Skip to main content

Sosmed dan Persahabatan

Social media menjadi booming baru di sebuah negara yang disebut Indonesia. Aneka macam jenisnya dan yang paling populer tentu adalah Facebook atau kerap disebut bebas menjadi Fesbuk. Yang laris manis diserbu para netter Indonesia adalah Twitter dengan kicauan 140 karakter. Di belakang itu, berderet-deret aneka sosial media mulai dari LinkedIn, Google+, Netlog dan yang sempat fenomenal adalah Friendster.

Saya tidak akan membahas mengenai transformasi media sosial, keuntungan atau kekurangannya, atau menjelaskan rinci. Saya punya akun twitter atau di fesbuk. Tetapi, saya bukan orang yang ahli soal media sosial. No...no...no...Sudah banyak pakar yang membahas itu, silakan googling saja.

Saya cuma mau sharing mengenai pengalaman saya apdet status ataupun bercicit cuit di twitter.

Secara singkat, saya kenal Friendster lebih dulu. Jaman itu, FS sudah sangat keren apalagi kalo wall kita dipenuhi dengan aneka komentar dari para followers. Hehehe...namun kekerenan ini tiba-tiba terasa membosankan ketika kenal ama Fesbuk di tahun 2004 atau 2005 lalu. Aplikasi di FS terasa sangat ndeso dan ketinggalan jaman.
Dan saya pun jatuh cinta pada Fesbuk. Teman yang lumayan banyak dari berbagai kota ~ buah nomaden sejak kecil ~ langsung meng-add. Saya yang memang agak cerewet pun rajin update status. Apalagi banyak komen dari teman-teman yang ada di list friend saya, makin asyik neh fesbukan.

Saya keranjingan. Hingga hari ini 2.216 teman dengan waiting list 286 orang. Dari yang aku kenal sampai gak kenal, meng-add. Belum ada niat untuk approve semua permintaan tersebut, meski tidak baik untuk mengabaikan ajakan persahabatan.

Di tahun 2009, saya mulai kenal Twitter. Teman di Twitter, memang agak terbatas. Bukannya mau sombong, tetapi saya kira di FB tidak jauh beda dengan yang saya kicaukan. Meski ya ada yang sedikit beda dengan keterbatasan 140 karakter itu. Selain itu, yaa...untuk hal-hal yang sedikit sensitif. hahahah....

Lanjut....
Jadi saya cuma mau cerita gimana media sosial itu mempengaruhi kehidupan saya sekarang.

Saya punya banyak teman, yang artinya saya bertemu banyak karakter, banyak tempat, banyak pemikiran, banyak hal. Pertemanan via dunia maya sejauh ini juga membantu saya terkait dengan pekerjaan saya. Banyaknya akun-akun untuk grup, komunitas, tokoh maupun kampanye-kampanye mulai dari yang nasionalis hingga kampanye lucu-lucuan membantu saya dalam bekerja. Dari sini, juga sering chatting dengan teman-teman untuk mendapatkan narasumber yang lebih kompeten.

Memang, banyak di antara mereka hanya menjadi teman pasif. Beberapa adalah orang usil, pengganggu, bahkan penguntit. Tapi banyak hal juga dari teman-teman saya yang benar-benar tulus ingin berteman dengan saya, beberapa juga ada yang ingin menjadikan saya calon istrinya (uhuk). Hahaha...baiklah, dari sekian proposal tersebut beberapa saya tolak, beberapa dijajaki. Ya sayang, masih belum berlabuh ke pelaminan. (aih jadi curcol).

Mereka inilah yang saya ~istilah Jawa~ tak openi. Tidak semuanya sih tiap hari saya sapa lewat chatting, atau komentari. Setidaknya ada jempol saya di setiap update status mereka. Heheheh.
Mereka ini juga jadi salah satu orang yang selalu menyemangati ketika perasaan down atau badmood. Atau ketika sakit. Dan sebaliknya. Atau sekedar untuk berbagi ide, crita, kisah gitu lah. Mereka sebenarnya tidak pernah kenal saya dan sebaliknya. Tetapi keajaiban media sosial menjadikan kita seakan-akan selalu bersama dan bertemu.


Buruknya? Yaaa...silakan listing sendiri. Masing-masing orang punya pengalaman sendiri. Isu besarnya adalah 'penjualan' data informasi pribadi oleh pengelola Facebook/Twitter atau media sosial lain ke pihak yang kurang bertanggung jawab. Soal itu, jujur saya malas memikirkannya. Kenapa? Saya bukan orang penting, jadi tidak perlu khawatir ada informasi saya dijual. Dikasih aja gak laku.

Kadang saking excited-nya bertemu dengan orang-orang baru, aku approve semua tanpa perlu verifikasi terhadap yang bersangkutan. Kata salah satu sahabat saya, harusnya semua yang di-approve benar-benar dikenal dan diyakini 'kesahihan' dan 'kebenaran' data-datanya. (aih kalimatnya lebay).
Kadang saya berlindung di balik peribahasa : Seribu kawan terasa kurang, satu musuh terlalu banyak.

Cuma ya memang resikonya, banyak stalker, atau wanita pencemburu karena kekasihnya atau gebetannya lebih suka berinteraksi dengan saya dan mengabaikan si gadis itu. Atau saya juga sempat berdoa agar teman FB yang tengah berkunjung ke Jogja untuk telat naik pesawat dan tidak jadi pulang ke Jakarta. Kwkwkwk....

Bahkan untuk mereka yang sebenarnya mengenal saya, wall FB atau Twitter juga jadi jendela mengintip keburukan untuk dibicarakan dengan kawan yang tidak sejalan dengan saya. Peluang itu tentu saja ada, mengingat ada teman saya yang suka mengomentari kawan yang lain gara-gara postingan di FB atau twitter. Saya? Uhmm...orang yang saya diskusikan dengan kawan lain bisa diitung dengan jari.

Tetapi lewat media sosial ini, saya juga belajar untuk melebur, beradaptasi. Di dunia nyata, sebenarnya saya cukup ahli beradaptasi ~buah dari ke-nomaden-an saya sejak kecil~ dengan orang lain. Tetapi sensasi untuk bisa mengenal dan 'menggali' seseorang di dunia maya, sungguh sangat menggoda. Bagaimana menjadikan mereka dari orang asing menjadi sahabat baik.

Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa sahabat saya itu hanya mencoba agar saya tidak terjebak dalam pertemanan maya, seperti namanya. Atau malah terseok dalam masalah rumit yang berujung pada pelecehan seksual, seperti yang banyak kita lihat dan baca di media-media konvensional saat ini.

Penting untuk berhati-hati, tapi....

Huff...

Ah..ah..ah.. Sebenarnya saya cuma ingin punya banyak kawan.

Comments

Popular posts from this blog

Surabaya "hot potatoes"

Dua hari ini, Surabaya panas membara. Panas dalam arti sebenarnya. Membara dalam arti kiasan saking panasnya. Lek jare arek Suroboyo: "Hot potatoes" alias panas ngentang-ngentang. Atau : "The hot is not public" alias panas ra umum, ora njamak panase. Intinya panas di Surabaya dalam setahun belakangan ini benar-benar tak seperti biasane. Hampir 15 tahun tinggal di Surabaya - meski dalam periode tertentu meninggalkan kota ini - tau betul lah kalo Surabaya itu kota panas. Panas karena sinar matahari yang benar-benar menyengat. Bukan karena air laut - seperti Semarang, atau Jakarta - panas ditambah polusi yang parah. Mungkin tak sepanas Pontianak yang berada di garis khatulistiwa, tapi coba deh tinggal disini selama seminggu. Yang jelas, penjelasan Wikipedia bersuhu udara rata-rata 23,6 °C hingga 33,8 °C gak pas jeh. Dalam sebulan ini mencoba mengamati suhu di Surabaya terutama di siang hari. Nyaris gak pernah di bawah 33 derajat celcius. Bahkan hari ini,

(Sebaiknya) Mahasiswa FK Harus Orang Kaya

Selasa (29/11) pagi, saya mengunjungi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Setelah berbincang dengan kolega baru, saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk sarapan di kantin kampus. Jujur, saya sangat menikmati makanan sehat yang disajikan kantin itu terutama ketiadaan penggunaan MSG. Saya pun merasa nyaman dengan kampusnya yang bersih, dengan para calon dokter berpakaian rapi dan cantik bersliweran sembari membawa buku tebal. Melihat beberapa di antaranya mengenakan jas dokter begitu gagah dan menawan. Apalagi, cuaca pagi tadi sangat cerah. Tetapi, kenyamanan saya tiba-tiba terusik dengan tindakan salah seorang mahasiswa disana. Jamaknya sebuah kantin yang meja-kursi selalu penuh dan harus berbagi dengan orang lain yang tidak satu kelompok, mahasiswi itu terlihat sangat memusuhi dan judes. Awalnya cuek. Tapi ketika dia sudah pindah meja, dengan seenaknya mengambil wadah sambal tanpa permisi. Sontak, saya pun kecewa. Hilang rasa simpati saya terhadap mahasiswa kedokteran

Agung Bakhtiyar, Anak Tukang Becak yang Sukses Jadi Dokter UGM

Tekan Biaya Kuliah dengan Pinjam Buku ke Senior Meski hidup dengan kondisi ekonomi yang serba kekurangan, Agung Bakhtiyar mampu mewujudkan impiannya. Anak tukang becak itu kemarin (8/7) diwisuda menjadi dokter dari Fakultas Kedokteran UGM dengan IPK 3,51. NANI MASHITA Rumah bercat hijau dan berdinding gedhek itu begitu sederhana. Di salah satu sisinya terbuka sebuah jendela kecil. Seorang pria tua dengan ramah menyapa dan mempersilakan Jogja Raya masuk ke rumah di Terban GK/V No 719, Kelurahan Terban, Kecamatan Gondokusuman. Di ruang tamu seluas 3x4 meter tersebut, ada beberapa perabotan yang ditaruh sekenanya. Meja kayu bundar yang tak begitu besar diletakkan di sudut ruangan. Sebuah pesawat televisi diletakkan di atas meja plastik berwarna hijau. Menghadap ke pintu masuk, ada tiga kursi lainnya. Di seberangnya, sebuah kursi bambu difungsikan sebagai kursi untuk menerima tamu. Sepiring makanan tradisional seperti jadah, getas, dan sesisir pisang tersaji di atas mej