Skip to main content

Siluet dalam Rinai Hujan (2)

Lelaki itu bernama Bumi. Lelaki kesekian yang mendapatkan Restu, setidaknya tubuhnya.

Bumi tidak seperti Hujan.

Bumi kokoh, dengan pelukan yang erat, tawa yang kekanak-kanakkan.

Bumi berbicara gravitasi. Kesadaran. Realitas. Kenyataan. Tak sekalipun membiarkan dirinya pergi menjemput Hujan yang mengawang di cakrawala.

Bumi selalu menjaga Restu untuk tetap sadar.

Restu bersikap abu-abu. Tidak pernah terang mencintai Bumi namun tidak pula membiarkan pergi. “Paling tidak kamu tidak membuat aku gila karena selalu bisa kupijak,” jawab Restu.

Bumi tak pernah kecewa dengan jawaban itu. Tetapi, tiba-tiba tanah menjadi kering, panas juga menyengat. Restu gerah. Di titik ini, dia kembali mencari Hujan untuk menumpahkan rinainya.

Belum lagi menjalankan niatnya, gravitasi menariknya kembali ke Bumi. “Sikapmu terlalu abu-abu. Mungkin itu pula alasannya, mengapa hati saya tidak beranjak meninggalkan kamu. Sungguh, saya suka kamu.”

Tenang Restu mendengar pernyataan Bumi. Dia percaya saja.

Karena Bumi tidak pernah menyakiti. Atau belum…..


*************

Brakkk....!!!!

Nafas Restu memburu. Dadanya naik turun. Hatinya marah mendengar laporan dari sahabatnya jika Bumi tengah bergelut dengan seorang perempuan. Meski tak pernah sungguh-sungguh mencintai, tak urung cemburu menggelayuti hatinya.

Dan matanya benar-benar terbelalak kaget.
Sahabatnya berkata dengan sungguh. Hanya sehelai kain selimut yang menutupi otot kekar Bumi. Matanya meleleh, hatinya meremuk. Suaranya tertahan di kerongkongan dengan mulut ternganga.

"Restu!!" Bumi berseru. "Kenapa kamu ada disini? Kok tahu aku disini...." Bumi terburu-buru menutupi tubuh telanjangnya.

Belum tuntas berkata, Restu sudah pergi berlari.
Airmatanya menetes deras tanpa suara. Kalut.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Kata itu yang ada di pikirannya sekarang.

Memori pun berkelebat. Ingatannya tertambat.

Dia mencari alasan untuk tetap bersama Bumi. "Terlambat. Jancuk". Makinya dalam hati.

Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Dia terus berlari tanpa peduli pada bahu-bahu yang marah karena bersinggungan dengan hatinya yang perih.

Tanpa sadar dia sudah di tengah jalan. Brakkk......
Langit tiba-tiba menghitam.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej