Lebaran.....
Tiap Muslim yang mendengar satu kata tersebut pasti merinding, menitikkan air mata karena meral asa lahir jadi pribadi yang baru.Di sisi lain,umat Islam ada yang bersuka cita, bergembira ria menyambut kedatangan hari yang ditandai sebagai 1 Syawal.
Perihal 1 Syawal, saya kira sudah banyak yang membahasnya dengan lebih ahli. Dari sudut ilmiah dan religius, sudah ada pakarnya.
Saya hanya ingin menuliskan ulang, dalam sebuah diskusi singkat di media sosial twitter, kawan saya menyebutkan puisi 'Malam Lebaran' karya Sitor Situmorang. Puisi ini sangat singkat, hanya berisi satu baris kalimat : 'bulan di atas kuburan'. Tentu Sitor bukan seorang yang bodoh karena di malam Syawal, tidak akan ada bulan yang terlihat.
Tapi, bisa jadi kalimat itu tidak untuk diartikan secara harfiah semata. Harus diselami. Tidak perlu susah-susah sebenarnya karena dari judul puisi dan baitnya pun, dengan mudah kita melihat realitas tiap jelang Lebaran di kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.
Lebaran itu ---> bulan berkah, penuh pengampunan
Lebaran itu ---> banyak kegiatan silaturahmi
Lebaran itu ---> banyak pengeluaran
Lebaran itu ---> harga sembako naik
Lebaran itu ---> harga pakaian naik
Lebaran itu ---> tiket-tiket transportasi naik
Lebaran itu ---> semua-muanya naik. bahkan THR pun tak lagi mampu menutupi semua kebutuhan tersebut.
Silakan tambahi sendiri kira-kira apa makna Lebaran di negara ini.
Presiden (mungkin) akan menginstruksikan masyarakat tidak perlu panik dengan harga saat puasa dan jelang Lebaran.
Para menteri (mungkin) akan sibuk memastikan laporan mudik saat Lebaran ke presiden tidak merah.
Kiai dan ustad (mungkin) akan berfatwa, Lebaran bukan soal yang lahiriah. Tapi soal batiniah.
Pedagang pasar dan penimbun (mungkin) akan bersyukur karena menangguk untung.
Para guru (mungkin) berpesan pada muridnya agar jangan buru-buru membeli baju baru.
Dan sederet pesan tetua yang lainnya.
Toh tetap saja itu terabaikan.
Kereta api dijubeli pemudik. Jalanan yang tiap tahun ditambal, tetap dipenuhi mobil pribadi.
Bandara dipenuhi jutaan para jutawan. Dan terminal juga dipenuhi copet-copet mencari rejeki.
Jadi, bagaimana tidak setuju jika puisi itu bisa menggambarkan malam Satu Syawal bisa jadi 'kuburan' jutaan muslim di Indonesia?
*selfnoted*
Tiap Muslim yang mendengar satu kata tersebut pasti merinding, menitikkan air mata karena meral asa lahir jadi pribadi yang baru.Di sisi lain,umat Islam ada yang bersuka cita, bergembira ria menyambut kedatangan hari yang ditandai sebagai 1 Syawal.
Perihal 1 Syawal, saya kira sudah banyak yang membahasnya dengan lebih ahli. Dari sudut ilmiah dan religius, sudah ada pakarnya.
Saya hanya ingin menuliskan ulang, dalam sebuah diskusi singkat di media sosial twitter, kawan saya menyebutkan puisi 'Malam Lebaran' karya Sitor Situmorang. Puisi ini sangat singkat, hanya berisi satu baris kalimat : 'bulan di atas kuburan'. Tentu Sitor bukan seorang yang bodoh karena di malam Syawal, tidak akan ada bulan yang terlihat.
Tapi, bisa jadi kalimat itu tidak untuk diartikan secara harfiah semata. Harus diselami. Tidak perlu susah-susah sebenarnya karena dari judul puisi dan baitnya pun, dengan mudah kita melihat realitas tiap jelang Lebaran di kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari.
Lebaran itu ---> bulan berkah, penuh pengampunan
Lebaran itu ---> banyak kegiatan silaturahmi
Lebaran itu ---> banyak pengeluaran
Lebaran itu ---> harga sembako naik
Lebaran itu ---> harga pakaian naik
Lebaran itu ---> tiket-tiket transportasi naik
Lebaran itu ---> semua-muanya naik. bahkan THR pun tak lagi mampu menutupi semua kebutuhan tersebut.
Silakan tambahi sendiri kira-kira apa makna Lebaran di negara ini.
Presiden (mungkin) akan menginstruksikan masyarakat tidak perlu panik dengan harga saat puasa dan jelang Lebaran.
Para menteri (mungkin) akan sibuk memastikan laporan mudik saat Lebaran ke presiden tidak merah.
Kiai dan ustad (mungkin) akan berfatwa, Lebaran bukan soal yang lahiriah. Tapi soal batiniah.
Pedagang pasar dan penimbun (mungkin) akan bersyukur karena menangguk untung.
Para guru (mungkin) berpesan pada muridnya agar jangan buru-buru membeli baju baru.
Dan sederet pesan tetua yang lainnya.
Toh tetap saja itu terabaikan.
Kereta api dijubeli pemudik. Jalanan yang tiap tahun ditambal, tetap dipenuhi mobil pribadi.
Bandara dipenuhi jutaan para jutawan. Dan terminal juga dipenuhi copet-copet mencari rejeki.
Jadi, bagaimana tidak setuju jika puisi itu bisa menggambarkan malam Satu Syawal bisa jadi 'kuburan' jutaan muslim di Indonesia?
*selfnoted*
Comments