Sajadah itu ada gambar masjid di atasnya
Basah karena bulir air mata, jatuh bersama segudang kesedihan. Makin lama makin basah
Suara-suara merapal gejolak.
Dimana Tuhan, dimana DIA? tanyamu.
Katanya DIA ada dekat kita,dekat urat nadi leher kita.
Kenapa Tuhan masih membuat sajadah ini basah karena tangis.
Suara itu membaca puisi-puisi hujan, menuliskan rintik hujan dalam kaca-kaca yang berembun
Menyanyikan kerinduan pada mendung yang bergulung tak tentu arah
Lantas patah menanti hujan. Andai Sajadah diberi lengan, takkan menolak memeluk suara yang bertutur tanpa tentu. Tanpa henti. Tak terbendung bersama isak.
Sajadah masih tergelar di atas lantai, masih mendengar suara berpuisi yang makin lamat.
Tapi bukan lagi puisi hujan. Mungkin tentang sembilu yang merobek pagi.
Sajadah itu masih basah. Suara itu bisu. Air tak lagi menetes.
Mungkin tengah merapal doa agar alam tetap memeluk keluh.
Agar tetap mencari jalan.
Bertemu Tuhan.
Basah karena bulir air mata, jatuh bersama segudang kesedihan. Makin lama makin basah
Suara-suara merapal gejolak.
Dimana Tuhan, dimana DIA? tanyamu.
Katanya DIA ada dekat kita,dekat urat nadi leher kita.
Kenapa Tuhan masih membuat sajadah ini basah karena tangis.
Suara itu membaca puisi-puisi hujan, menuliskan rintik hujan dalam kaca-kaca yang berembun
Menyanyikan kerinduan pada mendung yang bergulung tak tentu arah
Lantas patah menanti hujan. Andai Sajadah diberi lengan, takkan menolak memeluk suara yang bertutur tanpa tentu. Tanpa henti. Tak terbendung bersama isak.
Sajadah masih tergelar di atas lantai, masih mendengar suara berpuisi yang makin lamat.
Tapi bukan lagi puisi hujan. Mungkin tentang sembilu yang merobek pagi.
Sajadah itu masih basah. Suara itu bisu. Air tak lagi menetes.
Mungkin tengah merapal doa agar alam tetap memeluk keluh.
Agar tetap mencari jalan.
Bertemu Tuhan.
Comments