Skip to main content

"Teroris Kapan Nikah

Aku kaget juga. Ibu mendadak masuk ke kamar dan bercerita tentang pernikahan. Di akhir obrolan, beliau bertanya, “Sudah waktunya kamu memiliki pendamping hidup.”


Waktu terasa lama bergulir saat aku menyerap kalimat itu. Dan jawaban yang aku berikan juga tidak memuaskan ibu. "Iya, nanti aku menikah,” kataku dengan detak jantung berdegup terkejut.




panic bottom(google)
Wajahnya masih pucat kelelahan, tapi sudut bibirnya membentuk tawa yang tertahankan. Aku juga tak bisa menahan tawa mendengar cerita perempuan itu. Bilang saja namanya Dea, berusia 29 tahun, perempuan dengan segudang cita-cita dan punya kemauan keras.  

Isu “kapan menikah” sudah melandanya beberapa tahun terakhir.

Ini semacam jadi serangan bertubi-tubi yang harus dia tangkis dengan tangkas. Antara sebal ditanyain tentang kapan menikah, sekaligus menjaga hati si "teroris kapan nikah". Sebenarnya bisa saja Dea memperoleh jodoh yang dia inginkan. Namun ada syarat yang sudah tercetak jelas di dahinya, "Aku gak mau punya suami satu profesi." 

Pertanyaan "kapan nikah" jadi hal yang lazim dilontarkan oleh kerabat kita. Pertanyaan itu bahkan sudah menggerogoti kita sejak masih di tingkat sekolah dasar. "Kapan rangking satu?", "Kapan kerja?", "Kapan punya pacar? Jangan cuma kerja melulu", "Kapan menikahnya, nanti kebablasan lupa loh". Setelah menikah, "kapan punya anak", "kapan punya rumah", "kapan punya mobil" dan lain-lain.

Capek juga mendapatkan pertanyaan-pertanyaan serupa seperti itu.
Padahal, para "teroris kapan nikah" ini  tahu. Orang tua sudah berpesan : rezeki, jodoh dan maut itu rahasia Ilahi.  

Kecuali kematian, rezeki dan jodoh harus diupayakan, dicari dan dikejar. Jika memang sudah digariskan Tuhan jadi milik kita, tidak akan tertukar oleh apapun. Yakin deh! Harus percaya! Hehehhee….

Begitu halnya mengejar jodoh. Jika di dalam hati sudah bulat ingin mendapatkan pendamping hidup, asalkan kita berdoa padaNya, DIA akan mengabulkan hal itu. Yakin! Percaya!

Bukan sok tahu atau menggurui.

Toh saya juga pernah mengalami yang namanya panik dengan umur yang makin bertambah tapi belum punya pendamping hidup Panik karena usia sudah mau mendekati angka keramat menikah di keluarga saya. Meski gak jadi heri (a.k.a heboh sendiri) tapi ya hilang rasa, akal, bimbang, dan ketakutan akan masa depan.  

Hmm…

(google)
Pada kenyataannya, kepanikan itu hanya ketakutan yang dibangun di atas angan-angan kita saja. Tidak perlu takut atau khawatir tentang. Semua ada waktunya, semua ada jalannya. Asalkan punya tekad kuat, maka jodoh akan didekatkan kepada para single. Waktu akan menguji keikhlasan dan harapan kita dalam mendapatkan jodoh.  Cita-cita ini harus tetap dipertahankan. Menikah itu pasti ada dan contohnya sudah banyak. ^^

Santai saja karena jodoh tidak bisa diterka.

Tentu saja bagaimana menghadapi ‘teroris kapan nikah’ tidak usah ditanggapi terlalu emosional, supaya kita tidak mengeluarkan kalimat  kasar. Di sisi lain, jawaban kita juga tetap mengobarkan semangat membara memburu jodoh. Jadi sisi positifnya, mereka jadi cheerleader dalam mendapatkan jodoh.  

Selain jawaban singkat padat dan jelas seperti “belum tahu”, “masih dicari” dan sebagainya, ada baiknya si “teroris kapan nikah” ini bisa ikut mendoakan. Syukur-syukur, bisa ikut mencarikan jodoh bagi teman-teman yang sudah menikah.

Dan bagi “teroris kapan nikah”, dengan posisi sebagai ‘cheerleader’ sebenarnya Anda (termasuk saya) tidak boleh mencibir para single yang tengah mencari jodohnya. Kalau usul ‘calon’ yang diajukan ternyata ditolak oleh single, juga tidak boleh marah apalagi sampai tersinggung.

Kalau tidak mau tersinggung, lebih baik tidak usah bertanya kalau Anda tidak memberikan solusi pada para single ini. Ada banyak tema lain yang bisa dibicarakan. Atau lebih baik diam saja supaya tidak menyakiti para single ini. Yakinlah, mereka juga mencari belahan hatinya.

Ah kopi sudah berhenti mengepul. Ada baiknya saya menghentikan juga cuap-cuap ini.

Comments

andiyono said…
lebih dilemanya adalah ditanya kapan lulus, kerja dimana, dan kapan nikah dalam waktu yang bersamaan
#TrueStory
Mashita Mashita said…
hahhaha....sabar ya #pukpuk

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej