Lelaki itu bernama Bumi. Lelaki kesekian yang mendapatkan Restu, setidaknya tubuhnya.
Bumi tidak seperti Hujan.
Bumi kokoh, dengan pelukan yang erat, tawa yang kekanak-kanakkan.
Bumi berbicara gravitasi. Kesadaran. Realitas. Kenyataan. Tak sekalipun membiarkan dirinya pergi menjemput Hujan yang mengawang di cakrawala.
Bumi selalu menjaga Restu untuk tetap sadar.
Restu bersikap abu-abu. Tidak pernah terang mencintai Bumi namun tidak pula membiarkan pergi. “Paling tidak kamu tidak membuat aku gila karena selalu bisa kupijak,” jawab Restu.
Bumi tak pernah kecewa dengan jawaban itu. Tetapi, tiba-tiba tanah menjadi kering, panas juga menyengat. Restu gerah. Di titik ini, dia kembali mencari Hujan untuk menumpahkan rinainya.
Belum lagi menjalankan niatnya, gravitasi menariknya kembali ke Bumi. “Sikapmu terlalu abu-abu. Mungkin itu pula alasannya, mengapa hati saya tidak beranjak meninggalkan kamu. Sungguh, saya suka kamu.”
Tenang Restu mendengar pernyataan Bumi. Dia percaya saja.
Karena Bumi tidak pernah menyakiti. Atau belum…..
*************
Brakkk....!!!!
Nafas Restu memburu. Dadanya naik turun. Hatinya marah mendengar laporan dari sahabatnya jika Bumi tengah bergelut dengan seorang perempuan. Meski tak pernah sungguh-sungguh mencintai, tak urung cemburu menggelayuti hatinya.
Dan matanya benar-benar terbelalak kaget.
Sahabatnya berkata dengan sungguh. Hanya sehelai kain selimut yang menutupi otot kekar Bumi. Matanya meleleh, hatinya meremuk. Suaranya tertahan di kerongkongan dengan mulut ternganga.
"Restu!!" Bumi berseru. "Kenapa kamu ada disini? Kok tahu aku disini...." Bumi terburu-buru menutupi tubuh telanjangnya.
Belum tuntas berkata, Restu sudah pergi berlari.
Airmatanya menetes deras tanpa suara. Kalut.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Kata itu yang ada di pikirannya sekarang.
Memori pun berkelebat. Ingatannya tertambat.
Dia mencari alasan untuk tetap bersama Bumi. "Terlambat. Jancuk". Makinya dalam hati.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Dia terus berlari tanpa peduli pada bahu-bahu yang marah karena bersinggungan dengan hatinya yang perih.
Tanpa sadar dia sudah di tengah jalan. Brakkk......
Langit tiba-tiba menghitam.
Bumi tidak seperti Hujan.
Bumi kokoh, dengan pelukan yang erat, tawa yang kekanak-kanakkan.
Bumi berbicara gravitasi. Kesadaran. Realitas. Kenyataan. Tak sekalipun membiarkan dirinya pergi menjemput Hujan yang mengawang di cakrawala.
Bumi selalu menjaga Restu untuk tetap sadar.
Restu bersikap abu-abu. Tidak pernah terang mencintai Bumi namun tidak pula membiarkan pergi. “Paling tidak kamu tidak membuat aku gila karena selalu bisa kupijak,” jawab Restu.
Bumi tak pernah kecewa dengan jawaban itu. Tetapi, tiba-tiba tanah menjadi kering, panas juga menyengat. Restu gerah. Di titik ini, dia kembali mencari Hujan untuk menumpahkan rinainya.
Belum lagi menjalankan niatnya, gravitasi menariknya kembali ke Bumi. “Sikapmu terlalu abu-abu. Mungkin itu pula alasannya, mengapa hati saya tidak beranjak meninggalkan kamu. Sungguh, saya suka kamu.”
Tenang Restu mendengar pernyataan Bumi. Dia percaya saja.
Karena Bumi tidak pernah menyakiti. Atau belum…..
*************
Brakkk....!!!!
Nafas Restu memburu. Dadanya naik turun. Hatinya marah mendengar laporan dari sahabatnya jika Bumi tengah bergelut dengan seorang perempuan. Meski tak pernah sungguh-sungguh mencintai, tak urung cemburu menggelayuti hatinya.
Dan matanya benar-benar terbelalak kaget.
Sahabatnya berkata dengan sungguh. Hanya sehelai kain selimut yang menutupi otot kekar Bumi. Matanya meleleh, hatinya meremuk. Suaranya tertahan di kerongkongan dengan mulut ternganga.
"Restu!!" Bumi berseru. "Kenapa kamu ada disini? Kok tahu aku disini...." Bumi terburu-buru menutupi tubuh telanjangnya.
Belum tuntas berkata, Restu sudah pergi berlari.
Airmatanya menetes deras tanpa suara. Kalut.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Kata itu yang ada di pikirannya sekarang.
Memori pun berkelebat. Ingatannya tertambat.
Dia mencari alasan untuk tetap bersama Bumi. "Terlambat. Jancuk". Makinya dalam hati.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Lari.
Dia terus berlari tanpa peduli pada bahu-bahu yang marah karena bersinggungan dengan hatinya yang perih.
Tanpa sadar dia sudah di tengah jalan. Brakkk......
Langit tiba-tiba menghitam.
Comments