. Disini, bisa dikatakan gudangnya bangunan berarsitektur Belanda. Struktur bangunan yang kokoh, dengan balkon yang dibingkai pilar-pilar tinggi (entah apa sebutannya dalam arsitektur) terlihat sangat klasik. Konon, yang membuat bangunan ini kokoh hingga puluhan tahun adalah batu batanya yang dibuat dua baris. Ingat kan kalau sekarang bangun rumah, batu batanya paling cuma sebaris doang kan?
Keindahan arsitektur bangunannya tetap terjaga karena banyak di antaranya jadi kantor PTPN X, Bank BNI 46, gedung Bank Mandiri, Hotel Ibis Rajawali dan Internatio.
Tahu lagunya Jembatan Merah? Ah kayaknya gak banyak yang tahu juga…
Tapi pasti tahu kan namanya Jembatan Merah Plaza (JMP), tempat belanja grosiran? Wkkwkwkw…nah di sebelah JMP itu ada sebuah jembatan yang legendaris yaitu Jembatan Merah. Bagi masyarakat Surabaya, maupun sejarahwan sendiri, ini adalah monumen bersejarah.
Hah…monumen? Kalau biasanya monumen berupa tugu atau benda yang menjulang tinggi, yang ini membentang menyeberangi Kalimas. Satu-satunya yang berbeda saat ini adalah pagar jembatan yang awalnya kayu diubah menjadi besi dan bercat merah. Sekarang, jembatan tersebut tempat mangkal para tukang becak yang menggunakan blackberry dan sejenisnya (ini serius).
Di jaman dahulu, jembatan ini merupakan batas wilayah antara pihak Belanda dengan warga timur (Arab dan Tionghoa). Daerah ini dinamai Kembang Jepun. Segi arsitektur di sisi ini juga sangat kental dengan budaya Tionghoa, atau paling gampang inget-inget deh rumah-rumah di film-film Cina jaman dulu. Persis seperti itu. Saat ini arsitektur semacam itu diadopsi Indonesia lewat rumah toko (ruko), di bawah untuk toko sedangkan atasnya digunakan sebagai rumah (sekarang kebanyakan dah full buat toko kali yak).
Dan ternyata, sejak dulu daerah ini digunakan sebagai lokasi berdagang alias bisnis. Di wilayah ini juga terkenal dengan Pasar Atom atau Pasar Atum, sebagai lokasi bisnis etnis Tionghoa. Meski dimulai cukup pagi yaitu jam 07.00 wib, tetap aja truk-truk pembawa sembako bersliweran tak berhenti lewat jalur ini. Di sepanjang jalur ini banyak sekali toko-toko milik Tionghoa, bahkan yang usianya melebihi kemerdekaan RI.
Sayangnya, kami tidak meneruskan perjalanan ke Pasar Atom (hahaha…gak jadi belanja), karena kami diarahkan untuk masuk ke perkampungan Arab. Lucu juga yah, gimana Belanda dulu bisa menempatkan Tionghoa dan Arab berdekatan dan berdampingan. Dua-duanya kan licin kalau berdagang dan banyak suksesnya. Entah apa alasannya.
Di wilayah ini juga terdapat Kantin Kejujuran yang diklaim pertama kali ditemui di sejarah Indonesia. Bentuknya sebuah warung kecil memanjang yang menempel pada dinding rumah yang menghadap ke jalan raya. Konsepnya sama persis dengan kantin kejujuran yang ada sekarang, pengunjung dipersilakan makan dan membayar sesuai dengan harga yang sudah tercantum. Urusan kembalian pun diserahkan kepada masing-masing pembeli. Penjualnya sendiri juga lebih bebas melakukan aktivitas.
Maaf, gak bisa menunjukkan persisnya dimana. Ya sepanjang jalan Panggung, dekat dengan pasar ikan di dalam jalan tersebut. Sekarang kantin tersebut sudah ditutup dan lokasinya juga terlalu dekat dengan gerbang gang kampung.
Kami juga melewati sebuah rumah yang jadi lokasi percetakan pertama yang ada di Surabaya. Hingga kini, toko tersebut masih beroperasi namun sudah berpindah tempat. Ooowhh…saya temukan nama tokonya, Salim Nabhan di Jl. Panggung 148. Rumah keluarga ini sendiri ada di Jl. Mas Mansyur dan sangaaaatt besar. Oleh pemerintah, sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Rumahnya sendiri bersebelahan dengan Ponpes Al Huda.
Keluar dari Jl. Panggung, kami disambut dengan lalu lintas sepeda motor yang cukup ramai di Jl. Mas Mansyur. Saya baru ngeh kalau jalur ini saling bertaut dan bersambungan.Seharusnya sih gak perlu terkejut, karena memang seperti itulah model kampung-kampung di Indonesia. Entah karena terlalu menikmati cerita-cerita tentang Surabaya atau keasyikan berfoto-foto makanya kaget begitu nyambung ke jalan menuju Masjid Sunan Ampel itu.
Di pagi hari, jalur ini ternyata memang ramai dengan para penjual dan makanan khas Arab. Salah satunya adalah bekam yang praktek pagi hingga malam. Hehehe…..kami pun berbelok menyeberang ke sebuah gang yang dikenal sebagai kampung Arab, tidak jauh dari Hotel Kemadjuan.
Disini, arsitekturnya lebih sederhana.
Tapi perhatikan dua pintu, yang salah satunya ukurannya lebih kecil. Itu adalah pintu yang dipergunakan untuk bertamu kepada isteri si bapak Arab. Dalam tradisi mereka, mirip Islam, perempuan tidak berkumpul bersama di ruang tamu melainkan berada di ruangan tersendiri. Di beberapa rumah, terlihat ada ruangan khusus di belakang.Si tamu juga tidak leluasa untuk menemui isteri Bapak Arab, melainkan dipisahkan oleh kerai bambu.
Hmm…tidak terasa, perut ternyata sudah bersahutan minta diisi oleh makanan. Saya juga mau sih, tapi ehmm jajannya kok kurang menarik. Ahhhahha….nggak ding. Ada banyak jajanan pasar lain dan yang paling menarik adalah roti UFO, ukurannya lebih dari sekepal tanganku. Menurutku bentuknya mirip UFO. Kami berdua menikmati roti itu.
Kami melewati kantor penjualan PT Krakatau Steel cabang Surabaya dan kantor PT Bomar-Bisma Indra (katanya sih bekas BUMN). Lalu setelah itu kami berbelok menuju Jl. Kalimas Barat. Disini konon ada sebuah benteng untuk menahan serangan Belanda. Tapi benteng itu sudah tidak bersisa apapun 
Riuh rendah lokasi ini. Ramai sekali. Apalagi ada pasar burung disana yang berdekatan dengan tempat pembuangan sampah dan juga lokasi jualan tali tambang untuk kapal-kapal besar. Wah…kacau sekali deh. Saya sempat terpisah dari rombongan. Eh tapi cuek aja sih, kana ma misua. Hahahah…tapi ternyata pihak HoS sangat baik hati dan mau menunggu kami yang terpisah dari rombongan.
Kami melihat siluet Jembatan Petekan di kejauhan. Jembatan Petekan sudah jadi cagar budaya dan bukan jembatan biasa. Jaman dahulu, jembatan ini bisa dinaik-turunkan dengan menekan sebuah tombol. Kalimas merupakan jalur utama masuk kapal-kapal sebelum berlabuh dan menurunkan muatannya. Petekan sendiri diambil dari bahasa Jawa yaitu petek = dipencet/ditekan.
Di sepanjang sisi kanan-kiri kali, terdapat sebuah pijakan yang dahulu digunakan sebagai pelabuhan kecil dari masing-masing pabrik. Yup..kami berada di bagian belakang pabrik-pabrik besar yang ada di Jl. Mas Mansyur, termasuk Krakatau Steel. Sedangkan di Kalimas Barat sendiri banyak gudang-gudang dengan bangunan klasik. Kami bahkan menemui sebuah bangku besi yang warnanya sudah berkarat.
Setelah itu, kami berbelok menuju ke areal House of Sampoerna. Lokasi ini memang terkesan ‘dikuasai’ oleh pabrik rokok yang kini dimiliki Philip Morris tersebut. Salah satu buktinya adalah lambang Sampoerna yang berada di hampir seluruh bangunan di sekitar pabrik rokok tersebut. Hingga kini, House of Sampoerna masih mempergunakan areal pabriknya (berada di belakang museum House of Sampoerna) dengan kapasitas produksi yang terbatas. Kapasitas raksasanya sendiri ada di Jl. Rungkut Industri. Tidak semua orang punya akses menuju pabrik tersebut, tapi publik bisa menikmati kegiatan melinting rokok dari lantai dua Museum House of Sampoerna.
HoS sendiri juga memiliki arsitektur yang sangat cantik dan rindang. Sayang, tidak bisa bebas memotret di lokasi ini dan harus meminta izin pada pengelola, terutama jika ingin menggunakannya sebagai lokasi prewedd.
Tur kami selesai. Belum puas banget. Dan ternyata saya melewatkan kegiatan house of sampoerna, berkeliling ke pasar-pasar yang ada di Surabaya. Disini juga tersedia jalur bus heritage track yang jalurnya bisa dilihat di website resmi HoS di sini.
Setelah memuaskan dahaga dan melihat-lihat (lagi) museumnya, saya dan suami pun kembali ke rumah. Terasa lebih segar dan sangat menghilangkan penat.

Salam Wisata!

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej