Skip to main content

Siluet dalam Rinai Hujan (1)

PING!

Blackberry Restu kembali berdenting. Dia hanya melirik saja ke gadget yang digilai orang se-Indonesia saat ini. Cahaya BB memendar ke seluruh kamar yang gelap. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat untuk mendekati benda itu.

Restu sendiri sudah mematikan lampu kamar sejak tiga jam lalu. Tapi matanya tak mau terpejam.

PING!

Suara itu muncul lagi. Kini dia tidak hanya melirik. Tapi memandangnya cukup lama sebelum akhirnya mengambil benda itu. Lampu merahnya berkedip tak henti menandakan mencari sinyal terus menerus.

Restu mendengus.
Dia mengetikkan password dan menuju ikon blackberry messenger, muasal bunyi itu.

Restu membaca sebaris kalimat yang terkirim untuknya: “Aku merasa ingin menyerah saja dengan hubungan ini. Aku merasa tidak cocok untuk meneruskan cinta-cita kita lagi.”

BBM itu hanya dibaca. Dia tak peduli meski di awal kalimat itu sudah tertulis huruf ‘R’ yang menandakan pesan itu sudah dibaca penerimanya. Restu enggan membalas BBM itu.

Manusia itu sudah begitu lama bersamanya. Segala keluh kesah diceritakan padanya. Dia hanya diam saja, sesekali menanggapi saja. Dan entah sejak kapan dirinya dianggap kekasih. Dia pun tidak menampiknya. Kasihan.

Dia tertawa sinis.

Dan matanya tiba-tiba meredup. Restu teringat kekasih lain. Orang yang mengisi harinya meski sekejap. Tanpa bertanggung jawab, dia meninggalkan kekasihnya, yang rela memberi hatinya untuk dia.

Dia tepekur.
Teringat pada sebuah ungkapan patah hati : Mengapa harus berjumpa bila harus dijauhkan.

BB dihempaskan di atas kasurnya. BBM itu diabaikannya.

Dia tidak kecewa, apalagi sedih. Akan banyak pria lain yang bersedia antre untuknya. Pendapat ini mengejutkan Restu. Disini dia sadar kalau tidak akan pernah benar-benar bisa menjalin sebuah hubungan.

Pipinya berasa hangat

Bulir air mata itu buru-buru dihapusnya. Dia enggan untuk menikmati rasa itu lagi. Figura penyesalannya muncul tiba-tiba. Penyalahan terhadap ayahnya. Rasa iba pada ibunya. Dan ngilu yang memenjarakannya selama ini.

Usia yang muda membuat dia jadi kambing hitam atas kelakuan ayahnya.

Diamput," serunya.

Berpuluh lelaki mengelilingi hidupnya. Berpuluh lelaki rela berlari di depan kesuksesannya. Beribu perempuan menyarungkan pisau di balik gaunnya. Cemburu terhadap kecerdasannya. Matanya yang berkilau dan kakinya yang mantap melangkah.

Tapi lelaki tidak pernah sungguh-sungguh baik baginya.
Dia hanya dianggap seonggok daging dengan payudara menonjol dan alat kelamin yang nikmat.

Dan itu benar. Sejauh ini benar. Meski tuduhan itu sungguh picik.

Memahami aku, mereka takut. Aku terlalu perkasa. Mereka bilang aku tak perasa. Gumamnya.

Tapi tidak ada yang tahu jiwanya rapuh.
Restu beranjak dari kasurnya. Mandi.

***********

Sekolah itu ramai.

Beberapa anak berseragam cokelat menyapa dia ramah. Hari itu Sabtu.
Siswa mengenakan seragam Pramuka dan melangkah dengan gagah.

Dia berdiri di pinggir pintu. Matahari sudah tergelincir ke Barat.

Tangannya sudah gatal mengeluarkan sebatang mild di dalam tasnya.
Bungkus itu dia tutup rapat-rapat, diletakkan di salah satu kantong tas yang memiliki resluiting. Supaya terlihat samar, dia masukkan pula peralatan make up seperti bedak ataupun blush on.

Jam berdetak terasa lama. Tapi detak jantungnya sudah berkelindan dengan pikirannya menciptakan gerakan yang gelisah. Jam mengajarnya terlalu panjang, pikirnya.

Rinai hujan tiba-tiba terdengar lembut dari atas genteng.
Lama kelamaan, hujan menderas. Dinginnya mulai merasuk ke dalam kelas.

Anak-anak riuh menyambut hujan. Kompak mereka menoleh ke arah hujan yang menggaris di jendela. Titik-titik airnya berbekas menimbulkan efek seolah kaca itu tengah kena bisul.

Riuh rendah itu tak menggoyahkan tatapan Restu. Dia berbalik memandang ke jendela yang sama dengan siswanya.

Siluetmu selalu kuingat. Dalam rinai hujan. Dan gemuruh itu selalu tertanam disini. Tidak jauh dari nadiku. Berdetak. Berdetik. Ucapnya rendah. Berkisah sekaligus berdoa.

Doanya terpotong dengan dentang lonceng. Gegap gempita siswanya satu per satu meninggalkan dia dengan ritual cium tangan dan kecup di pipi-pipi gembil mereka sembari menasihatkan untuk tidak bermain hujan.

Nasehat itu diamini mereka.

Restu sendiri suka akan hujan. Rinainya selalu memiliki makna yang indah. Hanya satu orang yang mengerti kisah itu.

Aku memanggilmu Hujan.

Hujan menyentuh kulitnya sesekali, dengan penuh kelembutan dan kejantanan sekaligus. Rinainya membentuk tirai bagi hatinya. Orang sering tersenyum tertawa saat hujan.

Restu tak malu bersedu sedan bersama Hujan.

Dia menghela nafas. Mild itu batal dirogohnya. Sudut matanya menangkap sosok tinggi dan bidang. Dengan tangan yang merangkul dan mampu menghangatkan.
Senyumnya mengembang.

"Apa kabarmu?," suara empuk itu menamparnya.
Kecup lembut mendarat di pipinya. Pelukannya menyadarkan dia dari dunianya.

Itu bukan Hujan.

Restu pulang dibimbingnya. Kembali ke dunia nyata.

********

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej