Skip to main content

Surat buat Jokowi

Dear Jokowi,

Maaf kalau saya begitu lancang menyapa panjenengan dengan sebutan “dear”. Itu bukan karena saya mencintai panjenengan, tapi juga tidak bermaksud untuk mencela apalagi menghina seperti politikus saingan panjenengan. Saya hanya peduli sama panjenengan.

Surat ini untuk memberi semangat pada panjenengan, bahwa saya sangat tersentuh dengan gaya kepemimpinan yang ditunjukkan selama ini. Karakter yang tetap panjenengan pertahankan sejak memimpin Solo selama dua periode – meski periode yang terakhir ‘terpaksa’ diserahkan ke FX Hadi Rudyatmo karena desakan partai.

Saya tidak mau mengingat-ingat masa yang sudah lampau itu. Saya sudah mahfum dan bagi sebagian besar masyarakat kita mungkin juga tidak mau mempermasalahkannya lagi.

Saya menulis surat ini karena saya terharu, panjenengan tetap blusukan ke kampung-kampung meski sekarang banjir bandang – sesuatu yang tidak pernah ditemui warga Jakarta sebelumnya. Tidur pun tetap beberapa jam. Dialog dan diskusi dengan warga. Turun langsung membagikan paket-paket nasi dan buku bagi warga yang tengah mengungsi.

Saya salut dan bertepuk tangan terhadap tindakan panjenengan.

Memang panjenengan pernah bikin janji menuntaskan masalah banjir dan macet. Nyatanya, sekarang banjir besar melanda Jakarta. Tapi toh, seperti kata Amien Rais bahwa tiada yang bisa melawan bencana alam. Siapapun, secanggih, secerdas dan sekuat apapun Jokowi dan joko-joko lainnya. Namun saya tidak sepakat kalau panjenengan harus minta maaf ke publik Jakarta. Toh banyak berita yang menunjukkan bahwa penyebab banjir adalah kebiasaan buruk masyarakat Jakarta membuang sampah.

Saya memang bukan warga Jakarta, tapi saya mendengar cerita menyenangkan tentang panjenengan saat memimpin Jakarta. Saya tahu panjenengan memimpin Jakarta dengan hati.

Tapi sebagai gubernur yang diusung oleh parpol, tentu ada politikus yang tidak suka dengan panjenengan. Selalu menjatuhkan panjenengan. Segala daya upaya dilakukan agar membuat nama panjenengan jelek.

Saya maklum, nama panjenengan lagi di atas angin di kancah perpolitikan Indonesia yang tengah jenuh dengan politikus yang mengaku negarawan. Eh gak cuma jenuh, tapi sudah muak. Muak melihat mereka bersliweran di jalanan dengan sampah spanduk mereka. Muak dengan slogan mereka. Muak karena mereka tidak memiliki kerja nyata. Janji-janji kosong yang patut dibuang ke tong sampah.

Oleh karena itu, saya mendukung bila panjenengan menuntaskan tugas sebagai gubernur DKI selama lima tahun yang akan datang. Tidak usah pedulikan politisi-politisi yang menyerang panjenengan dari berbagai sisi.Tidak usah pedulikan juga teman-teman separtai yang menggonjang-ganjingkan panjenengan untuk dijadikan sebagai calon presiden. Abaikan pula mereka yang membuat barisan-barisan pendukung jokowi sebagai capres. Cukup ucapkan terima kasih bagi orang-orang yang selalu membela atau mencaci panjenengan di media sosial.

Lupakan juga Megawati yang tengah galau mencari capres yang pas untuk PDIP di 2014. Kalau dia nekad dan tahan malu, toh dia akan maju sendiri. Tapi kalau Megawati meminta panjenengan jadi capres, lebih baik ditolak saja. Kalau memaksa seperti halnya ketika mencalonkan jadi gubernur DKI, saya meminta panjenengan untuk keluar dari PDIP dan menjadi orang yang lebih bebas membela rakyat.

Panjenengan masih dibutuhkan publik Jakarta. Bertahanlah di Jakarta.

Saya akan rela menunggu panjenengan hingga menyelesaikan tugas sebagai gubernur DKI. Jika panjenengan konsisten dengan sikap yang ditunjukkan saat ini, Insya Allah saya – dan mungkin sebagian besar masyarakat - akan memilih panjenengan di Pilpres 2019.

Pemimpin yang tidak korupsi dan dekat dengan rakyatnya itu sudah lebih dari cukup bagi saya.


Comments

Yusup said…
Jika konsisten, insyaAllah apa yg dipimpinnya akan lbih baik
catatan kecilku said…
Memang pencalonan Jokowi menjadi Capres menuai pro dan kontra, tentunya semua dg alasan masing2.
Kalau aku memang cenderung memilih untuk bertahan sebagai Gubernur aja dulu sih
the others said…
Hujatan dan kritikan pada Jokowi memang sama derasnya dg pujian dan sanjungan kepadanya.
Namun menuruku, beliau sudah berusaha utk melakukan yg terbaik sejauh ini.

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej